Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Bisnis TNI</font><br />Maju-Mundur Jalan di Tempat

Pengambilalihan bisnis TNI tersendat-sendat. Akibat anggaran negara masih cekak.

26 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA Juli tahun lalu, di penghujung wawancara dengan Tempo, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengaku sedang menyiapkan kado penting untuk peringatan kemerdekaan republik ini. Hadiah itu adalah rampungnya rancangan peraturan presiden tentang pengambilalihan unit usaha komersial TNI. ”Sudah disetujui tim pengarah dan tinggal menunggu Istana,” katanya berbunga-bunga.

Wajar jika Juwono bersukacita. Pengesahan peraturan presiden itu akan menjadi landasan operasional bagi pembentukan tim khusus yang bertugas membersihkan militer Indonesia dan bisnis yang dibangunnya sendiri. Ini langkah bersejarah, mengingat patgulipat perwira dan para cukong di negeri ini sudah mengakar berpuluh-puluh tahun. ”Tunggu saja,” kata Juwono ketika itu.

Namun Agustus 2006 berlalu begitu saja. Publik menanti-nanti, sampai akhirnya dua pekan lalu Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan, Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, melansir kabar teranyar. Dia menegaskan, rancangan pembentukan tim nasional pengambilalihan bisnis TNI sudah diajukan ke Presiden. ”Tinggal disahkan,” katanya kepada wartawan. Mudah ditebak: dalam setahun terakhir tidak ada perkembangan yang berarti.

Tak hanya soal jadwal yang jalan di tempat, nama orang yang bakal diplot menjadi calon Ketua Tim Nasional Transformasi Bisnis TNI pun terus berubah. Semula nama mantan Deputi Komunikasi dan Hubungan Kelembagaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Sudirman Said, yang santer disebut-sebut.

Dua pekan lalu giliran Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi—akan melepas jabatannya di KPK pada Desember nanti—yang mengorbit. Alasannya, selepas mundur dari BRR, Sudirman sudah bertugas di tempat lain. Kini ia adalah staf ahli Direktur Utama Pertamina, Arie Sumarno. ”Ini sesuai dengan keputusan rapat di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan sebelum Lebaran kemarin,” kata Sjafrie.

l l l

SEMUA ribut-ribut ini berpangkal pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 76 peraturan itu menegaskan, militer harus melepas semua unit bisnisnya sebelum 2009. Merespons aturan itu, November 2005, pemerintah membentuk tim supervisi transformasi bisnis TNI—sebuah unit kerja lintas departemen. Sekretaris Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara, Muhammad Said Didu, menjadi koordinator tim, didampingi Sekjen Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.

Tim ini bertugas mengumpulkan data tentang semua bisnis militer, baik yang berbentuk koperasi, yayasan, maupun perseroan terbatas. Enam bulan setelah pembentukannya, Said Didu melapor ke Komisi Pertahanan DPR dan mengaku sudah menemukan 1.520 unit usaha, 1.071 koperasi, dan 25 yayasan dengan total nilai aset sekitar Rp 1 triliun. Namun, dari jumlah itu, yang benar-benar layak diambil alih tak lebih dari 12 unit bisnis yang asetnya bernilai Rp 50 miliar atau lebih. Koperasi dan yayasan tidak akan diutak-atik asalkan menjalankan fungsinya menurut undang-undang.

Tugas tim Said Didu sebenarnya hanya sampai di sini. Audit, penjualan atau likuidasi, dan pembentukan holding company yang akan menaungi semua bisnis TNI, akan menjadi pekerjaan tim pelaksana, yang dibentuk berdasarkan peraturan presiden. Nah, tim inilah yang tak kunjung terbentuk sejak pertengahan tahun lalu.

”Tidak terlambat, semua berjalan menurut rencana,” kata juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, akhir pekan lalu. Dia memastikan bahwa Presiden tetap ingin membersihkan bisnis militer sebelum jangka waktu lima tahun yang diberikan undang-undang itu habis. ”Tapi tentu semua tidak bisa selesai dalam semalam. Ada tahapnya.”

Sumber Tempo lain memastikan naskah rancangan peraturan presiden memang pernah masuk Istana pada Juli tahun lalu. ”Tapi dikembalikan oleh Sekretaris Kabinet,” katanya. Alasannya, rancangan itu belum dikonsultasikan dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S.

Karena itulah, rapat koordinasi terakhir membahas rancangan final peraturan presiden ini digelar di kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, akhir September lalu. Dalam rancangan peraturan presiden itu disebutkan bahwa Tim Nasional Transformasi Bisnis TNI akan mulai bekerja paling lambat akhir 2008 dan melaporkan hasil kerjanya pada Oktober 2009. Tim ini akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Nama-nama anggota tim pun akhirnya disetujui. ”Rancangan ini harus segera dilaporkan ke Istana,” kata Widodo.

Human Rights Watch, organisasi non-pemerintah internasional yang berbasis di New York, Amerika Serikat, menyesalkan tersendat-sendatnya transformasi bisnis TNI ini. Tahun lalu lembaga ini merilis laporan lengkap tentang dampak bisnis militer terhadap profesionalisme TNI.

Lambannya pengambilalihan bisnis TNI membuat banyak orang ragu pada niat pemerintah Indonesia mereformasi TNI. ”Departemen Pertahanan sudah berulang kali melanggar janji komitmen dan jadwal yang mereka buat sendiri,” kata peneliti Human Rights Watch, Lisa Misol, dalam surat elektroniknya kepada Tempo, pekan lalu. Lisa adalah salah satu penulis utama dalam laporan Human Rights Watch tentang bisnis militer Indonesia.

Lisa menunjuk semakin banyaknya bisnis TNI yang dijual tanpa audit berarti. ”Ini berbahaya, karena tidak ada akuntabilitas,” katanya lagi. Selain maskapai penerbangan PT Mandala Airlines dan Bank Artha Graha yang dijual tahun lalu, Yayasan Kartika Eka Paksi—yang dibentuk oleh TNI Angkatan Darat—saat ini sedang bersiap menjual PT ITCI Kartika Utama, perusahaannya yang bergerak di bidang perkayuan.

Meski semua penjualan itu sudah disetujui Departemen Pertahanan, pertanyaannya adalah mengapa obral besar-besaran itu harus dilakukan sekarang, sebelum peraturan presiden yang mengatur soal transformasi bisnis TNI disahkan. Jawabannya mudah. Saat ini, sebagian dana hasil penjualan perusahaan dikembalikan ke yayasan militer untuk digunakan sebagai dana abadi.

Mayor Jenderal (Purn.) Joko Subroto, mantan Direktur Utama PT Tri Usaha Bhakti, holding company di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi, membenarkan hal itu. Dia membantah penjualan itu sengaja dilakukan cepat-cepat untuk mendahului peraturan presiden. Apalagi, ”Dana hasil penjualan itu pun belum cukup untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan prajurit,” kata Joko, yang kini menjadi anggota parlemen dari Fraksi Golkar. Dia menunjuk biaya pendidikan dan kesehatan keluarga prajurit kini tidak jelas sumbernya. ”Dulu kami bisa memberikan beasiswa untuk anak prajurit yang berprestasi. Sekarang tidak,” katanya.

l l l

MEMANDANG bahwa bisnis TNI semuanya makmur sentosa memang tak benar juga. Tujuh tahun lalu kantor auditor independen, Ernst & Young, memeriksa 43 perusahaan di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi. Mereka menemukan hanya dua perusahaan yang untung. Kerugian seluruh unit usaha itu pada 2000 saja mencapai Rp 8,21 miliar. Seorang petinggi Kopassus pernah bercerita bahwa pendapatan bulanan Yayasan Korps Baret Merah (Kobame) milik kesatuan itu dari Mall Cijantung hanya cukup untuk membeli semir sepatu, pasta gigi, dan braso untuk kebutuhan prajurit. Tak jelas apa penyebab kerugian itu: bisa karena TNI memang tak cakap berbisnis, atau keuntungannya banyak dikutip para petinggi sebelum duit masuk kas perusahaan.

Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa baru 30 persen kebutuhan minimum TNI yang dipenuhi anggaran negara. Tahun ini saja anggaran TNI yang disetujui hanya Rp 33,67 triliun dari pengajuan sebesar Rp 100,5 triliun. ”Kalau semua bisnis militer diambil, lalu dari mana menutup sisanya?” kata Joko Subroto.

Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng memastikan bahwa Presiden Yudhoyono akan memikirkan soal itu sebelum membubuhkan tanda tangannya pada peraturan penertiban bisnis TNI. Pemerintah, kata Andi, akan terus memperjuangkan peningkatan anggaran negara untuk TNI. ”Tapi tentu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi kita,” katanya cepat-cepat.

Wahyu Dhyatmika, Raden Rachmadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus