Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARI bertandang ke Lampuuk, Aceh Besar, pedesaan sejuk sekitar 10 kilometer dari Banda Aceh. Kembang cengkeh dan buah pala merapati perbukitan. Pantai berlaut teduh memagari kawasan ini. ”Sudah tak kelihatan lagi bekas tsunami di kampung ini,” kata Cut Nyak Daud, 75 tahun, sesepuh Lampuuk.
Cut Nyak Daud dengan bangga menunjukkan 700 unit rumah baru yang berjajar rapi. ”Cantik, kan, rumah kami,” katanya kepada Tempo pekan lalu. Genting merah, jendela dan pintu beraksen merah, membuat kompleks perumahan tipe 45 ini memancarkan kehangatan.
”Orang Turki yang mendanai pembangunan rumah kami memang kerjanya bagus,” kata Cut Nyak Daud. Beberapa kali, menurut Cut Nyak Daud, pengawas proyek merobohkan tembok yang telanjur dibangun lantaran ketebalannya tidak sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak pembangunan rumah.
Lampuuk pantas bangga. Bersama Kompleks Buddha Tzu-Chi dan Persahabatan Indonesia-Tiongkok, di Neuheun, Aceh Besar, kompleks Lampuuk tampil paling cantik. Kontur lokasi yang berbukit-bukit dan desain rumah yang bagus membuat ketiga kompleks rumah bantuan ini tak kalah dengan kompleks real estate di Bogor.
Tak semua korban tsunami semujur Cut Nyak Daud. Pasangan Karyanto dan Linda, warga Pungee, Banda Aceh, harus merombak habis rumah bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR). ”Jendela dan pintunya miring,” kata Karyanto, 50 tahun. Petugas BRR tak ada yang mengawasi pembangunan rumah. ”Setelah selesai, baru petugas datang. Telat,” katanya.
Karyanto masih merasa beruntung. ”Paling tidak, rumah saya bisa ditempati,” katanya. Lain halnya dengan warga Lambaro Neujid, Peukan Bada, Aceh Besar. ”Bagaimana rumah kami bisa ditempati? Atap belum ada. Lantai dan dinding baru setengah,” kata Rusli, Sekretaris Desa Lambaro Neujid.
Kontraktor pembangun rumah, menurut Rusli, sudah kabur entah ke mana. Pengaduan pun sudah diajukan, namun belum ada tanggapan. ”Pak BRR bicaranya manis saja,” kata Tengku Adjas, warga Lambaro.
Begitulah, pekan-pekan ini rumah menjadi topik perbincangan panas di Aceh. Telah genap tiga tahun tsunami berlalu. Orang saling mematut, rumah bantuan mana yang cantik dan mana yang buruk rupa. Cemburu, tak bisa tidak, muncul ke permukaan. ”Rumah orang itu cantik nian, rumah kami begini saja,” begitu komentar yang biasa terdengar saat Tempo bertandang ke berbagai kompleks rumah bantuan di Aceh pekan lalu.
Harus diakui, beragamnya kualitas tak dapat dihindari. Sedikitnya ada 75 lembaga pemberi bantuan, dalam dan luar negeri, yang berkomitmen membangun rumah untuk korban tsunami di Aceh-Nias. Setiap lembaga punya standar sendiri. Sebagian membangun rumah panggung, lainnya rumah batu, yang satu lagi lebih suka rumah tahan gempa. ”Semua tergantung pada kapasitas donor pemberi bantuan,” kata Bambang Sudiatmo, Deputi BRR untuk Perumahan dan Permukiman.
Patut disorot pula, waktu menjadi sangat krusial. Pembangunan rumah mesti dilakukan bergegas. Pada saat yang sama, ketersediaan kontraktor dan tukang bangunan yang berpengalaman amat terbatas. Inflasi honor tukang, juga material, tak terhindarkan. Semua harga sektor konstruksi melambung tak terkendali. Rumah yang pada awalnya dipatok Rp 40–50 juta per unit, kini melonjak hingga Rp 60–70 juta per unit.
Sebenarnya, dengan segala keterbatasan, derap pembangunan rumah pascatsunami Aceh-Nias cukup mengesankan. Dalam kondisi normal, gabungan perusahaan real estate Indonesia hanya mampu membangun rata-rata 80 ribu unit rumah per tahun.
Bandingkan dengan di Aceh-Nias yang infrastrukturnya babak-belur dihantam tsunami dan gempa. Hanya dalam tempo tiga tahun di kawasan ini telah dibangun 106 ribu rumah atau 35 ribu rumah per tahun. ”Ini pun masih perlu kita beri diskon waktu,” kata Bambang Sudiatmo. Maklum, pada semester pertama 2005, orang masih sibuk dengan pendataan yang super ruwet. Tunggakan rumah yang belum selesai, sekitar 40 ribu unit, akan dikebut BRR sampai paruh pertama 2008. ”Kami optimistis target itu bisa tercapai,” kata Bambang.
Namun, ekspektasi masyarakat terhadap BRR amatlah tinggi. Kinerja cukup baik tak lagi cukup. BRR diharapkan bekerja ekstra luar biasa dan istimewa. Tunggakan rumah yang belum terbangun tak dapat termaafkan. ”Rapor BRR merah, bahkan lebih buruk dari merah,” kata Puspa Dewi, Ketua Solidaritas Perempuan Aceh.
Ada juga suara yang bernada lain. Heru Nugroho, yang mendampingi Tim Air Putih, LSM di bidang teknologi informasi, menegaskan bahwa menilai kinerja BRR tak cukup hanya dari segi pembangunan fisik. ”Harus diakui, ada banyak kendala nonteknis yang memungkinkan orang memancing di air keruh,” kata Heru tanpa mau memerinci lebih jauh.
Kendala nonteknis ada beragam. Selain korupsi internal di lembaga BRR, sebagian warga Aceh juga tak luput melakukan tipu daya. Ada ratusan laporan tentang orang yang kebagian rumah ganda. Di barak yang satu dia mendaftar dengan nama si anu, di barak lain dia memakai nama si badu. ”Mereka tega menipu, sementara saudaranya belum kebagian rumah,” kata Bambang. Dalam waktu dekat, BRR akan menggelar operasi penertiban kepemilikan ganda ini.
Persoalan lain: ada 250-an kontraktor rekanan BRR yang menghadapi masalah pungutan liar. Sebagian besar kontraktor, menurut seorang sumber, terpaksa berhenti di tengah jalan lantaran tak sanggup menghadapi derasnya pungutan tak resmi. Proyek pun ditelantarkan.
Ibnu Hajar, kontraktor pemilik PT Puncak Perdana, mengisahkan pengalamannya. Sebundel berkas tertulis permintaan pungutan dari berbagai pihak dia tunjukkan.
Ibnu, antara lain, dipercaya membangun 163 unit rumah tipe 36 di Blang Crum, Kabupaten Lhok Seumawe. Ketika hendak mulai bergerak, November 2006, sekelompok warga yang mengaku eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) datang meminta uang. ”Istilahnya uang assalamualaikum,” kata Ibnu.
Tak tanggung-tanggung, nilainya Rp 2,5 juta untuk setiap unit rumah. Total jenderal, duit yang diminta adalah Rp 407 juta. ”Setelah tawar-menawar, akhirnya turun Rp 150 juta. Kalau tak dibayar dalam tujuh hari, kami tak boleh kerja,” kata Ibnu.
Tak berhenti di sini. Pungutan masih mengalir. Tidak jarang dengan bekal surat resmi dari pengurus kampung. Ada uang keamanan, uang turun muatan, bahkan uang kuburan. ”Entah apa hubungannya rumah dan kuburan,” kata Ibnu. Tapi, biarpun uang keamanan sudah dibayar, Ibnu mengeluh, ”Tetap saja rangka besi yang sudah dipasang digergaji dan dibawa pergi orang.”
Pengalaman serupa juga menimpa Anto (bukan nama sebenarnya), warga Ulee Lheu, Banda Aceh, yang sedang membantu sebuah program untuk LSM setempat. Dia didatangi tiga orang yang mengaku eks anggota GAM. Saat mendatangkan generator, ia dikenai pungutan Rp 5 juta. Anto tak sanggup menolak karena mengkhawatirkan keselamatan keluarganya. ”Mereka ada yang bawa senapan,” katanya.
Dengan situasi semacam itu, tak mengherankan bila laju pembangunan melambat. Proyek perumahan di Blang Crum, umpamanya, sudah setahun berlarut-larut. Padahal, target awalnya se-lesai April 2007. ”Malu saya dengan ibu-ibu pengungsi,” kata Ibnu, ”Mereka saban sore datang ke lokasi, senang sekali melihat rumah hampir jadi, tapi harapan mereka tak kunjung terwujud.”
Ibrahim bin Syamsyuddin, juru bicara KPA, memberi penjelasan. ”Dulu di masa konflik, praktek pungutan biasa dilakukan dengan nama pajak nanggroe,” katanya. Tapi, sejak perjanjian Helsinki, 2005, ”Tak boleh ada lagi pajak nanggroe,” katanya.
Memang, Ibrahim mengakui, masih ada kerikil tajam di lapangan. ”Ada yang belum terbiasa dengan perdamaian dan masih suka memungut,” katanya. Ibrahim juga mempersilakan para korban pungutan mengadu kepada KPA dan bila perlu ke polisi. ”Kita punya hukum kan,” katanya.
Kerikil tajam itu, menurut Ibnu Hajar, tak bisa dianggap sepele. Semua pihak terkait, yakni KPA, polisi, Pemda, dan juga BRR, mesti serius menangani hal ini. ”Pejabat Pemda jangan cuma omong saja. Turun dong ke lapangan,” katanya.
Lambatnya pembangunan, Ibnu melanjutkan, niscaya akan membawa dampak buruk bagi masyarakat Aceh sendiri. Apalagi yang dipermainkan adalah uang bantuan yang dikumpulkan sen demi sen oleh warga di seluruh dunia. Kata Ibnu, ”Janganlah kita mengkhianati amanah itu.”
Mardiyah Chamim, Adi Warsidi (Nanggroe Aceh Darussalam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo