WONOGIRI adalah satu di antara lima kabupaten dalam lingkungan
bekas karesidenan Surakarta. Dan Gajah Mungkur adalah sebuah
bukit, dua kilometer di hulu kota Wonogiri. Di lembahnya bertemu
dua sungai: Bengawan Sala dan Keduwang Pada pertemuan kedua
sungai itulah, kini dibangun waduk raksasa Gajah Mungkur, yang
kelak bisa menggenangi wilayah seluas 88 kilometer persegi
Dikerjakan sejak 1 Juli 1976, diperkirakan lima tahun selesai.
Di sana kini semuanya sudah berubah. Aeberapa bulldozer
menukik-nukik bukit-bukit batu, sementara beberapa dump truck
hilir-mudik memindahkan tanah galian. Suara dinamit berdentuman
memecah batu. Sebagian besar penduduk sudah berangsur-angsur
meninggalkan desa itu.
Selain 'bedol desa' ke Sitiung dan Rimbo Bujang, ada pula yang
bergeser ke beberapa desa di sekitarnya. Lewat desa-desa kosong
itu, tak ubahnya seperti melewati kawasan yang kalah perang.
Puing-puing melulu. Cuma satu dua rumah saja yang masih tinggal.
Itu pun tinggal menunggu waktu digusur. Di desa Pagutan
kelurahan Gebang kecamatan Nguntoronadi misalnya, tinggal
keluarga Sonokarto, 57 tahun. Mereka sendirian.
Beranak 8 bercucu 9, ia adalah Kebayan desa. Ia tidak ikut bedol
desa, masih punya sawah yang tidak ikut tergenang. Ia pun tak
tergesa pindah, sebab "khawatir pesangonnya tak dibayar."
Pesangon pamong berkisar antara Rp 150 ribu sampai Rp 500 ribu,
sedang pengganti tanah bengkok baru berupa GS (gambar situasi).
"Itu pun ngambilnya di atas, " katanya lagi.
Agaknya ganti rugi itu juga tak sesuai dengan kelas tanahnya.
Tim Pembebas Tanah hanya berpegang pada GS di Agraria Pusat, tak
berdasarkan situasi terakhir. Padahal sejak Mangkunegoro VII
(yang dulu antara lain menguasai Wonogiri) membuat waduk
Tirtomoyo (1937), GS sudah banyak berubah. Ada tegalan yang jadi
sawah, misalnya. Ganti rugi sawah kelas 1, per meter persegi, Rp
190, sedang tegalan kelas I Rp 70.
Sonokarto menerima ganti rugi Rp 800 ribu untuk tiga rumah,
kandang, pekarangan dan beberapa pepohonan. Sawahnya, seluas 8.
000 meter persegi diganti Rp 1 juta. "Kalau tak ada ancaman
genangan bisa laku Rp 5 juta," katanya. Ganti rugi itu dibayar
tiga kali. Mula-mula 10% diterima di kalurahan sebulan kemudian
yang 20% berupa Tabanas di BRI dan enam bulan berikutnya sisanya
berupa deposito. Menurut perjanjian, satu dua bulan setelah
menerima ganti rugi segera diberangkatkan. Nyatanya tak sedikit
yang tertunda-tunda. Bahkan ada yang sampai uang ganti ruginya
ludes dimakan, sementara menunggu pemberangkatan.
Di kecamatan Nguntorona di diperkirakan ada 40 GS milik sekitar
15 orang, sampai sekarang belum terselesaikan. Mereka menolak
ganti rugi karena dianggap tidak wajar. Seorang Lurah yang juga
menolak, enam bulan lalu diskors dengan alasan punya tunggakan
uang Bimas. Di Nguntoronadi ada beberapa rumah gedongan yang
dihargai sama dengan rumah biasa: Rp 8. 000 per meter persegi,
dipotong kondisi rumah.
Menjelang SU MPR lalu, lima warga Nguntoronadi dipanggil ke
kabupaten. Mereka dituduh menjadi promotor penolakan ganti rugi
Menurut mereka, senjata satu-satunya hanyalah SK Gubernur Jateng
No. Huk-16/1976 yang antara lain menyebutkan bahwa ganti rugi
harus dimusyawarahkan dengan pemilik. Tapi dengan SK itu pun
mereka tak berdaya.
Sitiung, yang luasnya 5.500 Ha, kini dihuni 4.000 KK
transmigran. Dari Padang berjarak 300 kilometer, untuk
mencapainya dari jalan raya Lintas Sumatera harus melalui jalan
tanah sejauh 40 kilometer. Baik di Sitiung I maupun Sitiung II,
setiap KK mendapat rumah dari papan, lantai tanah, beratap seng
dengan dua kamar dan satu ruang tamu, di atas tanah seperempat
Ha. Mereka juga mendapat 1 Ha ladang yang siap tanam.
Sekarang sudah banyak rumah-rumah yang berlantai semen dan
bercat. Tak sedikit pula yang memperbesar rumah. Meski setiap
empat KK mendapat sebuah sumur pompa, ada pula yang menggali
sumur sendiri. Selain itu di sana juga sudah ada poliklinik,
rumah ibadah, balai desa, kantor KUD, pos keamanan, toko, SD
Inpres, pasar, gudang dan BRI.
Tapi itu semua ternyata tak menjamin mereka bernasib lumayan.
Karena sejak di Wonogiri jarang memegang uang banyak, dengan
uang ganti rugi banyak di antaranya yang memperbesar rumah,
membeli sapi, sepeda atau lampu stromking. Ada pula yang
berfoya-foya dan main judi. Toko "Wonositi" (singkatan
Wonogiri-Sitiung) yang nyaris berdiri di tiap blok, dipenuhi
barang-barang mewah.
"Dulu rakyat saya makan gaplek," ujar Marjono bekas lurah
Gumiwang Kidul Wonogiri yang sekarang menjadi Wali Nagari di
Sitiung. Dan kini, di toko itu, rakyat pak lurah berebutan
membeli sardencis, Cocacola, Seven Up, Bir Asahi. Kini mereka
pun kehabisan nafas. Dan kembali makan nasi uleng - nasi campur
gaplek.
Mereka sebenarnya mendapat jatah beras selama satu tahun. Jatah
janda Rakiyem, 55 tahun, yang tinggal di Blok A Sitiung II, akan
habis bulan Oktober nanti. Kini ia terpaksa mencampur nasinya
dengan gaplek. Ia pun mengeluh, karena panen tak berhasil.
Bertanam sejak Januari lalu, kini mereka tak berhasil menuai
sebutir pun. "Pohon padi itu memang subur tapi tak berbuah,"
kata Mitro Wiyono, 60 tahun. Menurut Sadjiran, Kepala Kantor Sub
Proyek Sitiung II, kegagalan itu karena kelambatan menanam padi.
Ceritanya begini. Begitu transmigran tiba Nopember 1977,
Sekdalobang Solichin GP muncul di sana pula. Solichin berhasil
minta Pemerintah Daerah meminjami traktor menyulap hutan menjadi
sawah.
Diperkirakan selesai Desember, hingga masih kebagian hujan.
Ternyata baru sebulan kemudian tanah itu siap ditanami.
Walhasil, ketika pohon padi mulai saatnya berbuah, hujan tidak
kunjung turun. Tapi hal ini dibantah oleh Sukirno dari Blok D
Sitiung I, sebab kegagalan panen itu juga menimpa tempat
tinggalnya. "Sudah dua kali kami bertanam tapi hasilnya nol,"
katanya.
Agaknya yang menjadi biang keladi adalah alat-alat berat yang
meratakan belantara setelah habis dibakar. Traktortraktor itu
mengikis habis lapisan tanah yang subur. Apalagi tanahnya memang
dari jenis podzolik yang merah kuning dan kurang suka dengan
tanaman muda.
Tapi secara umum mereka berkecukupan juga. Ada beberapa yang
berdagang kecil-kecilan dan menjadi pekerja. Selain itu ada pula
yang bertanam cengkeh, kopi dan kassia vera. KUD pun sudah
berdiri enam buah, beranggota 2.000 dengan simpanan Rp 1,5 juta.
Menurut Bupati Sawahlunto-Sijunjung, Kol. Djamaris Junus,
ditinjau dari segi perencanaan, proyeknya hampir sempurna. Tapi
di lapangan ternyata timbul masalah lain. Karena lokasinya dalam
lingkungan ladang penduduk asli dan berbatasan langsung dengan
perkampungan, proses integrasinya justru mengalami hambatan.
Perbedaan kultur dan karakter menimbulkan ketegangan sosial.
Apalagi perhatian yang berlebih terhadap transmigran menyebabkan
penuduk asli merasa dianak-tirikan. Dan para transmigran pun
tampaknya kurang dibekali pengetahuan mengenai aspek budaya
sosial setempat. Menurut Bupatipula, meski tata pemerintahan
sudah diatur dengan SK Gubernur, toh perangkat di tingkat bawah
belum jalan sepenuhnya. Fasilitas untuk unit pemerintahan belum
tersedia.
Yang jelas, produksi ubi kayu melimpah ruah, meskipun buahnya
kecil-kecil. Akibatnya harganya merosot dari Rp 10 per kg turun
menjadi Rp 2. Itupun tak ada yang membeli. Sebab hampir semua
transmigran menanam singkong. Karena itu ada pula beberapa di
antaranya yang memburuh, misalnya sebagai penggali kanal untuk
pengairan.
Tapi menurut Marino, 17 tahun, banyak kawan-kawannya yang mulai
tak betah bekerja begitu, meski upahnya Rp 500 sehari. "Habis,
masak saya kerja 11 hari cuma dibayar 5 hari," katanya. Nasib
sial tampaknya masih merundung. Karsono, 49 tahun yang tinggal
di Blok D Sitiung I bunuh diri karena uang ganti ruginya
sebanyak Rp 1 juta ludes di meja judi.
Sisa uang ganti rugi yang berupa deposito ternyata juga masih
hangat dibicarakan di sana. Seorang transmigran yang punya
deposito berjangka hampir Rp 300.000 misalnya, bunganya sulit
dicairkan. BRI Koto Baru hanya mengatakan bahwa deposito itu
belum dilimpahkan dari BRI Wonogiri. Bahkan ada yang tak sabar
mengurus. Tak kurang dari 20 orang kini mudik ke Wonogiri
berurusan dengan BRI di sana.
Tak ayal, desa baru itu pun tak secerah seperti diharapkan
semula. Menurut Musa, 44 tahun, sopir Colt jurusan Koto
Baru-Sitiung, dulu lebih dari 10 Colt hilir-mudik sarat muatan.
Sekarang dua buah saja kosong. Itu pun cuma dua kali seminggu.
Adapun Rimbo Bujang yang terletak di Kabupaten Bungo Tebo,
Jambi, menyediakan areal 90.000 Ha, sampai bulan kemarin dibuni
oleh 4.500 KK. Bila Sitiung khusus dihuni orang Wonogiri,
penduduk Rimbo Bujang bervariasi: Jawa Timur, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Barat. Di sini tampaknya mereka lebih beruntung
ketimbang transmigran Sitiung.
Kasiyun, 45 tahun asal Trenggalek selama tinggal dua tahun di
sana telah berhasil panen sebanyak 400 kilogram gabah. Ia adalah
korban lahar dingin gunung Wilis. Berangkat ke Rimbo Bujang
hersama isteri dan ketiga anaknya, "hanya berbekal nyawa dan
tenaga. "Petani ulet ini, hanya dengan gergaji tangan, juga
memotong kayu balok untuk dijual.
Dari 15 unit perkampungan di Rimbo Bujang, yang tampaknya belum
berhasil panen hanya di unit III yang dihuni 50 KK. Sudah dua
kali mereka gagal, karena serangan tikus dan walangsangit. "Tapi
kami tak takut kelaparan. Di sini ubi banyak," kata Mitro, 45
tahun, asal Pati. Katanya pula, dibanding dengan daerahnya dulu,
Rimbo Bujang lebih mendingan. Tapi ada juga yang bikin jengkel.
Jatah beras selalu tak mencukupi. Bahkan menurut Sersan (Purn.)
Bakri asal Purworejo, beras itu selalu dipotong 5 kilogram per
KK setiap bulannya. Begitu pula balnya dengan jatah minyak
goreng dan minyak tanah. Pacul yang dijanjikan, juga baru
sebulan kemudian turun. "Saya menjadi saksi, "kata Bakri.
Bukan itu saja. Di Unit IV misalnya, masih banyak batang-batang
kayu yang baru saja ditebang, malang melintang. Hingga para
transmigran sulit bercocok tanam. Menteri Nakertrans yang Juli
lalu ke sana tak kurang akal. Ia minta bantuan KNPI setempat
untuk menyingkirkannya.
Tapi pembenahan areal di Unit XV dan Alai Hilir -- yang
direncanakan untuk menampung sisa transmigran asal Wonogiri yang
1.859.KK -- belum juga beres. Menurut W.M. Sitorus, Kepala
Bidang Persiapan Kanwil Transmigrasi Jambi, di Unit XV baru 120
dari 410 rumah yang rampung. Sementara di AlaiHilirdari 610
rumah, sampai awal Agustus lalu baru 61 yang jadi. Hal ini
lantaran Ditjen Bina Marga yang belum selesai membersihkan
areal.
Tapi pemborongan atas pembukaan hutan dan pembangunan rumah,
ternyata sudah diborongkan pada tiga perusahaan PT Alas Kusuma
(yang ditunjuk dari Pusat) membenahi 1.000 rumah, sementara
sisanya sekitar 800 rumah dikerjakan oleh PT Benyamin Brothers
dan PT Gaya Wahana Timber. Cuma agaknya PT Alas Kusuma tak
bekerja seperti diharapkan.
Orang-orang PU menuding R. Sitohang dari PT Alas Kusuma,
sementara yang dituding menyodorkan alasan seringnya turun
hujan. Hal ini dibantah oleh Junus Lubis dari Gabungan Pemborong
di Jambi. Menurutnya, ketidakberesan itu karena proyek tersebut
hanya d itangani oleh PT Alas Kusuma sendirian, hingga
kewalahan.
Sampai-sampai tak.kurang dari Menteri Nakertrans Harun Zain yang
herkunjung ke sana bulan Juli lalu memanggil sang pemborong
Menteri minta agar pekerjaan itu sudab selesai menjelang akhir
Oktober. Tapi Sitohang tidak menjawab dengan tegas.
"Mudah-mudahan, " katanya. Minggu ketiga Agustus lalu, Menteri
Muda Transmigrasi Martono yang juga ke Rimbo Bujang tak lupa
pula menanyakan hal itu. "Yang saya tahu, pokoknya PT Alas
Kusuma sanggup mengerjakan," kata Martono minggu lalu.
Sedang dua pemborong lainnya, memang diragukan kemampuannya
membangun ratusan rumah. Kayunya saja diambil dari mana?
Bahan-bahan perumahan itu hanya ada di Jambi. Tapi mengangkutnya
ke Rimbo Bujang, bukan main sulitnya. Membeli di Sumatera Barat?
Tentu tidak pula murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini