Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

"Soal politik tak usahlah"

Di sumbar, calon kepala desa dipilih dari keberhasilannya memimpin masyarakat & memulai karir dari bawah. kepala desa sungai kamuyang, s.dt. bagindo basa tak setuju wali negari jadi pegawai negeri.(ds)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNDANG-UNDANG tentang Pemerintahan Desa telah disahkan pertengahan bulan lalu. Tapi di jantung Minangkabau, adalah sebuah desa -- di sana disebut negari -- yang seperti halnya negari-negari lainnya masih kuat berpegang pada adat. Terletak 6 km dari ibukota Kabupaten Limapuluh Kota, Negari Sungai Kamuyang tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian sekitar 700 m dari permukaan laut. Hampir separuh dari 5.229 penduduknya adalah wanita, 10% di antaranya merantau ke Riau dan Jakarta. Luas wilayahnya 2.061 ha, masih ada hutan sekitar 250 ha. Ada bukit-bukit dan dataran padang rumput, sawah seluas 458 ha dan ladang 142 ha, sedang pekarangan 156 ha. Padi yang dihasilkan tak kurang dari 2.200 ton setahun. Meskipun terletak jauh di pelosok, negari ini termasuk mantap dibanding negari lain di Sumatera Barat. Dilintasi jalan negara dari Payakumbuh menuju Batusangkar, negari ini tergolong maju. Hampir 1.000 rumah penduduk sudah permanen, sementara beberapa bangunan rumah adat masih terpelihara baik. APBN tahun ini pun cukup banyak, Rp 8 juta. Meski begitu penghasilan wali negari tak begitu banyak, hanya Rp 30 ribu sebulan, sedang sekretarisnya Rp 20 ribu. Separo dari gaji mereka berasal dari bantuan Pemda Propinsi Sum-Bar. Tapi seperti halnya negari lain di sana, wali negari tidak mengenal tanah bengkok seperti di Jawa. Struktur desa ini lengkap. Selain wali negari juga ada kerapatan negari yang di Jawa disebut rembug desa. Tapi juga ada dewan juri, sebuah lembaga yang bertugas sebagai penengah dalam penyelesaian tiap sengketa. Wali negari juga punya beberapa pembantu di bidang adat, agama, keamanan dan umum. Kepemimpinan ninik-mamak atau para datuk masih kuat. Jumlah para datuk lebih dari 100 orang, mereka memimpin segolongan penduduk yang disebut suku atau kaum. Di pihak lain juga ada ulama, yang bertanggungjawab dalam bidang pendidikan dan agama. Selain itu juga ada pembagian wilayah menjadi 9 daerah administrasi yang dipimpin kepala jorong. Di Sungai Kamuyang, pimpinan negari selalu memulai karir dari bawah. Mereka memang tidak mengenal pemimpin drop-dropan. Sebelum menjadi tokoh negari, mereka harus memperlihatkan kegiatan di lingkungan keluarga, suku, kemudian jorong. Kebolehan memimpin masyarakat terkecil, selalu menjadi pertimbangan utama untuk naik tingkat. Dan karena itu tak dikenal sistem kampanye dalam pemilihan kepala negari. Penduduk langsung membandingkan calon-calon yang ada dan memilih yang terbaik. Pegawai Negeri Sejak dulu kebanyakan wali negari berasal dari para datuk. Kalau pun ada yang tampil bukan dari kalangan datuk, biasanya segera memakai gelar pusaka itu. Dan kalau datuknya yang menjadi pimpinan suku masih ada, gelar pusaka itu diserahkan kepadanya. Misalnya Wali Negari Sungai Kamuyang sekarang, S. Datuk Bagindo Basa, 56 tahun. Ia memulai karirnya sebagai ketua dewan harian negari, 1956. Ketika itu ia dikenal dengan nama kecilnya, Siraj. Sepuluh tahun kemudian Siraj terpilih sebagai Wali Negari. Sejak itu ia mengenakan gelar Datuk Bagindo Basa. Datuk yang satu ini mungkin termasuk wali negari yang unik. Baru 2 tahun menjadi wali negari, 1958 pecah pergolakan PRRI. Ia tersingkir, tapi 10 tahun kemudian terpilih kembali sampai 1974. Dan pada 5 tahun masa jabatannya yang kedua, ia terpilih lagi, sampai akhir tahun ini. Ia tidak setuju Wali Negari diangkat sebagai pegawai negeri. Alasannya, "pegawai negeri setiap saat bisa dipindah." Itu berarti, suatu ketika wali negari di suatu desa bisa berasal dari desa lain. "Kalau wali negari bukan putera negari itu, pasti tidak jalan," katanya. Wali Negari Sungai Kamuyang ini tidak setuju orang parpol atau golkar menjadi anggota lembaga musyawarah desa (LSD). "Sebaiknya terdiri dari pemuka-pemuka negari. Soal-soal politik tak usahlah, sebab sering menimbulkan perpecahan," katanya. Meski begitu, wali negari ini bukannya tidak setuju dengan pembaharuan. Misalnya seperti yang diatur dalam SK Gubernur Sumatera Barat No. 155-156-157/1974, yang menurutnya cukup luwes. Di situ diatur kerapatan desa berintikan para pemuka masyarakat yang mewakili berbagai unsur. Adapun para datuk merupakan jembatan antara pemerintah negari dengan penduduk. Selama ini keputusan atau instruksi kerapatan memang disalurkan lewat para datuk sebelum sampai kepada penduduk. Sebab seperti halnya kata Wahid Dt. Radjo Diradjo, 78 tahun, bekas kepala negari di zaman Belanda, "negari tidak akan sentausa tanpa kekuasaan datuk, sebab datuk dipilih dari kepala suku."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus