Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gemuruh Pagi <font color=#669900>di Kaki Lawu</font>

Reruntuhan bukit menimbun 30 lebih penduduk Tawangmangu. Perubahan fungsi lahan dianggap sebagai penyebab longsor.

31 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNYI gemuruh itu terdengar seperti pesawat yang lewat di atas halaman tetangga. Partiyem menghentikan langkah di kegelapan rumahnya. Ia membatalkan niat mengambil korek api untuk menghidupkan lilin. Mendadak berbagai benda berjatuhan menimpanya.

Di pagi buta, Rabu pekan lalu, itu Partiyem melihat Bukit Kempong di belakang rumahnya runtuh. ”Saya lihat ada tiga orang lewat, dua di antaranya bergendongan, lalu mereka tertimbun longsoran tanah,” kata penduduk Dusun Mogol Ledoksari, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, itu.

Partiyem lamat-lamat mendengar rintihan orang minta tolong, namun perempuan 55 tahun itu hanya bisa menolong dirinya sendiri. Ia lolos dari himpitan rupa-rupa barang dan lari menyelamatkan diri. Ia selamat, tapi dua anaknya tidak—Parlan, 25 tahun, dan Maryati, 15 tahun. Maut juga menjemput Hamid, 4 tahun, keponakannya.

Timbunan tanah itu mengubur 36 penduduk Dusun Mogol Ledoksari. Mereka tinggal di rumah-rumah yang paling dekat dengan Bukit Kempong. Longsor pada pukul 4 itu juga menerjang belasan rumah. Tanaman hias yang kini menjadi sumber nafkah penduduk setempat dan bernilai miliaran rupiah pun lenyap.

Tinggi Bukit Kempong sekitar 50 meter dari perkampungan di sekitarnya. Rerumputan tumbuh di punggungnya. Tak ada pohon besar, hanya satu-dua pohon cemara. Perkampungan Mogol Ledoksari berjarak 2 kilometer dari terminal Tawangmangu, kawasan wisata di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang kini ”ditanami” banyak vila mewah.

Meski berada di perbukitan yang jalannya berkelok-kelok dengan lurah dan ngarai yang curam, perkampungan itu terhitung padat. Hampir semua yang tinggal di kampung itu memiliki ikatan persaudaraan. Tak mengherankan, banyak korban merupakan kerabat dekat.

Kakak dan ibu Hamid, bocah yang tewas di rumah Partiyem, misalnya, juga menjadi korban. Jenazah mereka belum ditemukan hingga Jumat malam. Syaiful, ayah Hamid, menuturkan, malam saat musibah menimpa, ia pergi ke Malang, Jawa Timur. Di tengah jalan, seorang kerabatnya menelepon untuk mengabarkan bahwa rumah dan keluarganya tertimbun longsor. ”Sehari sebelumnya, saya mimpi selokan di dekat rumah penuh air. Ternyata itu firasat saya kehilangan keluarga,” tuturnya.

Saat musibah menjelang, sebenarnya hampir semua penduduk kampung masih terjaga. Mereka siaga karena pada Selasa malam Bukit Kempong mulai longsor. Hujan yang mengguyur sejak siang meruntuhkan bukit itu. Longsor menimpa lima rumah terdekat. Para tetangga pun bergotong-royong membersihkan rumah-rumah itu dan sungai di dekatnya.

Belum usai kerja bakti, listrik padam. Rintik hujan kembali turun. Mbah Warso, tetua kampung, mempersilakan para tetangganya mampir ke rumahnya, namun mereka memilih pulang ke rumah masing-masing. Hanya beberapa menit kemudian, ketika penduduk bersiap mengambil air wudu untuk salat subuh, bukit longsor. ”Terasa ada getaran,” kata Joyosentono, seorang penduduk.

Tak lama berselang, hiruk pikuk dan jeritan pilu terdengar. Suara kentongan bertalu-talu menandakan bencana di desa itu. Joyosentono teringat tetangganya yang berkumpul di rumah Mbah Warso. Dia bergegas kembali tapi hanya mendapati gundukan tanah yang melenyapkan belasan rumah. ”Kalau tidak oglangan (mati lampu) dan tidak hujan, orang sekampung bisa jadi korban,” katanya.

Bahaya longsor sebenarnya tak hanya mengancam penduduk di sekitar Bukit Kempong. Menurut Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, kawasan pelindung dan penyangga di sekitar Gunung Lawu yang menjadi daerah budidaya tanaman semusim dan tahunan merupakan penyebabnya. ”Setahun lalu sudah ada rekomendasi agar dilakukan penyesuaian lahan di kawasan itu,” kata Tundjung Wahadi Sutirto, peneliti di lembaga itu.

Tawangmangu berlokasi di Daerah Aliran Sungai Samin yang bermuara di Bengawan Solo. Di sini banyak kawasan lindung dan penyangga berubah menjadi area penanaman sayuran. Penyebab lain, menurut Tunjung, akibat maraknya penambang galian C di daerah Jatiyoso, wilayah yang juga longsor.

Penambangan batu dan pasir di Sungai Samin, Tunjung menjelaskan, menyebabkan degradasi dasar sungai yang bisa memicu longsor di tebing sungai. Adapun penambangan seperti di daerah Koripan dan Gemantar, Matesih, menyebabkan tebing menjadi sangat terjal, cenderung tegak lurus, yang rawan longsor.

Yang lebih parah, menurut Tundjung, daerah-daerah rawan longsor merupakan permukiman penduduk. Daerah rawan di Kecamatan Tawangmangu antara lain Desa Gondosuli, Cengklik, Kalisoro, Blumbang, dan Tawangmangu. Di kecamatan lain ada Matesih dan Jumantono. ”Jika terjadi longsor berpotensi menimbulkan korban,” kata Tundjung.

Rabu pagi pekan lalu, longsor terjadi di 10 kecamatan se-Kabupaten Karanganyar. Selain Tawangmangu, longsor terjadi di Kecamatan Jenawi, Ngargoyoso, Kerjo, Karangpandan, Jumapolo, Jatiyoso, Matesih, Jaten, dan Karanganyar. Menurut Rina Iriani, Bupati Karanganyar, setidaknya 65 orang tewas akibat bencana ini.

Budi Setyarso dan Imron Rosyid (Karanganyar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus