Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM tersungging dari bibir Fadel Muhammad. Ketua Golkar Gorontalo ini gembira karena masuk nominasi sepuluh calon presiden versi Rapat Pimpinan Nasional di Hotel Borobudur, Jakarta, Ahad malam pekan lalu. Ia disebut sebagai calon presiden oleh Golkar Papua dan Nusa Tenggara Timur dalam pemandangan umum. ”Saya masuk,” kata Fadel optimistis.
Daftar ini seperti obat buat Fadel, yang pernah kecewa karena diganjal Golkar pusat untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat tahun depan. Semula Fadel hakulyakin bakal melenggang ke Senayan dari daerah pemilihan Gorontalo. Setidaknya ia pernah terpilih menjadi Gubernur Gorontalo dengan meraup 80 persen suara.
Yang membikin senyum Fadel tak lebar-lebar amat, sepuluh nama itu tak diumumkan secara terbuka oleh Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla di akhir acara. Nama-nama itu sejatinya hanya muncul dari mulut ketua-ketua Golkar di daerah dalam sesi pemandangan umum.
Sumber Tempo menyebutkan ”peran” Kalla sangat besar dalam memunculkan calon-calon presiden itu. ”Nama-nama tadi sekadar daftar di atas kertas,” kata sumber itu. Kesepuluh calon itu adalah Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Fadel Muhammad, Muladi, Fahmi Idris, dan Yuddy Chrisnandi.
Dalam perhitungan Kalla, menurut si sumber—tokoh Golkar dari Jawa Timur—pengumuman daftar calon presiden hanya akan membuat banyak kader Golkar menuntut hak yang sama. Ini bisa menjadi bola liar yang menjurus pada tuntutan dilangsungkannya konvensi. Empat tahun lalu, ketika dipimpin Akbar Tandjung, Golkar pernah menggelar konvensi. Kalla tak ingin ini terjadi: sejak Rapat Pimpinan Nasional tahun lalu, ia sudah mengharamkan konvensi. Mekanisme penetapan calon presiden, kata dia, akan ditetapkan dalam forum Rapat Pimpinan Khusus.
Melalui rapat khusus, Kalla lebih mudah ”bermain”. Hasil akhirnya: hanya si ketua umum yang dijajakan sebagai calon presiden. Betul, tak seperti Akbar Tandjung, Kalla tak mengakar di daerah-daerah. Tapi, sebagai ketua umum, apalagi hanya dalam forum rapat khusus, kata sumber itu, Kalla bisa mengendalikan anak buahnya. Tentang Kalla nantinya akan jadi calon presiden atau wakil presiden, itu soal lain. Yang utama, Kalla ingin hanya dirinya yang secara resmi didukung institusi partai. ”Ini pakai ilmu sluman slumun slamet (bergerak diam-diam untuk mencapai tujuan),” kata sumber itu.
Soal ”permainan” Kalla ini dibenarkan Ketua Partai Golkar Syamsul Muarif. Menurut dia, jika tak dihadang Kalla, kandidat calon presiden Golkar sudah diumumkan. ”Kalla tidak mau ada calon presiden sekarang,” ujar Syamsul. Beberapa kali Kalla menyatakan, jika kandidat calon presiden dimunculkan sekarang, dampaknya buat Golkar belum tentu bagus. Kalla merujuk pada gagalnya calon presiden Golkar, Wiranto, yang lahir dari konvensi pada pemilihan presiden 2004. ”Saya tidak ingin mengulang kegagalan sebelumnya,” kata Kalla.
SUKSES menjaga agenda politik internal Golkar, Kalla kini berkonsentrasi pada proses penyusunan Undang-Undang Pemilihan Presiden. Sumber lain di Golkar menyebutkan keinginan wakil Golkar di Senayan agar syarat pencalonan calon presiden minimal didukung 30 persen suara partai adalah representasi kemauan Kalla. Diharapkan terjadi kompromi pada titik 25 persen suara. Syamsul Muarif membenarkan kisah ini. ”Kalla memang terus berkoordinasi dengan Fraksi Golkar. Dia kan ketua partai,” ujarnya.
Sumber Tempo mengungkapkan syarat tinggi yang ditetapkan Golkar dilakukan untuk mengunci Yudhoyono agar tetap menggandeng Kalla dalam pemilihan presiden tahun depan.
Kalla cukup tahu diri bahwa popularitasnya dalam sejumlah survei kalah dibanding Yudhoyono. Ia bahkan tertinggal di belakang jika dibanding suara sesama kader Golkar, Sultan Hamengku Buwono X. Sejauh ini popularitas Kalla hanya berkisar pada angka dua persen—jauh di bawah Yudhoyono yang sekitar 30 persen dan Megawati yang mendapat 24 persen.
Semakin tinggi syarat dukungan, semakin kuat posisi Kalla untuk digandeng sebagai orang nomor dua. Kalla optimistis Golkar akan meraup suara 20 persen atau setidaknya 15 persen.
Di sisi lain, tidak mungkin Partai Demokrat yang didirikan Yudhoyono mendapat suara banyak. Partai ini diprediksi tidak banyak beranjak sebagai partai tengah. Karena itu, Yudhoyono perlu dukungan partai besar untuk koalisi. Kawan kongsi yang paling mungkin adalah Golkar.
Menurut sumber tersebut, hampir muskil Yudhoyono menggandeng Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ketua Umum Megawati belum pernah bertemu dengan Yudhoyono sejak memerintah empat tahun lalu. ”Mereka tak bertegur sapa, rasanya impossible untuk berkoalisi.” Yudhoyono sendiri akhir bulan lalu sudah memberi sinyal akan tetap bergandeng tangan dengan Kalla.
Jikapun Kalla tak ”kawin” dengan Yudhoyono, saudagar Bugis ini masih cukup seksi untuk dilamar kandidat dari partai lain. Kalla, misalnya, bukan tak mungkin menjadi wakil Megawati. Tak seperti dengan Yudhoyono, hubungan Mega dengan Kalla juga relatif baik. Kedua partai pun cuma butuh dukungan dua atau tiga partai menengah untuk menguasai parlemen. ”Jadi bola masih di tangan Kalla,” kata sumber itu.
Sayang, Kalla tak bisa dikontak untuk dimintai konfirmasi. Tapi Malkan Amin, pengurus Golkar yang dekat dengan Kalla, mengatakan ide syarat minimal dukungan 30 persen memang berasal dari Kalla. Ini didasarkan pada optimisme Golkar untuk memenuhi target 30 persen suara. Pada pemilihan umum sebelumnya, kata Malkan, Golkar meraih 22 persen. Padahal saat itu Golkar dicaci maki, kader merasa tidak aman, dan sejumlah fasilitas partai dirusak.
Kalla, kata dia, belum berpikir untuk pemilihan presiden, tapi berkonsentrasi pada pemilihan legislatif. Jika Golkar mengeluarkan daftar calon presiden, konsentrasi mesin partai akan terpecah pada dua kegiatan: memenangkan jagonya untuk calon presiden dan meraup sebanyak mungkin suara dalam pemilu legislatif.
Partai, kata dia, sudah menetapkan calon presiden dan wakilnya diumumkan setelah pemilu legislatif April tahun depan melalui Rapat Pimpinan Khusus. ”Apakah Pak Kalla menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dan siapa pasangannya, semua tergantung hasil pemilu legislatif,” katanya.
Sunudyantoro, Cornila Desyana, Verrianto Madjowa (Gorontalo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo