Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haji Qomar Pelawak, Anggota DPR RI dari Partai Demokrat
Menurut pelawak yang melakukan poligami dengan empat istri ini, poligami adalah fenomena dalam kehidupan masyarakat Islam. "Poligami tidak bisa dicegah dan ditangkal. Sebab, dasar hukumnya jelas, yakni Al-Quran dan sunah Rasul," katanya.
Meski begitu, ia menilai sikap yang tidak menyetujui atau melarang poligami sebagai sebuah wacana. "Dan itu boleh-boleh saja. Tapi saya sangat tidak sepakat kalau pelarangan poligami dimasukkan ke dalam undang-undang. Sebab, pelarangan semacam itu berarti sudah keluar dari pakem Al-Quran dan sunah Rasul," katanya lagi. "Meskipun demikian, saya menghormati adanya penafsiran?yang akhirnya memunculkan wacana pelarangan poligami itu," tambahnya.
Bagaimana dengan nikah beda agama? "Menurut saya, pernikahan harus dilakukan oleh mereka dalam satu agama. Kalau pasangan itu beda agama, salah seorang harus ada yang memeluk agama yang sama. Itu sudah kata mati!" jawabnya. Mengenai hal-hal lain yang tercantum dalam rancangan usulan, Qomar menilainya sebagai ide-ide sekularisme Barat yang hanya melihat esensi tanpa memandang syariat. "Padahal, hidup umat Islam kan dipandu oleh syariat," ujarnya.
Nurul Arifin Artis, Aktivis Perempuan
Nurul Arifin mengaku cukup tahu kiprah Dr. Siti Musdah Mulia dalam memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia selama ini. "Saya beberapa kali sempat berdiskusi dengan beliau," katanya. Ia memandang apa yang dilakukan tim ini lewat rancangan usulan (counter-legal) untuk penyusunan Kompilasi Hukum Islam dilandasi semangat kesetaraan gender. Soal muatan dalam rancangan usulan itu, ia mengaku dari sisi agama tidak menguasai. Tapi ia yakin, sebelum rancangan usulan itu disusun, Musdah dan timnya sudah melakukan kajian mendalam, baik dari sisi agama maupun dari sisi lain.
Karena itu, dari perspektif kepentingan perempuan, ia mendukung upaya Musdah dan kawan-kawan. "Itu sesuatu yang revolusioner, sebuah upaya untuk menanamkan semangat kesetaraan gender dan pluralisme yang harus dimulai sejak sekarang. Sebab, manusia hadir di dunia kan dengan label kesetaraan. Apa salahnya dicoba? Kalau gol, ya alhamdulillah; kalau tidak, ya kita coba lagi," katanya.
Mengenai rancangan usulan yang menyangkut poligami, secara pribadi Nurul menyatakan tidak mau dimadu. "Kaum lelaki jangan egois, dong. Kalau bicara tentang poligami, kenapa tidak bicara juga tentang poliandri? Lagi pula, secara historis, dibolehkannya poligami pada zaman Rasulullah kan sebagai upaya membatasi jumlah istri yang sangat banyak dalam tradisi jahiliyah Arab," katanya panjang lebar.
Bagaimana dengan rancangan usulan yang menyebut perempuan bisa menikah tanpa wali? "Selama perempuan itu sehat secara lahir, batin, dan emosi, kenapa tidak?" jawabnya. Adapun perihal menikah beda agama, Nurul mengaku termasuk segelintir orang yang melakukannya. "Dan secara pribadi, buat saya tidak ada masalah. Tapi, khusus mengenai yang satu ini, lebih baik kita menunggu perkembangan sikap pemerintah. Saya wait and see dulu, biar ada jarak. Sebab, kalau saya berkomentar, nanti dikira ada kepentingan pribadi," tuturnya.
Jamal Mirdad Artis Penyanyi
Jamal lebih menyoroti masalah pernikahan beda agama. Menurut dia, masalah yang sangat sensitif ini, apa pun rekomendasinya, harus dikaji lebih dalam. "Harus punya alasan tepat dan kuat. Sebab, dalam pernikahan beda agama ada dua hal yang sangat penting, yakni ajaran masing-masing agama dan ketentuan hukum positif Indonesia," katanya.
Menurut dia, tim penyusun rancangan usulan itu harus benar-benar memiliki pemahaman dalam dua hal tersebut. "Lalu dipertimbangkan, cocok apa enggak. Kalau cocok, ya silakan jalan," katanya lagi. "Tapi, secara pribadi, menurut saya dua hal tadi tidak akan sesuai. Agama mana yang memperbolehkan pemeluknya menikah beda agama? Saya kira tidak ada agama yang menyetujuinya," tambahnya.
Tapi, kalau masalah ini mau dibuatkan hukum yang berlaku secara umum, menurut Jamal, "Tim itu harus meneliti lebih jauh lagi, dan jangan mencampur-baurkan egoisme pribadi dan golongan dengan kepentingan umum," katanya. "Dan jangan lupa, negara wajib melindungi hak semua warga negara, baik yang mayoritas maupun yang minoritas."
Jamal Mirdad adalah muslim yang menikah dengan artis Lydia Kandou yang Nasrani. Dalam kasus pernikahannya, Jamal berpendapat setiap orang bisa berbuat salah atau benar. "Tapi, sebagai muslim, saya tahu bahwa hal itu tidak diizinkan dalam Islam. Karena itu, kasus saya ini tidak berlaku untuk umat. Dan sebaiknya yang belum melakukan jangan meneruskannya. Mereka harus diingatkan," katanya lagi.
Cuma, agaknya Jamal Mirdad belum tahu bahwa Islam membolehkan lelaki muslim menikahi perempuan nonmuslim.
K.H. Mas Ahmad Subadar Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Ulum, Pasuruan
Kiai Subadar sepakat dengan rancangan yang menyebut bahwa pernikahan bukan ibadah, tapi hubungan kemanusiaan biasa. Menurut dia, ini sejalan dengan pandangan empat imam mazhab yang juga tidak menyebut pernikahan sebagai ibadah. Mengenai status wali bagi calon mempelai perempuan yang disebut sebagai bukan rukun nikah, menurut Subadar, ada beda pandangan di antara beberapa imam mazhab.
"Dalam mazhab Syafi'i, wali adalah rukun nikah, sedangkan menurut tiga mazhab yang lain, yakni Hanafi, Hanbali, dan Maliki, wali bukan rukun nikah, tapi harus ada saksi nikah yang hadir," katanya. Mengenai rancangan usulan yang membolehkan perempuan menikahkan diri sendiri tanpa wali, menurut dia, hal itu tidak berdasar. "Semua imam mazhab melarang perempuan menikahkan dirinya sendiri," tambahnya.
Ihwal umur calon mempelai perempuan yang dalam rancangan usulan disebutkan minimal 21 tahun, ia juga tidak sependapat. Dengan mengutip pendapat empat imam mazhab, ia menyatakan, perempuan yang berusia sehari pun bisa menikah. "Tentu, orang tuanyalah yang menikahkannya," ujarnya. Mengenai mahar, ia menilainya sebagai tanggung jawab calon suami. "Calon istri tidak punya hak, apalagi kewajiban membayar mahar. Lagi pula, mahar itu hukumnya kan tidak wajib. Karena itu, jika pihak perempuan rela dinikahi tanpa mahar, pernikahan itu sah," tambahnya.
Mengenai pernikahan beda agama, ia membolehkannya dengan syarat pihak laki-laki muslim dan perempuan nonmuslim?yang dalam bahasa Al-Quran disebut ahlul kitab, yakni umat yang memiliki pedoman beragama berupa kitab suci Taurat, Zabur, atau Injil seperti kaum Nasrani atau Yahudi. "Syaratnya, perempuan itu tidak diketahui sejak kapan ia, atau nenek moyangnya, memeluk agama non-Islam tersebut. Tapi, kalau yang laki-laki nonmuslim dan perempuannya muslimah, pernikahan itu haram. Ini pendapat semua mazhab," ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Kiai Subadar, keempat imam mazhab sama-sama sependapat bahwa masa idah?masa jeda setelah cerai atau setelah suaminya meninggal untuk menikah lagi?hanya dikenakan untuk seorang janda, sedangkan duda tidak mengenal istilah idah, tapi ada masa menunggu.
Dalam pada itu, bagi Subadar, mencari nafkah merupakan kewajiban suami, bukan kewajiban suami dan istri?sebagaimana diusulkan dalam rancangan. "Ini bentuk pemuliaan Islam terhadap perempuan. Tapi istri tentu saja boleh membantu suami dalam mencari nafkah," tambahnya. Bagaimana dengan kawin kontrak alias mut'ah? "Tidak ada kawin kontrak, tolong jelaskan apa itu kawin kontrak," katanya balik bertanya.
Dalam hal waris-mewarisi, ia tidak sepakat dengan rancangan yang menyebut bahwa beda agama bukan penghalang untuk waris-mewarisi. "Orang tua yang muslim tidak boleh mewariskan hartanya kepada anak yang nonmuslim. Demikian pula orang tua nonmuslim tidak bisa mewariskan hartanya kepada anaknya yang muslim," ujarnya. Adapun porsi harta waris yang dalam rancangan diusulkan nilainya sama antara ahli waris lelaki dan perempuan (bukan satu bagian buat lelaki, setengah bagian buat perempuan), ia juga tidak sependapat. "Saya tidak tahu dari mana mereka mengambil dasar hukum seperti itu," katanya.
Mengenai larangan poligami yang diusulkan dalam rancangan, dengan tegas Subadar menyebut pandangan itu sesat. Katanya dengan nada serius, "Dalam semua mazhab, hukum poligami itu mubah, artinya boleh. Dan hal itu jelas diatur dalam Al-Quran, dan ada contohnya dari Rasulullah dan sebagian sahabat yang melakukannya. Saya tidak tahu dari mana dasar hukum pengharaman poligami itu dibuat. Barangkali dari komik."
Agus Hidayat, F. Dewi Ria Utari, Sunudyantoro (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo