ORANG Jawa tampaknya sedang berubah. Semboyan mangan ora mangan
kumpul (makan atau tidak biarlah, asal kumpul) mulai
ditinggalkan. Yang kebetulan bertransmigrasi di kampuang urang
awak sana, akhirnya juga mengangguk-anggukkan kepala ketika ada
ninik-mamak yang berkata bahwa "di mana bumi dipijak, di situ
bumi dijunjung."
Seorang kyai yang memimpin 'bedol pesantren' dari Ngawi, Jawa
Tengah, malah mengutip ayat Alqur'an: "Bumi Tuhan itu luas.
Fasilitas akan didapat oleh orang-orang yang
bersungguh-sungguh." Ia bernama Kyai Mundzir, sekarang menetap
di Baturaja, Sumatera Selatan.
Yahya Budisusanto, 50 tahun, tak mau kalah. Ia yakin bahwa
sebagaimana Tuhan Allah menjanjikan tanah Kanaan buat kaum
Israil, daerah transmigrasi juga merupakan tanah Kanaan atau
tanah harapan baginya. Menanggung enam orang anak, pensiunnya
dari kantor Gubernuran Jawa Timur yang cuma Rp 40 ribu tentu
saja tidak mencukupi. Meski pun dari CV Hasil Bumi, tempat
kerjanya kemudian, ia mendapat tambahan Rp 25 ribu.
Tidak hanya memikirkan rumah kontrakan yang Rp 100 ribu setahun,
ia lebih-lebih merisaukan hari depan anakanaknya. Niat
bertransmigrasi timbul dari hati kecilnya sendiri sejak 1972.
Lalu ia mendongengi anak-anaknya, bahwa kalau tetap di Surabaya
nasib tidak akan berubah. "Saya minta anak-anak membantu saya
bertani selama dua tahun. Setelah itu silakan mencari pekerjaan
yang lebih baik," tuturnya.
Dan isteri serta anak-anaknya, "sudah siap menderita." Ia
sendiri mengaku di zaman Jepang pernah mengenyam pendidikan
pertanian di Malang sampai kelas II.
Di samping Yahya, inilah potret lain dari para transmigran yang
tabah itu:
Sardi, 35 tahun, sama sekali tak 'makan sekolah'. Dialah wakil
yang representatip dari petani miskin Indonesia. Tanahnya cuma
puluhan meter persegi, itu pun di lereng Pegunungan Seribu,
Pacitan, yang hanya bisa ditanami padi gadu setahun sekali.
Sepetak tanah lainnya, di ujung gunung, hanya mau menerima
singkong. Padahal ia harus menghidupi empat mulut isteri, anak
dan adik ipar. Dan ia sendiri.
Ketika dua tahun lalu ia mendaftarkan diri bertransmigrasi,
dikiranya akan segera berangkat. Ternyata tidak. "Padahal sawah
saya sudah saya jual," katanya. Ia terpaksa jadi penggarap, jadi
buruh tani. Sebelum dijual, tanah itu sempat memberinya beberapa
ikat gabah kering. "Kalau dimakan juga, hanya cukup sampai tiga
bulan saja," tuturnya. Lalu ia menanam singkong. Hasilnya diolah
menjadi gaplek dan gatot. "Lumayan sebagai ganjel perut,"
katanya.
Letak tanahnya yang di lereng pegunungan itu tentu saja hanya
mengharapkan air dari langit. Itu pun tak selamanya membawa
berkah. "Kalau banjir, tanah terkelupas oleh air dan tak bisa
lagi ditanami. Terpaksa menunggu beberapa waktu atau pindah,"
tambahnya dengan nada datar. Mendengar bahwa transmigran akan
mendapat tanah 2 Ha, rumah dan pengairan yang baik, ia pun
mendaftarkan diri. Awal Agustus lalu ia terbang dengan Super
Hercules ke Singkut, Jambi. "Saya senang dapat tanah. Dan senang
bisa naik kapal terbang," katanya lagi.
Rabu siang, 2 Agustus lalu, Mansjur Sjam, 26 tahun, mengawal 85
jiwa transmigran yang akan diangkut dengan Hercules Lockheed
L-100 milik Angkatan Udara Gabon, menuju Jambi. Ia sendiri
transmigran inti asal Blitar. Ia baru enam bulan menikah dengan
Sumijatun, 21 tahun, yang tentu saja mengikuti jejaknya.
Jebolan kelas 11 SMOA tahun 1972 ini lahir dari keluarga miskin.
Orangtuanya menanggung 9 perut hanya dengan sawah « bau saja.
Sjam yang semula bercita-cita jadi Marinir, terpaksa merantau ke
Lubuk Linggau. Jadi kuli. Dari sana mengembara sampai Pagar
Alam, Lahat, Metro, Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian ia
pulang mudik. Kembali menjadi buruh tani dengan upah Rp 300
sehari.
Adapun Sumijatun yang pernah duduk kelas II SMEA Dhoho-Kediri
tahun 1976, mengaku sering mbolos. "Saya dulu bandel," katanya.
Suami-isteri muda itu bukannya tak tertarik kehidupan kota yang
penuh hiburan. "Tapi transmigrasi merupakan panggilan hidup,"
sahut Sjam. Hanya menginginkan empat anak, mereka tak lagi
berpikir tentang cita-cita. "Biarlah keinginan belajar dan
bercita-cita diteruskan oleh anakanak kami kelak," tambahnya,
awal Agustus lalu di bandar udara Kemayoran.
Di Penampungan Kanwil Transmigrasi Kampung Bandan, Jakarta,
seorang pemuda yang sigap tampak lain dari para transmigran asal
Jawa Timur yang menginap di situ. Ia adalah Tirtoutomo, 26
tahun, transmigran inti yang berijazah SMEA Arjuna Malang, 1971.
Dengan ijasah sekolah kejuruan, ia hanya sempat menjadi kuli
mebel dengan upah Rp 75 sehari.
Pindah pekerjaan sebagai buruh penggilingan padi, upahnya naik
jadi Rp 500. Tak berapa lama ia menjadi pengawas keamanan di
sebuah pabrik rokok. Ia menerima Rp 20.000. Sebagai anak sulung,
ia harus membantu keluarga dengan 7 jiwa. Suatu hari ia
mendengar sukses kakeknya yang dua tahun lalu bertransmigrasi ke
Kalimantan Timur. Dalam suratnya, sang kakek bercerita punya
simpanan gabah kering hampir 1 ton untuk musim penghujan tahun
ini. Juga punya kebun kopi. Belum lagi pamannya yang tahun 1967
juga bertransmigrasi ke sana.
Akhirnya Tirto berhasil mengajak 2 KK dari desanya untuk
berangkat ke Singkut, Jambi. "Saya ingin menjadi pendorong.
Tidak selamanya yang muda-muda ini silau dengan kehidupan kota,"
katanya. "Bagaimana orang bisa senang-senang di kota kalau
hatinya tidak tenteram?" tambahnya.
Sebagai tenaga muda yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata,
Tirto diangkat sebagai transmigran inti. Ia dilatih 3 bulan di
Pusat Latihan Kejuruan (PLK) Singosari. la banyak diharapkan
bisa menularkan pengetahuannya bertani dan beternak seperti
yang ia dapat dari PLK.
Di Pusat Latihan Ketrampilan Indonesia (PLKI) Bandung, ada
seorang bekas abang beca yang tampil sebagai peserta nomor wahid
di antara 25 peserta lainnya. Dia adalah Thojib, 45 tahun, yang
beranak 5 orang. Semula ia memang petani yang bersawah « Ha di
desa Bojong, Majalaya. "Sambil jual beli, saya mencukupi
kebutuhan. Tapi suatu kali saya rugi, hingga terpaksa menjual
sawah," katanya.
Mencoba mengadu nasib ke Bandung, ia bekerja di perusahaan beca
"Sederhana", memperbaiki dan membuat beca. Gajinya lumayan, Rp
7.000 seminggu.
Sial, tahun 1972 turun peraturan yang melarang memproduksi beca.
Penghasilan pun menurun, hingga akhirnya kembali jual-beli kain.
Dasar sial, uang Rp 850.000 yang dipinjamnya dari adiknya,
hilang.
Ia memutar otak. Dan akhirnya memutuskan menarik beca saja.
Hasilnya cuma Rp 500 sehari. Pada suatu hari, sedang ia menunggu
penumpang, seorang mahasiswa menghampirinya. Rupanya si
mahasiswa lagi melakukan penelitian tentang masalah beca.
Mahasiswa itu bertanya, "mau bertransmigrasi Mang?" Thojib pun
tersentak, apalagi ketika diberitahu akan dikasih tanah.
"Saya dulu kan petani. Ditempatkan di mana saja saya mau.
Pokoknya punya tanah sendiri. Saya sudah rindu bertani," ujarnya
gembira.
Di Blok D Sitiung I ada transmigran sarjana. "Jelek-jelek
begini saya ini sarjana lho," kata Sukirno Josokartono, 30
tahun, yang berasal dari Sendang, Wonogiri. Tahun 1969 ia tamat
dari Akademi Ketataniagaan di Jakarta. Isterinya pun, Wijansih,
pokoknya lulus SLTA. Dulu, suami-isteri yang kini beranak dua
itu, tergolong yang tak susah cari makan.
Di Baturetno, Wonogiri, dulu ia membuka penggilingan padi.
Isterinya pun, di rumah, membuka kios eceran dan agen minyak
tanah. Kalau lagi musim panen, ia sempat menggiling 12 ton padi.
Keuntungannya tak kurang dari Rp 15.000 sehari. Merasa cukup
'kuat', tahun 1975 ia mendaftarkan diri sebagai calon lurah.
Menurut rencana, pemilihan lurah ketika itu akan dilaksanakan
bulan Juni 1976.
Awal 1975 tak kurang dari delapan calon yang menjadi saingannya.
Setelah diseleksi tinggal dua orang: Sukirno dan Peltu Tukiman,
Dansek Kepolisian Nguntoronadi. Sukirno optimis bakal menang. Ia
pun berkampanye dengan membentuk klub-klub olahraga, melakukan
kenduri-kenduri untuk anak yatim piatu, menderma rumah ibadah.
Bahkan ia pun tak lupa nglakoni -- melakukan tirakatan.
Misalnya mengelilingi 9 dusun di desanya di malam buta sampai
subuh di bawah pimpinan seorang dukun. Berbagai macam puasa pun
ia lakuhan mutib (makan nasi putih saja), ngrowot (makan
singkong sepanjang hari) atau puasa ngalong (makan buah-buahan
saja). Bahkan isterinya pun membantunya. "Saya sudah 40 malam
tidur dengan berdiri," kata Wijansih.
Semua itu menghabiskan biaya tak kurang dari Rp 1 juta. Tapi
tiba-tiba ambisinya luntur. Dua bulan sebelum pemilihan
dilakukan, keluar peraturan dari Bupati: desa yang terkena
rencana pembangunan waduk "Gajah Mungkur" harus membatalkan
pcmilihan lurah. Ketika itulah muncul keinginannya
bertransmigrasi. "Ini bukan soal cari makan, tapi demi masa
depan anak-anak," ujarnya.
Ganti rugi yang ia terima Rp 2,8 juta. Tapi ia tidak begitu
bodoh untuk menghabiskannya. Dengan modal Rp 350. 000 ia
mendirikan pabrik tahu dan tempe kecil-kecilan. Ia menggunakan
mesin merk Kawasaki dan penggiling merk Panda. Mesin ini juga ia
gunakan untuk mencas accu yang banyak dipunyai para transmigran,
sebagai penambah penghasilan.
"Orang Jawa di mana pun tak akan lupa sama tahu dan tempe,"
katanya tertawa. Sehari ia bisa menghabiskan kedelai 100 Kg
dengan untung Rp 5.000. Kedelai itu dibelinya di Koto Baru, 10
kilometer dari rumahnya. Dibantu isteri dan seorang gajian,
pabrik kecil itu pun jalan. Pagi subuh, dengan Yamaha ia
melintas hutan belukar berkeliling dari blok ke blok menjual
dagangan.
Sementara itu isterinya turun ke ladang. Keringat bercucuran
sepanjang hari tapi kocek pun padat. Itu tak berarti Sukirno tak
pernah mengalami hal-hal mengerikan. "Saya sudah tiga kali
kepergok macan," tuturnya. Matanya melotot. Dua kali si raja
hutan itu menyingkir berhadapan dengan lampu motor. Tapi ketiga
kalinya, ketika itu jam 4 subuh peluh dingin Sukirno mengucur
deras.
Biasanya, dengan menyorotkan lampu motor, harimau besar itu
lantas minggir. Tapi kali ini bergeser pun tidak. Nyaris 10
meter saja jaraknya dari Sukirno. Mau direm, berbahaya. Maka
dalam kegugupan begitu, klakson dibunyikannya keras-keras
sementara gas diinjaknya kuat-kuat. Yamaha itu meloncat tepat ke
punggung macan. Sukirno terpental ke parit kecil, tahu tempenya
berhamburan. Dan sang harimau cuma terkejut lalu menyusup di
semak-semak.
Belakangan perusahaannya macet. Tapi bukan lantaran kuwalat sama
si raja hutan. Duit yang selama ini melimpah di tangan para
transmigran, mulai menipis. Maka mereka pun enggan pula membeli
tahu dan tempe. Apalagi panen gagal pula. Tapi dari produksi
singkong yang melimpah, mereka pun membuat tepung tapioka. Nah,
hal ini dimanfaatkan oleh Sukirno, dengan membelinya Rp 30 per
Kg. Tapi lebih sering perdagangan berlangsung secara barter.
Tepung ditukar dengan kebutuhan sehari-hari: beras, minyak,
garam, gula, kopi.
Tepung di rumah Sukirno kadang sampai mencapai empat ton lalu
dijual ke Koto Baru. Bahkan ia pernah menjual ke Kerinci,
Kabupaten Jambi. "Pokoknya di mana ada harga yang cocok, ke sana
repung saya bawa," kata lelaki gigih ini. Biasanya ia mendapat
untung sampai 100%, meski ongkos angkutnya cukup mahal pula,
hingga keuntungannya hampir dimakan transpor melulu.
Maka ia pun memutar otak lagi. Ia punya gagasan membikin krupuk
Palembang yang bakunya juga singkong. "Mesinnya sudah saya beli
Rp 125.000 dari Sawahlunto," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini