Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dari Poligami sampai Kawin Beda Agama

Inilah pasal-pasal panas yang memancing kontroversi. Sekarang laki-laki tak lagi dimanjakan.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibarat pakaian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang selama 13 tahun menjadi rujukan para hakim agama ternyata tak lagi pas di badan. Di sana-sini, pakaian itu sudah sesak, tak mampu lagi memuat anggota badan yang terus tumbuh. Jika demikian halnya, mengapa pakaian itu tak dirombak?

Itulah kira-kira dasar pemikiran Kelompok Kerja Pengarus-utamaan Gender Departemen Agama RI. Kelompok yang dipimpin Siti Musdah Mulia ini melihat, KHI yang sudah berlaku sejak 1991 itu tak lagi sesuai dengan dinamika masyarakat. "Misalnya, dalam masalah perkawinan, KHI cenderung patriarkat (mengutamakan laki-laki)," kata Abdul Moqsith Ghazali, salah satu anggota kelompok kerja tersebut.

Tim penyusun tentu tak hanya melihat sekadar pasal demi pasal. Mereka mengkaji ke sudut yang lebih dalam, dengan melihat bagaimana prinsip-prinsip dasar Islam mewarnai pasal-pasal yang tercantum. Hasilnya, menurut mereka, beberapa pasal tak sesuai dengan prinsip dasar Islam seperti prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha), dan keadilan (al-adl).

Setelah diskusi panjang melelahkan yang melibatkan berbagai pakar, draf perubahan itu selesai sudah. Nama resmi draf ini adalah "Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam". Di dalamnya sudah termaktub masalah hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum wakaf. Namun, dari ketiga bidang pembahasan itu, yang paling banyak mengalami perubahan adalah yang menyangkut hukum perkawinan.

Tentang asas perkawinan, misalnya. Draf KHI baru kini memasukkan monogami (tawahhud al-zawj) sebagai asas perkawinan. "Asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, bukan poligami," kata Abdul Moqsith. Ini berarti, jika draf itu disetujui, perkawinan poligami (lebih dari satu istri) tidak lagi sah, batal demi hukum.

Dalam KHI lama, kesempatan seorang suami berpoligami masih terbuka. Memang untuk itu ada sejumlah syarat, misalnya istri tidak bisa melakukan kewajibannya atau tidak bisa memberikan keturunan. Ini pun bukan harga mati. Jika kedua syarat tadi tak terpenuhi tapi suami tetap ngotot, pasal 58 KHI lama masih memberikan peluang suami kawin lagi, asalkan ada persetujuan dari istri dan suami menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya.

Kelonggaran itulah yang bakal ditutup rapat. Menurut Siti, poligami merugikan istri. "Perkawinan poligami lebih banyak membawa penderitaan bagi istri," kata dia. Tim penyusun juga menemukan fakta bahwa sebagian besar perkawinan poligami berlangsung diam-diam, tanpa setahu apalagi seizin istri.

Itulah sebabnya tim penyusun KHI baru tegas-tegas melarang poligami. "Dari segi realitas yang merugikan perempuan dan anak yang dilahirkan, poligami haram secara sebab, li ghairihi," kata Abdul Moqsith. Meski demikian, tim itu tak menggunakan kata "haram" dalam pasal yang baru. "Kami memakai istilah 'dilarang'. Karena, kalau memakai kata 'haram', perkawinan poligami yang sudah terjadi menjadi batal," ujar Abdul. Bahkan tak memiliki keturunan pun tak bisa menjadi alasan untuk kawin lagi. "Tidak ada pengecualian dalam pasal itu. Dan hukum tidak bicara pengecualian," katanya.

Hal lain yang berubah adalah batas minimal calon pengantin. Dalam KHI lama, batasan usia minimal adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Inilah yang dipandang terlalu mengistimewakan laki-laki. Dalam draf KHI baru, tak peduli lelaki atau perempuan, usia minimal menikah adalah 19 tahun.

Perubahan besar juga terjadi menyangkut perwalian. Kelak, jika draf ini lolos, seorang perempuan yang sudah berusia 21 tahun bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa melalui perwalian. "Dalam kitab-kitab kuning mazhab Imam Abu Hanifah, dibolehkan pernikahan tanpa wali," ujar Imam Nakho'i, pengajar Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Asembagus, Situbondo, yang pernah dimintai pendapatnya atas isi draf KHI tersebut.

Dalam KHI lama, wali nikah adalah salah satu rukun perkawinan. Tanpa wali nikah, perkawinan dianggap tak sah. Dan tentang wali nikah ini, yang berhak menjadi wali adalah laki-laki. Jika tak ada ayah kandung, hak kewalian naik ke atas, kepada kakek, bukan ke ibu sang calon pengantin. Jika kakek juga tak ada, hak kewalian "menukik" ke bawah, ke saudara laki-laki calon pengantin perempuan.

Menurut tim penyusun, hierarki kewalian dalam pasal 21 KHI lama itu sarat bias gender sehingga harus dihapus. Nah, dalam draf KHI baru, baik lelaki maupun perempuan boleh menjadi wali nikah sepanjang usianya sudah mencapai 21 tahun dan ditunjuk berdasarkan kesepakatan calon suami dan calon istri.

Semangat mengikis pengistimewaan kaum laki-laki memang sangat kental dalam KHI baru itu. Selain dalam soal perwalian, semangat kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terlihat dari ketentuan perihal pencarian nafkah, hak kewajiban suami-istri, adanya hak waris yang sama antara anak laki-laki dan perempuan, hingga adanya masa idah bagi seorang suami.

Dalam soal mencari nafkah, misalnya, tak lagi disebut itu adalah kewajiban suami saja, tapi kewajiban bersama suami dan istri. Begitu pula jika istri meninggal atau seorang suami bercerai dengan istrinya, sang suami pun wajib menjalani masa idah?hal yang tak ada dalam KHI lama. "Berdasarkan prinsip keadilan, idah layak diterapkan bagi laki-laki," kata Imam Nakho'i.

Perubahan mendasar lain adalah mengenai perkawinan beda agama. Dalam KHI lama, perkawinan beda agama terlarang. Akibatnya, banyak pasangan berbeda agama tak bisa menikah di Kantor Urusan Agama. Tak aneh, pasangan seperti ini kemudian mencari alternatif hukum lain, misalnya melakukan perkawinan di luar negeri.

Menurut tim penyusun draf, larangan perkawinan beda agama bertentangan dengan prinsip Islam yang menjunjung pluralisme. Bagi tim itu, tidaklah tepat jika perbedaan agama (ikhtilaf al-din) menjadi penghalang (mani') untuk berlangsungnya suatu perkawinan. Karena itu, dalam pasal 54 draf KHI baru, pasangan beda agama diizinkan menikah.

Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah bagaimana dengan agama yang dianut oleh anak dari pasangan beda agama. Dalam KHI lama, disebut bahwa anak dari pasangan beda agama harus mengikuti agama ayahnya. Namun, dalam draf KHI baru ditetapkan, jika sang anak belum dewasa, agama bagi sang anak diputuskan atas persetujuan bersama ayah dan ibunya. Artinya, tidak mutlak lagi harus mengikuti agama sang ayah.

Itulah "pasal-pasal panas" yang tak pelak menimbulkan pro-kontra. Senin pekan lalu, saat draf itu didiskusikan, suara keras menentang bermunculan. "Keadilan tidak bisa dipersepsikan dengan cara seperti ini," ujar H.M. Tahir Azhary, guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tahir, misalnya, menentang dibolehkannya perkawinan beda agama. "Al-Quran sudah melarang mengawini perempuan musyrik atau laki-laki musyrik sampai dia beriman," kata dia.

Suara senada datang dari Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Pusat, Hasanuddin. Ia tegas-tegas menolak perubahan sejumlah pasal yang mengatasnamakan pluralisme, kesetaraan gender, atau hak asasi manusia. "Kita bukan di Amerika atau Eropa," katanya. Ia kemudian menyoroti larangan berpoligami. "Dalam Islam, poligami diperbolehkan, tapi dalam keadaan darurat," ujarnya.

Penolakan larangan berpoligami bahkan datang dari Ketua Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rohaini. "Saya setuju semua isu krusial dalam draf baru itu, kecuali poligami," ujarnya. Menurut dia, seharusnya poligami tidak dilarang, tapi dibatasi.

Memang tak semua reaksi berupa penolakan. Ketua Fatayat Nahdlatul Ulama, Maria Ulfah Anshor, misalnya, menganggap hasil kerja tim Siti perlu diwacanakan. "Memang sangat berani, tapi bisa dianggap sebagai salah satu alternatif pandangan yang biasa terjadi dalam interpretasi kitab fikih," ujarnya.

Perjalanan draf KHI ini, apalagi jika direncanakan menjadi undang-undang, masih panjang. Sejumlah perubahan bisa saja terjadi. Siti Musdah sendiri menyadari draf KHI tersebut akan mengundang kontroversi. Hanya, menurut doktor ilmu politik Islam ini, siapa pun tidak bisa mengklaim pendapatnya yang terbenar. "Kita harus mengajarkan demokrasi dalam beragama," ujar penulis buku Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam ini.

L.R. Baskoro, Badriah


Isu KrusialKHI ?Lama?Draf KHI Baru
Wali nikahMenjadi salah satu rukun perkawinanBukan rukun perkawinan Perempuan boleh menikahkan dirinya
MaharWajib diberikan calon suami kepada calon istriWajib diberikan oleh calon suami atau calon istri atau kedua-duanya
Kawin beda agamaDilarang dilakukanBoleh dilakukan
PoligamiBoleh dilakukan dengan syaratDilarang dilakukan/asas monogami
IdahIdah hanya untuk istriIdah dikenakan untuk istri dan suami
Perjanjian perkawinanTidak mengatur jangka waktu perkawinanMengatur soal jangka waktu perkawinan
Anak di luar perkawinanHanya punya hubungan saling mewaris dengan ibunya walau ayah biologisnya diketahuiJika ayah biologisnya diketahui, tetap punya hak waris dari ayah biologisnya
Bagian anak laki-laki dan perempuanBagian anak laki-laki dan perempuan 2 : 1Bagian anak laki-laki dan perempuan 1 : 1 atau 2 : 2

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus