Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

3 potret Dari Dekat

Calon transmigran asal Wonogiri khawatir pesangonnya tak dibayar sebelum berangkat. Hambatan lain yang timbul di Sitiung & Rimbo bujang, kondisi tanah dan proses integrasi dengan penduduk asli yang sulit. (ds)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WONOGIRI adalah satu di antara lima kabupaten dalam lingkungan bekas karesidenan Surakarta. Dan Gajah Mungkur adalah sebuah bukit, dua kilometer di hulu kota Wonogiri. Di lembahnya bertemu dua sungai: Bengawan Sala dan Keduwang Pada pertemuan kedua sungai itulah, kini dibangun waduk raksasa Gajah Mungkur, yang kelak bisa menggenangi wilayah seluas 88 kilometer persegi Dikerjakan sejak 1 Juli 1976, diperkirakan lima tahun selesai. Di sana kini semuanya sudah berubah. Aeberapa bulldozer menukik-nukik bukit-bukit batu, sementara beberapa dump truck hilir-mudik memindahkan tanah galian. Suara dinamit berdentuman memecah batu. Sebagian besar penduduk sudah berangsur-angsur meninggalkan desa itu. Selain 'bedol desa' ke Sitiung dan Rimbo Bujang, ada pula yang bergeser ke beberapa desa di sekitarnya. Lewat desa-desa kosong itu, tak ubahnya seperti melewati kawasan yang kalah perang. Puing-puing melulu. Cuma satu dua rumah saja yang masih tinggal. Itu pun tinggal menunggu waktu digusur. Di desa Pagutan kelurahan Gebang kecamatan Nguntoronadi misalnya, tinggal keluarga Sonokarto, 57 tahun. Mereka sendirian. Beranak 8 bercucu 9, ia adalah Kebayan desa. Ia tidak ikut bedol desa, masih punya sawah yang tidak ikut tergenang. Ia pun tak tergesa pindah, sebab "khawatir pesangonnya tak dibayar." Pesangon pamong berkisar antara Rp 150 ribu sampai Rp 500 ribu, sedang pengganti tanah bengkok baru berupa GS (gambar situasi). "Itu pun ngambilnya di atas, " katanya lagi. Agaknya ganti rugi itu juga tak sesuai dengan kelas tanahnya. Tim Pembebas Tanah hanya berpegang pada GS di Agraria Pusat, tak berdasarkan situasi terakhir. Padahal sejak Mangkunegoro VII (yang dulu antara lain menguasai Wonogiri) membuat waduk Tirtomoyo (1937), GS sudah banyak berubah. Ada tegalan yang jadi sawah, misalnya. Ganti rugi sawah kelas 1, per meter persegi, Rp 190, sedang tegalan kelas I Rp 70. Sonokarto menerima ganti rugi Rp 800 ribu untuk tiga rumah, kandang, pekarangan dan beberapa pepohonan. Sawahnya, seluas 8. 000 meter persegi diganti Rp 1 juta. "Kalau tak ada ancaman genangan bisa laku Rp 5 juta," katanya. Ganti rugi itu dibayar tiga kali. Mula-mula 10% diterima di kalurahan sebulan kemudian yang 20% berupa Tabanas di BRI dan enam bulan berikutnya sisanya berupa deposito. Menurut perjanjian, satu dua bulan setelah menerima ganti rugi segera diberangkatkan. Nyatanya tak sedikit yang tertunda-tunda. Bahkan ada yang sampai uang ganti ruginya ludes dimakan, sementara menunggu pemberangkatan. Di kecamatan Nguntorona di diperkirakan ada 40 GS milik sekitar 15 orang, sampai sekarang belum terselesaikan. Mereka menolak ganti rugi karena dianggap tidak wajar. Seorang Lurah yang juga menolak, enam bulan lalu diskors dengan alasan punya tunggakan uang Bimas. Di Nguntoronadi ada beberapa rumah gedongan yang dihargai sama dengan rumah biasa: Rp 8. 000 per meter persegi, dipotong kondisi rumah. Menjelang SU MPR lalu, lima warga Nguntoronadi dipanggil ke kabupaten. Mereka dituduh menjadi promotor penolakan ganti rugi Menurut mereka, senjata satu-satunya hanyalah SK Gubernur Jateng No. Huk-16/1976 yang antara lain menyebutkan bahwa ganti rugi harus dimusyawarahkan dengan pemilik. Tapi dengan SK itu pun mereka tak berdaya. Sitiung, yang luasnya 5.500 Ha, kini dihuni 4.000 KK transmigran. Dari Padang berjarak 300 kilometer, untuk mencapainya dari jalan raya Lintas Sumatera harus melalui jalan tanah sejauh 40 kilometer. Baik di Sitiung I maupun Sitiung II, setiap KK mendapat rumah dari papan, lantai tanah, beratap seng dengan dua kamar dan satu ruang tamu, di atas tanah seperempat Ha. Mereka juga mendapat 1 Ha ladang yang siap tanam. Sekarang sudah banyak rumah-rumah yang berlantai semen dan bercat. Tak sedikit pula yang memperbesar rumah. Meski setiap empat KK mendapat sebuah sumur pompa, ada pula yang menggali sumur sendiri. Selain itu di sana juga sudah ada poliklinik, rumah ibadah, balai desa, kantor KUD, pos keamanan, toko, SD Inpres, pasar, gudang dan BRI. Tapi itu semua ternyata tak menjamin mereka bernasib lumayan. Karena sejak di Wonogiri jarang memegang uang banyak, dengan uang ganti rugi banyak di antaranya yang memperbesar rumah, membeli sapi, sepeda atau lampu stromking. Ada pula yang berfoya-foya dan main judi. Toko "Wonositi" (singkatan Wonogiri-Sitiung) yang nyaris berdiri di tiap blok, dipenuhi barang-barang mewah. "Dulu rakyat saya makan gaplek," ujar Marjono bekas lurah Gumiwang Kidul Wonogiri yang sekarang menjadi Wali Nagari di Sitiung. Dan kini, di toko itu, rakyat pak lurah berebutan membeli sardencis, Cocacola, Seven Up, Bir Asahi. Kini mereka pun kehabisan nafas. Dan kembali makan nasi uleng - nasi campur gaplek. Mereka sebenarnya mendapat jatah beras selama satu tahun. Jatah janda Rakiyem, 55 tahun, yang tinggal di Blok A Sitiung II, akan habis bulan Oktober nanti. Kini ia terpaksa mencampur nasinya dengan gaplek. Ia pun mengeluh, karena panen tak berhasil. Bertanam sejak Januari lalu, kini mereka tak berhasil menuai sebutir pun. "Pohon padi itu memang subur tapi tak berbuah," kata Mitro Wiyono, 60 tahun. Menurut Sadjiran, Kepala Kantor Sub Proyek Sitiung II, kegagalan itu karena kelambatan menanam padi. Ceritanya begini. Begitu transmigran tiba Nopember 1977, Sekdalobang Solichin GP muncul di sana pula. Solichin berhasil minta Pemerintah Daerah meminjami traktor menyulap hutan menjadi sawah. Diperkirakan selesai Desember, hingga masih kebagian hujan. Ternyata baru sebulan kemudian tanah itu siap ditanami. Walhasil, ketika pohon padi mulai saatnya berbuah, hujan tidak kunjung turun. Tapi hal ini dibantah oleh Sukirno dari Blok D Sitiung I, sebab kegagalan panen itu juga menimpa tempat tinggalnya. "Sudah dua kali kami bertanam tapi hasilnya nol," katanya. Agaknya yang menjadi biang keladi adalah alat-alat berat yang meratakan belantara setelah habis dibakar. Traktortraktor itu mengikis habis lapisan tanah yang subur. Apalagi tanahnya memang dari jenis podzolik yang merah kuning dan kurang suka dengan tanaman muda. Tapi secara umum mereka berkecukupan juga. Ada beberapa yang berdagang kecil-kecilan dan menjadi pekerja. Selain itu ada pula yang bertanam cengkeh, kopi dan kassia vera. KUD pun sudah berdiri enam buah, beranggota 2.000 dengan simpanan Rp 1,5 juta. Menurut Bupati Sawahlunto-Sijunjung, Kol. Djamaris Junus, ditinjau dari segi perencanaan, proyeknya hampir sempurna. Tapi di lapangan ternyata timbul masalah lain. Karena lokasinya dalam lingkungan ladang penduduk asli dan berbatasan langsung dengan perkampungan, proses integrasinya justru mengalami hambatan. Perbedaan kultur dan karakter menimbulkan ketegangan sosial. Apalagi perhatian yang berlebih terhadap transmigran menyebabkan penuduk asli merasa dianak-tirikan. Dan para transmigran pun tampaknya kurang dibekali pengetahuan mengenai aspek budaya sosial setempat. Menurut Bupatipula, meski tata pemerintahan sudah diatur dengan SK Gubernur, toh perangkat di tingkat bawah belum jalan sepenuhnya. Fasilitas untuk unit pemerintahan belum tersedia. Yang jelas, produksi ubi kayu melimpah ruah, meskipun buahnya kecil-kecil. Akibatnya harganya merosot dari Rp 10 per kg turun menjadi Rp 2. Itupun tak ada yang membeli. Sebab hampir semua transmigran menanam singkong. Karena itu ada pula beberapa di antaranya yang memburuh, misalnya sebagai penggali kanal untuk pengairan. Tapi menurut Marino, 17 tahun, banyak kawan-kawannya yang mulai tak betah bekerja begitu, meski upahnya Rp 500 sehari. "Habis, masak saya kerja 11 hari cuma dibayar 5 hari," katanya. Nasib sial tampaknya masih merundung. Karsono, 49 tahun yang tinggal di Blok D Sitiung I bunuh diri karena uang ganti ruginya sebanyak Rp 1 juta ludes di meja judi. Sisa uang ganti rugi yang berupa deposito ternyata juga masih hangat dibicarakan di sana. Seorang transmigran yang punya deposito berjangka hampir Rp 300.000 misalnya, bunganya sulit dicairkan. BRI Koto Baru hanya mengatakan bahwa deposito itu belum dilimpahkan dari BRI Wonogiri. Bahkan ada yang tak sabar mengurus. Tak kurang dari 20 orang kini mudik ke Wonogiri berurusan dengan BRI di sana. Tak ayal, desa baru itu pun tak secerah seperti diharapkan semula. Menurut Musa, 44 tahun, sopir Colt jurusan Koto Baru-Sitiung, dulu lebih dari 10 Colt hilir-mudik sarat muatan. Sekarang dua buah saja kosong. Itu pun cuma dua kali seminggu. Adapun Rimbo Bujang yang terletak di Kabupaten Bungo Tebo, Jambi, menyediakan areal 90.000 Ha, sampai bulan kemarin dibuni oleh 4.500 KK. Bila Sitiung khusus dihuni orang Wonogiri, penduduk Rimbo Bujang bervariasi: Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat. Di sini tampaknya mereka lebih beruntung ketimbang transmigran Sitiung. Kasiyun, 45 tahun asal Trenggalek selama tinggal dua tahun di sana telah berhasil panen sebanyak 400 kilogram gabah. Ia adalah korban lahar dingin gunung Wilis. Berangkat ke Rimbo Bujang hersama isteri dan ketiga anaknya, "hanya berbekal nyawa dan tenaga. "Petani ulet ini, hanya dengan gergaji tangan, juga memotong kayu balok untuk dijual. Dari 15 unit perkampungan di Rimbo Bujang, yang tampaknya belum berhasil panen hanya di unit III yang dihuni 50 KK. Sudah dua kali mereka gagal, karena serangan tikus dan walangsangit. "Tapi kami tak takut kelaparan. Di sini ubi banyak," kata Mitro, 45 tahun, asal Pati. Katanya pula, dibanding dengan daerahnya dulu, Rimbo Bujang lebih mendingan. Tapi ada juga yang bikin jengkel. Jatah beras selalu tak mencukupi. Bahkan menurut Sersan (Purn.) Bakri asal Purworejo, beras itu selalu dipotong 5 kilogram per KK setiap bulannya. Begitu pula balnya dengan jatah minyak goreng dan minyak tanah. Pacul yang dijanjikan, juga baru sebulan kemudian turun. "Saya menjadi saksi, "kata Bakri. Bukan itu saja. Di Unit IV misalnya, masih banyak batang-batang kayu yang baru saja ditebang, malang melintang. Hingga para transmigran sulit bercocok tanam. Menteri Nakertrans yang Juli lalu ke sana tak kurang akal. Ia minta bantuan KNPI setempat untuk menyingkirkannya. Tapi pembenahan areal di Unit XV dan Alai Hilir -- yang direncanakan untuk menampung sisa transmigran asal Wonogiri yang 1.859.KK -- belum juga beres. Menurut W.M. Sitorus, Kepala Bidang Persiapan Kanwil Transmigrasi Jambi, di Unit XV baru 120 dari 410 rumah yang rampung. Sementara di AlaiHilirdari 610 rumah, sampai awal Agustus lalu baru 61 yang jadi. Hal ini lantaran Ditjen Bina Marga yang belum selesai membersihkan areal. Tapi pemborongan atas pembukaan hutan dan pembangunan rumah, ternyata sudah diborongkan pada tiga perusahaan PT Alas Kusuma (yang ditunjuk dari Pusat) membenahi 1.000 rumah, sementara sisanya sekitar 800 rumah dikerjakan oleh PT Benyamin Brothers dan PT Gaya Wahana Timber. Cuma agaknya PT Alas Kusuma tak bekerja seperti diharapkan. Orang-orang PU menuding R. Sitohang dari PT Alas Kusuma, sementara yang dituding menyodorkan alasan seringnya turun hujan. Hal ini dibantah oleh Junus Lubis dari Gabungan Pemborong di Jambi. Menurutnya, ketidakberesan itu karena proyek tersebut hanya d itangani oleh PT Alas Kusuma sendirian, hingga kewalahan. Sampai-sampai tak.kurang dari Menteri Nakertrans Harun Zain yang herkunjung ke sana bulan Juli lalu memanggil sang pemborong Menteri minta agar pekerjaan itu sudab selesai menjelang akhir Oktober. Tapi Sitohang tidak menjawab dengan tegas. "Mudah-mudahan, " katanya. Minggu ketiga Agustus lalu, Menteri Muda Transmigrasi Martono yang juga ke Rimbo Bujang tak lupa pula menanyakan hal itu. "Yang saya tahu, pokoknya PT Alas Kusuma sanggup mengerjakan," kata Martono minggu lalu. Sedang dua pemborong lainnya, memang diragukan kemampuannya membangun ratusan rumah. Kayunya saja diambil dari mana? Bahan-bahan perumahan itu hanya ada di Jambi. Tapi mengangkutnya ke Rimbo Bujang, bukan main sulitnya. Membeli di Sumatera Barat? Tentu tidak pula murah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus