Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>RAWAGEDE</font><br />Pembantaian di Tepi Sungai

Agresi militer Belanda pada Desember 1947 diwarnai pembantaian warga Kampung Rawagede. Masih berat untuk sekadar meminta maaf dan memberikan kompensasi.

8 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SA’IH, 86 tahun, duduk beralaskan tikar lusuh sambil sesekali menyedot kretek. Hari itu, Rabu pagi pekan lalu, ia berkopiah hitam dengan kemeja safari putih dan celana panjang cokelat. Tubuhnya membelakangi monumen Perjuangan Rawagede di Kampung Rawagede, Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat.

Pandangan lelaki berkaca mata ini sesekali terarah ke lelaki dan perempuan yang sedang menyapu di dalam kompleks pemakaman yang menyatu dengan monumen. ”Kalau mengingat peristiwa itu, hati saya sedih,” katanya terbata-bata. Ia lantas berjalan menuju relief di tembok yang dibangun di kompleks makam ini, sembari mengenang peristiwa Selasa berdarah, 9 Desember 1947.

Tangannya menunjuk ke salah satu relief yang menggambarkan tiga lelaki berdiri sambil memegang senjata. Tak jauh dari situ beberapa perempuan bersimpuh merangkul jasad. Relief ini bukan sekadar ukiran tembok bagi Sa’ih. Pada pagi nahas 61 tahun silam itu, hanya beberapa langkah darinya, Locan, sang ayah, tewas bersimbah darah dieksekusi serdadu Belanda. Tak kurang dari 430 warga desa diyakini ikut meregang nyawa. Pemerintah Belanda sempat mengklaim aksi itu sebagai upaya polisi menangkap para bandit.

Tragedi yang diperingati tiap tahun itu akan terasa berbeda pada Selasa pekan ini. Sejumlah undangan seperti Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam direncanakan akan hadir. Tak hanya itu, sejumlah tentara veteran Belanda yang terlibat dalam aksi penembakan itu juga dikabarkan akan meramaikan peringatan. ”Ini pertama kalinya duta besar Belanda mau hadir,” kata Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, lembaga yang dibentuk untuk mengurusi nasib warga desa.

Namun, seperti diberitakan Associated Press, Selasa pekan lalu, pemerintah Belanda menolak memberikan kompensasi finansial kepada keluarga dan keturunan para korban. Alasannya, tragedi berdarah itu sudah kedaluwarsa.

l l l

AZAN subuh belum lagi tiba tatkala Sa’ih, 22 tahun, bersama Rohim, teman sebayanya, berjalan tergesa di sekitar sungai di desa itu. Kabar mengenai kedatangan pasukan Belanda ke desa cepat menyebar. Tiba-tiba terdengar rentetan tembakan bedil Belanda disusul erangan kesakitan warga desa. Sa’ih dan Rohim mencoba bersembunyi namun terendus anjing pelacak milik kompeni.

”Kami diseret naik,” kata dia. Nahas, Rohim tertembak karena berteriak, ”Merdeka.” Sa’ih lantas digiring ke halaman sebuah rumah penduduk tak jauh dari sana. Sekitar sepuluh orang pria warga desa telah berjajar berjongkok dalam dua barisan, termasuk sang ayah, Locan, yang berada di salah satu ujung barisan. Sa’ih didorong berjongkok di sisi yang lain. Beberapa serdadu Belanda mulai membentak menanyai keberadaan tentara pejuang. Popor senjata menghantam pelipis. Tak ada jawaban terdengar.

Beberapa saat kemudian terdengar letusan tembakan. Sa’ih segera merebahkan diri ke depan setelah sesosok tubuh menimpa badannya dari samping. Telapak tangan kiri dan punggungnya tertembus peluru. Tapi ia terus pura-pura mati, hingga serdadu Belanda tak terdengar lagi berada di sekitar. Ia lalu pulang, mengabarkan kepada sang ibu bahwa ayahnya tewas.

Desa yang pagi itu diguyur hujan deras histeris oleh tangis para wanita. Satu per satu jenazah dikumpulkan dan dikebumikan keluarga masing-masing. Beberapa jenazah masih remaja belasan tahun. Banyak juga yang tak bisa ditemukan karena hanyut terbawa derasnya air sungai. Sekitar sepuluh tahun lalu kuburan korban yang terpisah ini disatukan di kompleks pemakaman. Sebuah monumen peringatan dibangun.

Saat ini, delapan orang saksi mata dan satu korban masih hidup dan telah berusia lanjut. Selain Sa’ih, delapan lainnya adalah janda. Mereka adalah Layem, Cawi, Kesah, Wisah, Ladok, Wati, Taswi, dan Tijeng. Imi, 76 tahun, janda yang paling muda, meninggal pada Juni lalu.

Sehari-hari Sa’ih bekerja sebagai kuncen makam. Jika ada tamu yang berkunjung, seperti anak-anak sekolah, dia menjelaskan peristiwa pahit itu. Penghasilannya sebagai juru kunci hanya Rp 10.000 per hari. Tak jarang, ia pulang ke rumahnya, yang berjarak 200 meter dari monumen, dengan kantong kempis.

Saat ini Sa’ih tinggal bersama Tasmin, anak lelaki semata wayangnya, di rumah 7x8 meter, yang terlihat belum rampung sebagian. Di sini, ia berjejalan dengan empat anggota keluarga Tasmin, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Di bale bambu di depan rumah, Sa’ih kerap menghabiskan sisa waktu sambil termenung.

l l l

MENURUT Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda—lembaga swadaya yang menyuarakan kasus pembantaian ini—pem-beritaan oleh Associated Press pekan lalu membuat kasus ini menjadi perhatian dunia. ”Ini baru pertama kali terjadi.” Ia berharap, pemberitaan ini bisa menekan pemerintah Belanda agar serius menunjukkan tanggung jawabnya kepada para korban dan ahli warisnya.

Menurut Batara, tindakan Belanda yang menembaki warga desa saat itu termasuk kejahatan perang. ”Mereka menembaki warga yang tak bersenjata,” katanya. Jika kasus ini mendapat perhatian luas publik dan pers, para korban dan ahli waris bisa menuntut pemerintah Negeri Kincir Angin itu ke Pengadilan Kriminal Internasional di Belanda.

Dalam empat tahun terakhir, Komite bersama sisa korban dan ahli waris rutin berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Belanda setiap 15 Agustus. Komite juga menyambangi sejumlah anggota Tweede Kamer, parlemen Belanda, tiga tahun lalu. Namun, ketika mereka datang ke Jakarta pada Oktober lalu, hanya satu-dua yang bersedia menerima korban dan para janda.

”Padahal mereka ini mengaku menyoroti masalah hak asasi manusia di Tanah Air,” kata Batara kecewa. ”Mengenai indikasi pelanggaran hak asasi ketika Belanda menjajah di sini, mereka cenderung menghindar.” Menurut Harry van Bommel, anggota parlemen dari Partai Sosialis Belanda, tragedi ini sebenarnya sudah menjadi sorotan sejak 1995. Bahkan sudah ada penelitian dan liputan pers yang mencoba menguak berapa banyak korban meninggal.

Kepada Asmayani Kusrini, koresponden Tempo di Belanda, Bommel menambahkan, pemerintah Belanda sejak tiga tahun lalu telah mengakui, ”Belanda berdiri di sisi yang salah dalam sejarah.” Ia menduga pemerintahnya akan memberikan kompensasi kepada para korban tapi tidak melewati jalur hukum. ”Pemerintah khawatir kelompok masyarakat lainnya akan ramai-ramai mengajukan tuntutan serupa.”

Dalam hal ini, juru bicara Departemen Luar Negeri Belanda, Aad Meijer, mengatakan bahwa pemerintahnya dan pemerintah Indonesia telah sepakat melupakan masalah ini. ”Sehingga, tidak ada pembicaraan mengenai kompensasi,” katanya kepada Tempo lewat surat elektronik.

Juru bicara Kedutaan Besar Belanda Gonneke Deridder memastikan pemerintahnya tidak akan memberikan kompensasi, meski Duta Besar Nikolaos van Dam akan hadir dalam peringatan pada Selasa pekan ini. Sedangkan juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah mengatakan, masalah ini memang masih dalam pembahasan antara kedua negara.

Menurut Batara R. Hutagalung, selain meminta maaf, pemerintah Belanda seharusnya juga memberikan kompensasi finansial yang layak bagi para korban. ”Sekitar seribu euro (Rp 150 juta) per orang per tahun saya kira layak,” kata dia. Ia berharap pemerintah Belanda juga mau membangun sarana pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas lainnya di Rawagede.

Abdul Irsan, bekas duta besar Indonesia untuk Belanda dan anggota penasihat Komite Utang, mengatakan selain Rawagede ada puluhan tempat lainnya di Tanah Air yang mengalami peristiwa serupa. Misalnya kasus pembantaian oleh Westerling di Sulawesi Selatan. ”Ini juga harus menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda.”

Bommel mendesak pemerintahnya segera turun tangan mengatasi dosa masa lalu ini. Terlebih, para penggugat rata-rata sudah berusia di atas 80 tahun. Ia khawatir, jika kasus ini tak segera ditangani, Sa’ih dan para janda keburu meninggal tanpa pernah mendapat kompensasi yang layak. ”Jika ini terjadi, kami akan hidup terus dalam rasa bersalah kolektif.”

Budi Riza, Nanang Sutisna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus