Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINCAH benar gadis mungil ini. Turun-naik tangga di sebuah restoran di kawasan Puncak, Bogor. Sesekali berkomentar ketika ayahnya sedang berbicara di saung atas. Anike Wainggai pun tidak pernah bosan memperlihatkan kemampuan bahasanya. Bocah enam tahun ini fasih bahasa Inggris dan sedikit bahasa Indonesia serta Mandarin.
Anike murid kelas I Sekolah Dasar Collingwood College, Melbourne. Ia anak Papua asli yang kini kembali ke Indonesia. Bapaknya, Yunus Wainggai, memutuskan pulang, akhir November lalu, tiga tahun setelah meminta suaka ke Australia. Mereka tiba di Jakarta dua hari menjelang 1 Desember, yang biasanya diperingati Organisasi Papua Merdeka sebagai hari kemerdekaan.
Yunus, 39 tahun, meninggalkan Papua dari kota kelahirannya di Kabupaten Serui, Pulau Yapen, 30 Desember 2005. Ia satu dari 43 orang pimpinan Herman Wainggai yang mencari suaka politik ke Australia. Empat orang di antaranya telah kembali ke Indonesia. Sebelum Yunus dan anaknya, Hana Gobay dan Yubel Kareni juga memutuskan pulang pada 23 September. ”Kami kena tipu,” ujar Yunus sambil mengembuskan Gudang Garam.
Tiga tahun lalu, Yunus kedatangan tamu yang belum dikenalnya. Dialah Herman Wainggai, aktivis politik yang pernah dipenjara dua tahun karena mengibarkan bendera Bintang 14 di kampus Universitas Cenderawasih di Abepura pada 2002. Bintang 14 merupakan bendera dari gerakan Melanesia Barat yang ingin menyatukan suku Aborigin di Australia, Papua Nugini, Vanuatu, hingga Papua Barat. Gerakan ini dikumandangkan Thomas Wainggai, paman Herman.
Yunus mengatakan hanya memiliki marga yang sama dengan Herman, tapi tidak punya hubungan darah. Keduanya berhubungan karena Yunus adalah nelayan yang memiliki kapal dan bisa menjadi nakhoda. Sedangkan Herman berniat menggunakan kapal plus jasa nakhoda dengan sewa $A 10 ribu atau sekitar Rp 80 juta hingga tiba di Australia. Uang sewa itu belum termasuk biaya bahan bakar dan mesin.
Yunus menyetujui tawaran itu tanpa tahu tujuan Herman di Negeri Kanguru. Ia hanya berpikir bisa membawa uang hasil sewa kapalnya. Yunus membawa anaknya paling kecil, Anike, yang masih berusia tiga tahun. Ia berpikir bisa pulang dalam dua atau tiga bulan. ”Biar anak bisa melihat Australia,” kata ayah tiga anak ini.
Kapal Yunus berangkat dari Serui, 30 Desember 2005 malam, mengangkut 10 orang. Yunus menjadi kapten kapal yang bisa menampung hingga 200 orang itu. Dari Serui, kapal bergerak dan berlabuh di Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, dan Merauke untuk mengisi bahan bakar. Herman membawa penumpang lagi di Merauke, hingga totalnya 43 orang.
Setelah berlayar hampir tiga pekan, sampailah kapal itu di pantai Weipa, Cape York, ujung Australia yang paling dekat dengan Papua, pada 18 Januari 2006. Namun mereka ditangkap polisi Australia karena tidak memiliki surat kelengkapan. Yunus bahkan tidak punya paspor.
Polisi membawa mereka ke ruang tahanan imigrasi di Christmas Island. Mereka lalu ditangani lembaga internasional yang mengurusi pengungsi, UNHCR. Selama di sana, Herman selalu mengingatkan rombongannya. ”Kita harus bilang sedang ditindas dan dikejar militer Indonesia,” ujar Yunus.
Dua bulan mereka di Christmas Island, lalu dipindahkan ke Melbourne dan diberi temporary protection visa. Yunus dan teman-temannya mendapat tunjangan dari pemerintah setempat $A 400 per dua pekan. Padahal uang makan saja bersama Anike bisa habis $A 50 sehari. Belum lagi bayar kontrakan $A 150 serta listrik dan gas $A 100 setiap bulan.
Menurut dia, Herman berjanji akan mengembalikan uang sewa setelah enam bulan. Beberapa kali Yunus menanyakan uang sewa kapal, tapi Herman selalu mengelak. Boro-boro menerima uang sewa atau ganti rugi kapal, Yunus malah harus mengeluarkan ”jatah preman” buat Herman, yakni $A 50, dari tunjangan dua minggu.
Di Australia, Herman bergabung dengan aktivis lain, seperti Jacob Rumbiak. Herman ternyata juga menghubungi Siti Pandera Wainggai, istri Yunus, yang masih di Papua. ”Mereka bilang, kalau saya tidak ke luar Papua, akan dibunuh tentara Indonesia,” kata Siti saat dihubungi Tempo.
Siti lalu berangkat ke Papua Nugini pada pertengahan 2006. Setahun kemudian, dia berangkat ke Vanuatu, dan menetap di sana hingga sekarang. Siti belum pernah bertemu dengan suami dan anaknya. Ia tinggal dan berlindung di kantor Perwakilan Bangsa Papua Barat (WRPO) di Vanuatu pimpinan Andy Ayamiseba. ”Saya tidak ada keluarga di Vanuatu. Saya dan suami kena tipu,” ucap Siti.
Ia mengaku mendapat kiriman dari Yunus buat hidup sehari-hari. Padahal Yunus hanya mengandalkan uang tunjangan. Ia tidak bekerja karena statusnya masih dalam perlindungan. Keahliannya pun hanya melaut dan mengemudikan kapal. Jadinya Yunus lebih banyak diam di rumah. Ia paling mengantar putrinya ke sekolah atau keluar kalau ada panggilan demo dari Herman. ”Kalau begini terus, saya tidak bisa tahan. Kasihan anak saya,” katanya.
Yunus lalu memutuskan pulang. Dia meninggalkan flat di Collingwood pagi-pagi, tanpa memberi tahu rekan-rekannya. Polisi mengumumkan Yunus dan Anike sebagai orang hilang pada 15 November lalu. Ia ternyata pergi naik bus dengan tujuan kedutaan Indonesia di Canberra.
Yunus meminta kedutaan memfasilitasi niatnya untuk kembali. Kedutaan lalu menghubungi polisi setempat karena Yunus sudah mendapat visa sementara dari pemerintah Australia. Setelah itu, Yunus diwawancarai. Menurut Yunus, wawancara dilakukan polisi Australia untuk memastikan dirinya aman.
Setiba di Jakarta, Yunus meminta perlindungan pemerintah. Ia juga meminta dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Yunus mengatakan dalam waktu dekat ini akan ada orang Papua lain, dari rombongan 43 orang itu, yang pulang ke Indonesia.
Sejumlah media Australia menyebutkan pulang kampungnya Yunus itu dilakukan karena ada campur tangan intelijen Indonesia. Dalam pernyataannya di mailing list mahasiswa Papua internasional, Herman mengatakan empat orang ini mendapat tekanan dari Indonesia sehingga bisa memecah gerakan Papua Merdeka. ”Saya punya datanya,” kata Herman.
Andy Ayamiseba dari Perwakilan Bangsa Papua Barat di Vanuatu mengatakan Yunus berhak menentukan pilihan. ”Dia merasa dirugikan sehingga memutuskan pulang,” kata Andy saat dihubungi Tempo di Vanuatu.
Keterlibatan pemerintah atau intelijen itu juga dibantah Departemen Luar Negeri. Juru bicara Teuku Faizasyah mengatakan 43 orang itu sudah mendapat suaka dari Australia. Menurut dia, proses kepulangan Yunus dan Anike ini dengan sepengetahuan pemerintah Australia. ”Semua proses berlangsung transparan dan Australia sangat kooperatif,” katanya.
Faizasyah mengatakan Yunus dan anaknya datang atas keinginan sendiri ke kedutaan di Canberra. Menurut dia, pemerintah hanya ingin melindungi Yunus, yang masih warga negara Indonesia. Yunus juga masih tetap mendapat pengawalan setelah tiba di Indonesia.
Yunus sendiri mengaku kepulangannya itu adalah keputusan pribadi. Ia ingin kembali melaut. Sebelum ke Australia, Yunus memiliki dua kapal dan empat mesin 40 tenaga kuda. Penghasilannya seminggu rata-rata Rp 7,5 juta. Sebagian besar penduduk Pulau Yapen adalah nelayan. ”Saya ingin kembali hidup sempurna seperti awal,” ujarnya.
Yunus belum tahu kapan akan balik ke Papua. Menurut dia, hidup di Australia ataupun di Papua sama saja. Tiba-tiba Anike menyela, ”I don’t wanna go back there.” Kenapa? ”I don’t know.” Sang ayah menimpali, ”Hanya celetukan anak kecil.”
Yandi M.R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo