Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

"Poligami Haram karena Eksesnya"

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Draf hukum itu hanya setebal 118 halaman, namun telah membuat geger. Para ulama fikih menilai sejumlah pasal yang mengatur soal perkawinan dan waris telah kebablasan.

Tapi tidak bagi Dr. Siti Musdah Mulia, 46 tahun, ketua tim penyusunan Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI). "Kita berharap publik punya konsep alternatif," katanya. Bersama timnya, dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu menerima Agung Rulianto, Agus Hidayat, dan Arif Zulkifli dari Tempo di Gedung Departemen Agama, Jakarta, Kamis pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana proses awal pembuatan counter-legal draft ini?

Awalnya, pada 2001 Kementerian Pemberdayaan Perempuan mencetuskan zero tolerance policy (kebijakan toleransi nol) untuk semua jenis kekerasan terhadap perempuan. Salah satu isinya menghapus kekerasan pada aspek sosio-kultural. Pada saat yang sama kami mendengar KHI lama, yang disahkan pada 1991, akan ditingkatkan statusnya dari instruksi presiden (inpres) menjadi undang-undang. Padahal di dalam KHI lama banyak pasal yang masih mentoleransi ketidaksetaraan gender. Maka, terpikir oleh kami mengapa kita tidak memberikan tawaran alternatif untuk perbaikan KHI itu.

Apa targetnya?

Kita tak punya target apa-apa. Kita cair sekali. Yang penting, kita dengar sebanyak mungkin pandangan dari masyarakat.

Draf ini banyak mengundang kecaman?

Kita memang melihat ada beberapa pasal yang krusial. Tetapi draf ini baru penawaran pertama. Kita akan duduk kembali untuk membicarakannya. Setelah dianggap final, baru kita serahkan kepada lembaga yang berkompeten.

Apakah pembentukan tim ini menampung pihak-pihak dari berbagai aliran?

Saat pertemuan pertama, kita mengundang orang-orang secara acak. Tetapi terasa tidak efektif. Mereka selalu mengembalikan kepada wahyu, sehingga diskusi tidak jalan. Lalu kita mengundang sejumlah orang yang mau melakukan pengkajian dan menggali lebih jauh. Mereka ini orang-orang yang peduli terhadap demokrasi dan keadilan gender. Akhirnya baru (pendapat) bisa ketemu.

Unsur dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dilibatkan?

Sebelum tim ini dibentuk, kita sudah dua kali bertemu MUI. Tetapi komisi fatwa berpendapat pokoknya enggak boleh ada diskusi soal ini. Kalau sudah begitu, kan tidak ada dialog. Ya sudah, kita tinggalin saja mereka.

Apa alasan penolakan MUI?

Kami sudah menyampaikan bahwa KHI sebagai produk hukum sudah 13 tahun berlalu. Selama itu sudah banyak undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan sebagian pasal di KHI. Misalnya undang-undang tentang perlindungan anak dan konvensi hak anak.

Tetapi, meski bertentangan dengan undang-undang yang baru, kok KHI tidak diubah. Menurut mereka, KHI sudah menjadi ijtima atau keputusan bersama para ulama.

Draf ini melarang poligami. Mengapa?

Kami melihat poligami itu haram bighoirihi atau haram karena eksesnya. Kami punya data-data tentang anak telantar akibat poligami, akibat perkawinan yang tidak tercatatkan, juga perkawinan telantar. Dari realitas ini, kita akhirnya sampai pada kesimpulan untuk melarang poligami.

Sebaliknya, draf ini malah mengizinkan kawin kontrak. Tidakkah ini menyuburkan prostitusi terselubung?

Bukan kawin kontrak, melainkan perjanjian perkawinan. Kami memang menambah satu poin dalam perjanjian perkawinan di KHI lama, yakni soal jangka waktu perkawinan. Kami pikir, jika kedua pihak sepakat untuk memperjanjikan masa perkawinan, mengapa tidak?

Jadi seseorang bisa menikah sehari, lalu cerai lagi?

Jangan lupa, setelah kawin sehari, Anda terikat pasal-pasal lain dalam undang-undang ini. Kondisi ini sebetulnya sudah terjadi di masyarakat namun tidak terdeteksi karena tidak ada pencatatan. Dengan adanya pencatatan, perjanjian perkawinan akan terikat hukum sehingga istri dan anak mereka bisa diproteksi. Kebijakan ini justru menghindari prostitusi terselubung.

Draf ini tidakkah memaksakan satu mazhab fikih dan mengabaikan fikih yang lain?

Selama ini, jika terjadi sengketa, keputusan diserahkan kepada hakim. Akibatnya, setiap hakim mencari landasan fikih masing-masing. Padahal fikih begitu luasnya: dari yang ultra-liberal sampai ultra-konservatif. Hal ini membuat keputusan hakim tidak terukur.

Penyusunan draf ini disponsori Asia Foundation. Adakah pesan dari mereka terhadap materi draf?

Ah, mereka ngerti apa soal fikih? Mereka hanya membantu pada beberapa kegiatan, tetapi inisiatif tetap dari kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus