Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN perempuan setengah baya serentak bertepuk tangan gempita. Pemicunya adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang ketersediaan pangan nasional. ”Kita sekarang sudah swasembada beras dan jagung,” katanya. ”Mudah-mudahan tahun depan kedelai bisa swasembada. Saat ini gula, minyak goreng, dan semua kebutuhan pokok lain, alhamdulillah, cukup,” kata Yudhoyono lagi. Tepuk tangan panjang kembali bergema.
Pidato Presiden saat menerima kunjungan delegasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) di Istana Negara, Jakarta, Kamis pekan lalu, memang tak jauh-jauh dari urusan sembilan bahan pokok (sembako). Lebih dari lima kali, ketersediaan sembako ini disinggung. Maklumlah, urusan kebutuhan perut ini sekarang sedang jadi isu politik yang panas.
Akhir November lalu, harga sembako resmi ditabalkan jadi jualan utama kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dengan tajuk ”Perjuangkan Sembako Murah”, kampanye ini bertujuan menaikkan popularitas Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden partai Banteng untuk Pemilu Presiden, Juli 2009.
Namun, berbeda 180 derajat dengan paparan SBY di hadapan para ibu anggota Perwari, Megawati dan PDIP menilai kondisi pangan nasional justru sudah siaga merah. Harga kebutuhan pokok melambung, melampaui kemampuan daya beli masyarakat. ”Dukungan Anda pada Megawati pada 2009 adalah syarat berhasilnya program harga sembako terjangkau,” demikian bunyi iklan perdana kubu Mega.
Gebrakan iklan partai Banteng ini kontan memancing Jaringan Nusantara, perkumpulan simpatisan Presiden Yudhoyono, untuk ”menyerang balik”. Selang sehari setelah PDIP mulai beriklan, di sejumlah media cetak muncul pariwara jawaban bertajuk ”Mana Mungkin”. Pesannya sederhana: bisakah Megawati menjalankan pemerintahan dengan efektif dan bersih? Kalimat pembuka iklan Jaringan Nusantara cukup menohok, ”Ini mulai masuk musim janji-janji. Ini musim bicara tentang mungkin.”
Perang pariwara ini menandai babak pertama pertempuran Megawati Soekarnoputri versus Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan presiden pada Juli tahun depan. Dalam berbagai jajak pendapat, dua tokoh ini selalu menduduki peringkat teratas calon presiden unggulan.
IKLAN politik sembako murah PDIP sudah dipersiapkan sejak awal November. Setiap teks, adegan, dan gambar dirancang seksama. ”Itu bukan pernyataan klise yang dibuat untuk kepentingan iklan yang bombastis,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Tjahyo Kumolo, pekan lalu. ”Kami menampilkan kenyataan di masyarakat dengan jujur.” Partainya, menurut Tjahyo, melakukan riset mendalam untuk memetakan persoalan apa saja yang dinilai publik paling meresahkan.
Hasilnya: PDIP yakin, khalayak sedang pusing berakrobat memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. ”Kenaikan harga sembako sudah melampaui kenaikan pendapatan masyarakat,” kata Tjahyo. ”Hasil survei ini memperkuat kesimpulan Ibu Mega dari silaturahminya menyerap aspirasi masyarakat selama ini,” katanya.
Hendrasmo, Direktur Eksekutif Citra Publik Indonesia, anak perusahaan Lingkaran Survei Indonesia, yang disewa PDIP sebagai konsultan politik pada pemilu kali ini, mendukung Tjahyo. ”Kami yang membuat surveinya,” katanya pekan lalu. ”Hasilnya, 80 persen responden menilai pemerintah saat ini gagal mengendalikan harga sembako,” kata master komunikasi politik lulusan Universitas Sheffield, Inggris ini.
Selain hasil survei, ada dua alasan lain yang membuat PDIP memilih isu harga sembako sebagai tema sentral kampanye. ”Pertama, isu sembako murah cocok dengan ideologi kerakyatan PDIP. Kedua, kinerja ekonomi pemerintahan SBY tak bagus-bagus amat,” kata Hendrasmo, merujuk pada tak tercapainya sejumlah target ekonomi yang ditetapkan Yudhoyono pada awal masa pemerintahannya.
Masukan Citra Publik Indonesia ini lalu diserahkan ke Dewan Pimpinan Pusat PDIP, yang kemudian mengolahnya menjadi program dan tema kampanye. Sejumlah pakar ekonomi lalu diundang untuk mematangkan konsep ini. Salah satunya Iman Sugema, peneliti Institut Pertanian Bogor. Kepada Tempo pekan lalu, Iman mengaku dihubungi langsung oleh Ketua Dewan Pertimbangan PDIP Taufik Kiemas. ”Saya diminta memberikan masukan,” katanya.
Iman mengaku menyiapkan segepok dokumen hasil riset untuk memperkuat perumusan program pengendalian harga sembako PDIP. Formula enam kebijakan dasar yang akan dilakukan dalam 100 hari pertama program pengendalian harga sembako, misalnya, adalah gagasan Iman Sugema. Enam langkah itu antara lain: tidak melakukan impor, meningkatkan operasi pasar, dan mendirikan Bank Pertanian. ”Semua ini adalah hal sederhana yang belum dilakukan pemerintah SBY,” katanya lagi. Tak hanya itu, Iman Sugema juga memastikan PDIP merumuskan cetak biru program pengendalian harga sembako. ”Sekarang semua sudah dibuat detail, sampai tingkat pelaksanaan di lapangan,” katanya.
Setelah konsep oke, barulah iklan politik PDIP dibuat. Sang pemeran utama, seorang petani kecil bernama Apit, ditemukan Citra Publik di kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat. Proses pengambilan dan penyuntingan gambar hanya memakan waktu beberapa hari. Pada akhir November, iklan perdana PDIP pun siap tayang.
HARRY Sebayang, Ketua Umum Jaringan Nusantara, mencibir iklan sembako murah kubu Mega di koran-koran. ”Ini pembodohan masyarakat,” katanya. ”Masak, tidak ada yang bagus dari pemerintahan SBY?”
Dihubungi Tempo pekan lalu, Harry menjelaskan Jaringan Nusantara semula tidak bermaksud ”menjawab” iklan politik PDIP. Kebetulan saja saat itu, kelompoknya sedang mempersiapkan serangkaian iklan politik yang menonjolkan aspek positif pencapaian Presiden Yudhoyono.
Sodokan iklan sembako kubu Banteng membuat Harry memutuskan mempercepat turunnya iklan politik mereka. ”Jadi, iklan kami bukan reaksi langsung atas iklan Megawati,” katanya.
Jaringan Nusantara adalah perkumpulan anak muda pendukung pemerintahan SBY. Mereka resmi berdiri pada 2005. Pentolannya, selain Harry, adalah dua mantan aktivis mahasiswa di Yogyakarta, Andi Arief dan A’am Sapulete. Ketiganya kini jadi komisaris di sejumlah badan usaha milik negara.
Tujuan pendirian Jaringan Nusantara memang untuk membantu SBY, meski secara tidak langsung. Program utama Jaringan adalah menyebarluaskan informasi positif mengenai kinerja SBY. Medianya macam-macam. Di antaranya lewat JN News, penyedia berita via pesan pendek. ”Setiap hari kami mengirim SMS ke 30 ribu nomor telepon,” kata Harry. Selain itu, JN News juga dicetak sampai 10 ribu eksemplar dan dibagikan gratis.
Program lain Jaringan Nusantara adalah memantau berhasil-tidaknya pelaksanaan kebijakan SBY di masyarakat. ”Kami rutin melakukan evaluasi mandiri atas kebijakan pemberian bantuan langsung tunai, kredit usaha rakyat, dan kebijakan pro-rakyat lainnya,” kata Harry. Metodenya dengan pengamatan langsung dan wawancara dengan para penerima bantuan. Hasil pemantauan ini disampaikan langsung ke Presiden atau jajaran dekatnya.
Sebagai kawan lama Presiden Yudhoyono, Harry dkk. memang mudah saja berhubungan dengan RI-1. Mereka juga dekat dengan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan Sardan Marbun, staf khusus Presiden Yudhoyono.
Namun, seperti Harry, Sardan membantah ”iklan balasan” Jaringan Nusantara adalah pesanan Istana. ”SBY belum melakukan apa pun untuk kampanye 2009,” katanya. ”Saat ini Presiden fokus bekerja memenuhi target-target pada masa kerjanya saja.”
Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo