Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASAK-kusuk beredar di kalangan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan. Hidup pemimpin mereka, Anwar Nasution, 66 tahun, sangat bergantung pada nasib Aulia Pohan—mantan Deputi Bank Indonesia dan salah satu tokoh yang dituding terkait dengan suap bank sentral ke Dewan Perwakilan Rakyat. ”Kalau Aulia kena, Anwar juga kena,” tutur seorang anggota staf lembaga auditor negara itu.
Menurut dia, posisi Anwar makin terjepit. Serangan bertubi-tubi diarahkan kepadanya. Sejumlah pengakuan di pengadilan menyebut keterlibatan Anwar—guru besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia yang juga pernah menjadi deputi gubernur bank sentral.
Kesaksian mantan Direktur Biro Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong, misalnya, menyebutkan Anwar pernah memintanya memusnahkan dokumen terkait dengan aliran dana bank sentral. Magdir Ismail, pengacara Antony Z. Abidin—anggota Dewan yang kini diadili dalam kasus yang sama—menuding Anwar melaporkan kasus ini karena sakit hati akibat tidak dipilih Dewan menjadi Gubernur Bank Indonesia.
Terhadap Anwar, media massa pun tak kalah galak. Sebuah koran nasional awal September lalu, misalnya, menurunkan berita dengan judul ”Kredibilitas BPK Merosot di Tangan Anwar Nasution”. Media itu mengusulkan agar Anwar diberhentikan supaya Badan Pemeriksa tak ikut-ikutan kena getahnya. Terhadap pemberitaan itu, Anwar meradang. ”Sudah tidak benar kalian (media) membangun opini,” katanya.
Sejak Agustus lalu, untuk memoles citra, Anwar memanfaatkan konsultan public relations. Pertengahan Ramadan, misalnya, Satu Communication, penasihat hubungan masyarakat yang disewa Badan Pemeriksa, menggelar acara buka puasa bersama pemimpin media massa dilanjutkan dengan diskusi terbatas.
Menurut Fauzi Syuaib dari Satu Communication, proyek pertamanya adalah memoles wajah Badan Pemeriksa yang di media massa sudah kadung coreng-moreng. Caranya, ”Kami analisis beritanya, kemudian kami jawab dengan elegan,” kata Fauzi. Ia menyangkal jika dikatakan programnya dilakukan dengan ”membeli” media. Dalam jamuan buka puasa itu, Anwar diberi kesempatan membela diri. ”Dalam kasus aliran dana itu, saya termasuk korban,” ujar Anwar.
Lain Anwar lain pula mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Lelaki 61 tahun yang telah jadi tersangka kasus suap ini justru memanfaatkan sidang pengadilan untuk membela diri. Menurut seorang sumber Tempo, ”Sejak awal dia memang mengaku bersalah dan berjanji akan buka-bukaan.” Ia berharap semua yang terlibat dihukum secara adil.
Untuk itu, menurut sumber lain, sebelum ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Burhan sempat memberikan segepok dokumen aliran dana bank sentral. Diharapkan berkas itu dijadikan acuan para juru tinta. ”Biar publik menilai sendiri siapa sebenarnya yang bersalah,” kata Burhan suatu ketika.
Salah satu media yang aktif menggunakan dokumen Burhan adalah majalah Konstan. Majalah ini, misalnya, pernah menulis laporan panjang tentang skandal Bank Indonesia dengan memanfaatkan dokumen tersebut. Laporan itu keruan saja dituding membela Burhan dan memojokkan anggota dewan gubernur yang lain. ”Saya dengar (majalah) itu disponsori oleh Burhanuddin,” kata Anwar Nasution.
Pemimpin Redaksi Konstan Bandot D.M. tak ingin banyak berkomentar atas tudingan itu. ”Terserah orang mau berpendapat apa pun,” ujarnya. Menurut dia, saat melakukan investigasi, wartawannya bahkan tak melakukan kontak langsung dengan Burhan sebagai sumber berita. Kata Bandot, ”Dokumen yang menjadi dasar laporan disodorkan sumber lain.”
Agus Supriyanto, Sahala Lumban Raja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo