Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI permukiman padat penduduk, Kelapa Gading Barat, pria itu tinggal bersama istrinya sejak setahun lalu. Tetangganya mengenal dia sebagai Wahyu, tukang bor sumur. Rumah 15 meter persegi yang ditinggalinya itu berdinding kayu, berlantai semen. Ini satu dari dua rumah kontrakan milik Muntasir, buruh bangunan yang juga tinggal di kampung yang sama.
Ribuan orang pendatang dengan pelbagai profesi hidup berdampingan di Jalan Gading Sengon, Kepala Gading, Jakarta Utara, itu. Ini perkampungan yang hanya seratusan meter dari Depo Pertamina Plumpang, tempat penampungan minyak sebelum dipasok ke Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Serombongan polisi dari Detasemen Khusus 88 Antiteror mendatangi kampung itu, Selasa pagi pekan lalu. Pasukan tak berseragam ini dipimpin Komisaris Besar Idham Azis dari Direktorat Keamanan Transnasional Badan Reserse Kriminal. Menurut Uti Utami, penduduk setempat, rombongan polisi itu langsung menggeledah rumah Muntasir. ”Tadinya saya pikir penjahat,” ujarnya, ”tapi polisi kemudian menunjukkan identitas.”
Target operasi pagi-pagi itu ternyata Wahyu yang, menurut polisi, memiliki nama lain Ramadhan alias Uci alias Farid alias Zulfikar alias Mukhlis. Ia tak ada di rumah karena mengantar istrinya ke tempat kerja. Tapi polisi mengklaim menemukan 2,6 kilogram TNT, 27 butir peluru 9 milimeter, papan sirkuit elektronik, serbuk sejenis aluminium sulfat, dan sejumlah senjata api dari rumah itu.
Muntasir, pria kelahiran Brebes, 1974, yang kerap mengisi pengajian di masjid dekat rumahnya, kemudian dibawa ke kantor polisi. Wahyu ditangkap beberapa saat kemudian. ”Tak ada perlawanan,” kata seorang petugas yang mengikuti operasi.
Sehari kemudian, polisi mengumumkan penangkapan itu. Menurut Brigadir Jenderal Sulistiyo Ishak, Wakil Kepala Divisi Humas Kepolisian RI, Detasemen Khusus 88 juga menahan Nurhasani alias Hasan di Cipayung, Jakarta Timur, serta Imam Basori al-Basar dan Budiman di Bogor.
Menurut Sulistiyo, Wahyu merupakan bagian dari Komite Penanggulangan Krisis alias Kompak, kelompok yang pernah terlibat dalam konflik Ambon pada 2002, 2003, dan 2005. Pada Januari 2007, ia terlibat dalam kontak senjata antara kelompok bersenjata dan polisi yang menewaskan sejumlah orang. Ia juga pernah menembak anggota Brigade Mobil di Loki, Seram Barat, Maluku, bersama tersangka lainnya.
Polisi pun melansir informasi gawat: Wahyu dan kelompoknya berencana meledakkan Depo Plumpang. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, mereka juga menjadikan para petugas antiterorisme sebagai target pembunuhan. ”Kami pun mewaspadai ancaman pada sasaran yang bisa menimbulkan dampak ekonomi,” ujar Bambang.
DUA puluh enam tahun lalu, Wahyu alias Uci lahir di Dolong, Sulawesi Tengah, pada 14 April. Orang tuanya memberi nama Rusli Mardani. Lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Poso pada 2000, Rusli pernah berniat ikut seleksi calon bintara Tentara Nasional Indonesia. Konflik antaragama di Poso mengubah jalan hidupnya.
Nama Uci cukup dikenal di kalangan kelompok yang pernah terjun ke Poso dan Ambon. Farihin Ibnu Ahmad, Ketua Kompak Poso, mengatakan pada 2000 Uci dan sejumlah pemuda lainnya bergabung dalam gerilyawan Kompak yang bermukim di daerah Kayamaya, Poso. ”Mereka mujahid lepas yang dibentuk orang-orang lokal yang afiliasinya ke sayap militer,” kata Farihin.
Perekrut gerilyawan seperti itu, menurut Farihin, adalah Abdullah alias Jet Li, seorang aktivis Darul Islam. Abdullah belakangan tewas dalam penyerangan Tangkura, Pesisir Poso, pada 2001. ”Abdullah Jet Li inilah yang membina Uci,” kata Farihin.
Sumber Tempo, bekas anggota gerilyawan Kompak, mengungkapkan, saat konflik Poso meledak, Uci dan anggota laskar lainnya berlatih kemiliteran di wilayah Ampana, sekitar 100 kilometer dari Poso. Di sana mereka dididik oleh Mustofa alias Pranata Yudha, Panglima Laskar Khos dan bekas Ketua Mantiqi Jamaah Islamiyah Sulawesi. ”Selama tiga bulan dilatih cara militer,” rekan sepelatihan Uci itu menuturkan.
Setelah lulus pelatihan, Uci dan rekan-rekannya mulai menyerang kelompok Kristen. Pada Desember 2003, Uci ikut dalam penyerbuan di Desa Betheleme, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang menghanguskan ratusan rumah penduduk Kristen. Ia lolos dari sergapan polisi pada operasi besar-besaran 22 Januari 2007 di Poso. Ia lari ke Gorontalo, dua hari setelah peristiwa itu, sebelum kemudian menyeberang ke Jawa hingga ditangkap pekan lalu.
Polisi menduga kelompok Wahyu atau kelompok Plumpang ini tak sendirian. Rusli masih satu jaringan dengan Abdullah Sonata, pemimpin Kompak yang kini menghuni penjara karena menyembunyikan Noor Din Mohammad Top, buron nomor satu tersangka teroris.
Menurut polisi, kelompok Wahyu bergabung dengan kelompok-kelompok lain, di antaranya kelompok Jundullah Sulawesi Selatan; kelompok Jamaah Islamiyah yang beroperasi di Ambon, Poso, dan Jawa; kelompok Kompak di Kayamaya, Poso, Ambon, dan Jakarta; serta kelompok di Palembang. Mereka juga berhubungan dengan kelompok Darul Islam di Jakarta dan Jamaah Islamiyah Singapura, kata polisi.
Wahyu pun diduga berhubungan dengan Noor Din, walau tidak secara langsung. Ia sebelumnya satu tim dengan Sultan Qolbi alias Asadullah alias Arsyad yang bersama-sama ikut menyerang Markas Brimob di Lokki Seram pada 2005. Asadullah ini adalah pembina kelompok Fakta Palembang sebelum ditangkap di Ambon dan dipidana 15 tahun penjara. Asadullah masuk Palembang melalui Hasan alias Fajar Taslim yang ditangkap Juli 2008. Fajar Taslim, tokoh Jamaah Islamiyah Singapura, diduga menjadi tangan kanan Noor Din.
Farihin meragukan kolaborasi itu masih relevan untuk dijadikan analisis pada saat ini. Penggabungan berbagai organisasi Islam itu, menurut dia, memang wajar terjadi saat konflik masih merebak di Poso dan Ambon. Ia mengakui Kompak waktu itu menjadi fasilitator para sukarelawan dari berbagai daerah yang dikirim ke daerah konflik. ”Tapi sifatnya individu, bukan organisasinya,” kata Farihin.
Sidney Jones, Direktur Crisis Group untuk Asia Tenggara, juga masih ragu Wahyu masuk ke dalam jaringan Noor Din. Jaringan Wahyu adalah alumni konflik Poso dan Ambon. Menurut dia, kelompok Kayamaya banyak direkrut Abdullah alias Jet li yang anggota Darul Islam. ”Kalau sudah direkrut Darul Islam, biasanya jaringan yang dia pakai milik Darul Islam juga,” tuturnya.
Selepas kasus Loki, Wahyu lari ke Jawa. Di sebuah pondok pesantren milik kelompok Darul Islam di Jawa Barat, ia menikah dan tinggal di Jakarta. Tapi ia masih sempat bolak-balik ke Sulawesi. ”Buktinya, saat peristiwa 22 Januari 2007, dia ada di sana,” kata Sidney.
Wahyu, menurut Sidney, pernah pula mondok di pesantren Wahdah Islamiyah di Sulawesi Selatan untuk memperdalam agama. Wahdah Islamiyah ini banyak mengirimkan sukarelawan ke Ambon. Setelah meletus konflik Poso, para sukarelawannya bergabung menjadi Jundullah.
Dihubungi di ruang tahanannya, Syaiful Anam alias Brekele, terpidana kasus bom Tentena, mengaku mengenal Wahyu. Ia meragukan tuduhan polisi karena, menurut dia, Wahyu tak punya kapasitas menjadi operator. Ia bukan tipe gerilyawan yang mampu berinisiatif melakukan aksi, katanya. ”Kalau dia eksekutor, bisa jadi benar. Tapi, kalau disebut operator yang mendesain, menyiapkan A sampai Z, saya kok tidak yakin,” ujarnya. ”Kemampuannya pas-pasan.”
Agus Supriyanto (Jakarta), Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo