UNDANG-UNDANG tentang Pemerintahan Desa telah disahkan
pertengahan bulan lalu. Tapi di jantung Minangkabau, adalah
sebuah desa -- di sana disebut negari -- yang seperti halnya
negari-negari lainnya masih kuat berpegang pada adat. Terletak 6
km dari ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, Negari Sungai Kamuyang
tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 700 m dari
permukaan laut.
Hampir separuh dari 5.229 penduduknya adalah wanita, 10% di
antaranya merantau ke Riau dan Jakarta. Luas wilayahnya 2.061
ha, masih ada hutan sekitar 250 ha. Ada bukit-bukit dan dataran
padang rumput, sawah seluas 458 ha dan ladang 142 ha, sedang
pekarangan 156 ha. Padi yang dihasilkan tak kurang dari 2.200
ton setahun.
Meskipun terletak jauh di pelosok, negari ini termasuk mantap
dibanding negari lain di Sumatera Barat. Dilintasi jalan negara
dari Payakumbuh menuju Batusangkar, negari ini tergolong maju.
Hampir 1.000 rumah penduduk sudah permanen, sementara beberapa
bangunan rumah adat masih terpelihara baik. APBN tahun ini pun
cukup banyak, Rp 8 juta.
Meski begitu penghasilan wali negari tak begitu banyak, hanya Rp
30 ribu sebulan, sedang sekretarisnya Rp 20 ribu. Separo dari
gaji mereka berasal dari bantuan Pemda Propinsi Sum-Bar. Tapi
seperti halnya negari lain di sana, wali negari tidak mengenal
tanah bengkok seperti di Jawa.
Struktur desa ini lengkap. Selain wali negari juga ada kerapatan
negari yang di Jawa disebut rembug desa. Tapi juga ada dewan
juri, sebuah lembaga yang bertugas sebagai penengah dalam
penyelesaian tiap sengketa. Wali negari juga punya beberapa
pembantu di bidang adat, agama, keamanan dan umum.
Kepemimpinan ninik-mamak atau para datuk masih kuat. Jumlah para
datuk lebih dari 100 orang, mereka memimpin segolongan penduduk
yang disebut suku atau kaum. Di pihak lain juga ada ulama, yang
bertanggungjawab dalam bidang pendidikan dan agama. Selain itu
juga ada pembagian wilayah menjadi 9 daerah administrasi yang
dipimpin kepala jorong.
Di Sungai Kamuyang, pimpinan negari selalu memulai karir dari
bawah. Mereka memang tidak mengenal pemimpin drop-dropan.
Sebelum menjadi tokoh negari, mereka harus memperlihatkan
kegiatan di lingkungan keluarga, suku, kemudian jorong.
Kebolehan memimpin masyarakat terkecil, selalu menjadi
pertimbangan utama untuk naik tingkat. Dan karena itu tak
dikenal sistem kampanye dalam pemilihan kepala negari. Penduduk
langsung membandingkan calon-calon yang ada dan memilih yang
terbaik.
Pegawai Negeri
Sejak dulu kebanyakan wali negari berasal dari para datuk.
Kalau pun ada yang tampil bukan dari kalangan datuk, biasanya
segera memakai gelar pusaka itu. Dan kalau datuknya yang menjadi
pimpinan suku masih ada, gelar pusaka itu diserahkan kepadanya.
Misalnya Wali Negari Sungai Kamuyang sekarang, S. Datuk Bagindo
Basa, 56 tahun. Ia memulai karirnya sebagai ketua dewan harian
negari, 1956. Ketika itu ia dikenal dengan nama kecilnya, Siraj.
Sepuluh tahun kemudian Siraj terpilih sebagai Wali Negari. Sejak
itu ia mengenakan gelar Datuk Bagindo Basa.
Datuk yang satu ini mungkin termasuk wali negari yang unik. Baru
2 tahun menjadi wali negari, 1958 pecah pergolakan PRRI. Ia
tersingkir, tapi 10 tahun kemudian terpilih kembali sampai 1974.
Dan pada 5 tahun masa jabatannya yang kedua, ia terpilih lagi,
sampai akhir tahun ini.
Ia tidak setuju Wali Negari diangkat sebagai pegawai negeri.
Alasannya, "pegawai negeri setiap saat bisa dipindah." Itu
berarti, suatu ketika wali negari di suatu desa bisa berasal
dari desa lain. "Kalau wali negari bukan putera negari itu,
pasti tidak jalan," katanya.
Wali Negari Sungai Kamuyang ini tidak setuju orang parpol atau
golkar menjadi anggota lembaga musyawarah desa (LSD). "Sebaiknya
terdiri dari pemuka-pemuka negari. Soal-soal politik tak
usahlah, sebab sering menimbulkan perpecahan," katanya.
Meski begitu, wali negari ini bukannya tidak setuju dengan
pembaharuan. Misalnya seperti yang diatur dalam SK Gubernur
Sumatera Barat No. 155-156-157/1974, yang menurutnya cukup
luwes. Di situ diatur kerapatan desa berintikan para pemuka
masyarakat yang mewakili berbagai unsur. Adapun para datuk
merupakan jembatan antara pemerintah negari dengan penduduk.
Selama ini keputusan atau instruksi kerapatan memang disalurkan
lewat para datuk sebelum sampai kepada penduduk. Sebab seperti
halnya kata Wahid Dt. Radjo Diradjo, 78 tahun, bekas kepala
negari di zaman Belanda, "negari tidak akan sentausa tanpa
kekuasaan datuk, sebab datuk dipilih dari kepala suku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini