Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Yang Berangkat Dan Kemudian Menetap

Pengalaman beberapa calon transmigran sebelum berangkat & sesudah menetap di lokasi transmigrasi, antara lain, Sardi dan Mansjur Sjam. (ds)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Jawa tampaknya sedang berubah. Semboyan mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak biarlah, asal kumpul) mulai ditinggalkan. Yang kebetulan bertransmigrasi di kampuang urang awak sana, akhirnya juga mengangguk-anggukkan kepala ketika ada ninik-mamak yang berkata bahwa "di mana bumi dipijak, di situ bumi dijunjung." Seorang kyai yang memimpin 'bedol pesantren' dari Ngawi, Jawa Tengah, malah mengutip ayat Alqur'an: "Bumi Tuhan itu luas. Fasilitas akan didapat oleh orang-orang yang bersungguh-sungguh." Ia bernama Kyai Mundzir, sekarang menetap di Baturaja, Sumatera Selatan. Yahya Budisusanto, 50 tahun, tak mau kalah. Ia yakin bahwa sebagaimana Tuhan Allah menjanjikan tanah Kanaan buat kaum Israil, daerah transmigrasi juga merupakan tanah Kanaan atau tanah harapan baginya. Menanggung enam orang anak, pensiunnya dari kantor Gubernuran Jawa Timur yang cuma Rp 40 ribu tentu saja tidak mencukupi. Meski pun dari CV Hasil Bumi, tempat kerjanya kemudian, ia mendapat tambahan Rp 25 ribu. Tidak hanya memikirkan rumah kontrakan yang Rp 100 ribu setahun, ia lebih-lebih merisaukan hari depan anakanaknya. Niat bertransmigrasi timbul dari hati kecilnya sendiri sejak 1972. Lalu ia mendongengi anak-anaknya, bahwa kalau tetap di Surabaya nasib tidak akan berubah. "Saya minta anak-anak membantu saya bertani selama dua tahun. Setelah itu silakan mencari pekerjaan yang lebih baik," tuturnya. Dan isteri serta anak-anaknya, "sudah siap menderita." Ia sendiri mengaku di zaman Jepang pernah mengenyam pendidikan pertanian di Malang sampai kelas II. Di samping Yahya, inilah potret lain dari para transmigran yang tabah itu:  Sardi, 35 tahun, sama sekali tak 'makan sekolah'. Dialah wakil yang representatip dari petani miskin Indonesia. Tanahnya cuma puluhan meter persegi, itu pun di lereng Pegunungan Seribu, Pacitan, yang hanya bisa ditanami padi gadu setahun sekali. Sepetak tanah lainnya, di ujung gunung, hanya mau menerima singkong. Padahal ia harus menghidupi empat mulut isteri, anak dan adik ipar. Dan ia sendiri. Ketika dua tahun lalu ia mendaftarkan diri bertransmigrasi, dikiranya akan segera berangkat. Ternyata tidak. "Padahal sawah saya sudah saya jual," katanya. Ia terpaksa jadi penggarap, jadi buruh tani. Sebelum dijual, tanah itu sempat memberinya beberapa ikat gabah kering. "Kalau dimakan juga, hanya cukup sampai tiga bulan saja," tuturnya. Lalu ia menanam singkong. Hasilnya diolah menjadi gaplek dan gatot. "Lumayan sebagai ganjel perut," katanya. Letak tanahnya yang di lereng pegunungan itu tentu saja hanya mengharapkan air dari langit. Itu pun tak selamanya membawa berkah. "Kalau banjir, tanah terkelupas oleh air dan tak bisa lagi ditanami. Terpaksa menunggu beberapa waktu atau pindah," tambahnya dengan nada datar. Mendengar bahwa transmigran akan mendapat tanah 2 Ha, rumah dan pengairan yang baik, ia pun mendaftarkan diri. Awal Agustus lalu ia terbang dengan Super Hercules ke Singkut, Jambi. "Saya senang dapat tanah. Dan senang bisa naik kapal terbang," katanya lagi.  Rabu siang, 2 Agustus lalu, Mansjur Sjam, 26 tahun, mengawal 85 jiwa transmigran yang akan diangkut dengan Hercules Lockheed L-100 milik Angkatan Udara Gabon, menuju Jambi. Ia sendiri transmigran inti asal Blitar. Ia baru enam bulan menikah dengan Sumijatun, 21 tahun, yang tentu saja mengikuti jejaknya. Jebolan kelas 11 SMOA tahun 1972 ini lahir dari keluarga miskin. Orangtuanya menanggung 9 perut hanya dengan sawah « bau saja. Sjam yang semula bercita-cita jadi Marinir, terpaksa merantau ke Lubuk Linggau. Jadi kuli. Dari sana mengembara sampai Pagar Alam, Lahat, Metro, Sumatera Selatan. Dua tahun kemudian ia pulang mudik. Kembali menjadi buruh tani dengan upah Rp 300 sehari. Adapun Sumijatun yang pernah duduk kelas II SMEA Dhoho-Kediri tahun 1976, mengaku sering mbolos. "Saya dulu bandel," katanya. Suami-isteri muda itu bukannya tak tertarik kehidupan kota yang penuh hiburan. "Tapi transmigrasi merupakan panggilan hidup," sahut Sjam. Hanya menginginkan empat anak, mereka tak lagi berpikir tentang cita-cita. "Biarlah keinginan belajar dan bercita-cita diteruskan oleh anakanak kami kelak," tambahnya, awal Agustus lalu di bandar udara Kemayoran.  Di Penampungan Kanwil Transmigrasi Kampung Bandan, Jakarta, seorang pemuda yang sigap tampak lain dari para transmigran asal Jawa Timur yang menginap di situ. Ia adalah Tirtoutomo, 26 tahun, transmigran inti yang berijazah SMEA Arjuna Malang, 1971. Dengan ijasah sekolah kejuruan, ia hanya sempat menjadi kuli mebel dengan upah Rp 75 sehari. Pindah pekerjaan sebagai buruh penggilingan padi, upahnya naik jadi Rp 500. Tak berapa lama ia menjadi pengawas keamanan di sebuah pabrik rokok. Ia menerima Rp 20.000. Sebagai anak sulung, ia harus membantu keluarga dengan 7 jiwa. Suatu hari ia mendengar sukses kakeknya yang dua tahun lalu bertransmigrasi ke Kalimantan Timur. Dalam suratnya, sang kakek bercerita punya simpanan gabah kering hampir 1 ton untuk musim penghujan tahun ini. Juga punya kebun kopi. Belum lagi pamannya yang tahun 1967 juga bertransmigrasi ke sana. Akhirnya Tirto berhasil mengajak 2 KK dari desanya untuk berangkat ke Singkut, Jambi. "Saya ingin menjadi pendorong. Tidak selamanya yang muda-muda ini silau dengan kehidupan kota," katanya. "Bagaimana orang bisa senang-senang di kota kalau hatinya tidak tenteram?" tambahnya. Sebagai tenaga muda yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, Tirto diangkat sebagai transmigran inti. Ia dilatih 3 bulan di Pusat Latihan Kejuruan (PLK) Singosari. la banyak diharapkan bisa menularkan pengetahuannya bertani dan beternak seperti yang ia dapat dari PLK.  Di Pusat Latihan Ketrampilan Indonesia (PLKI) Bandung, ada seorang bekas abang beca yang tampil sebagai peserta nomor wahid di antara 25 peserta lainnya. Dia adalah Thojib, 45 tahun, yang beranak 5 orang. Semula ia memang petani yang bersawah « Ha di desa Bojong, Majalaya. "Sambil jual beli, saya mencukupi kebutuhan. Tapi suatu kali saya rugi, hingga terpaksa menjual sawah," katanya. Mencoba mengadu nasib ke Bandung, ia bekerja di perusahaan beca "Sederhana", memperbaiki dan membuat beca. Gajinya lumayan, Rp 7.000 seminggu. Sial, tahun 1972 turun peraturan yang melarang memproduksi beca. Penghasilan pun menurun, hingga akhirnya kembali jual-beli kain. Dasar sial, uang Rp 850.000 yang dipinjamnya dari adiknya, hilang. Ia memutar otak. Dan akhirnya memutuskan menarik beca saja. Hasilnya cuma Rp 500 sehari. Pada suatu hari, sedang ia menunggu penumpang, seorang mahasiswa menghampirinya. Rupanya si mahasiswa lagi melakukan penelitian tentang masalah beca. Mahasiswa itu bertanya, "mau bertransmigrasi Mang?" Thojib pun tersentak, apalagi ketika diberitahu akan dikasih tanah. "Saya dulu kan petani. Ditempatkan di mana saja saya mau. Pokoknya punya tanah sendiri. Saya sudah rindu bertani," ujarnya gembira.  Di Blok D Sitiung I ada transmigran sarjana. "Jelek-jelek begini saya ini sarjana lho," kata Sukirno Josokartono, 30 tahun, yang berasal dari Sendang, Wonogiri. Tahun 1969 ia tamat dari Akademi Ketataniagaan di Jakarta. Isterinya pun, Wijansih, pokoknya lulus SLTA. Dulu, suami-isteri yang kini beranak dua itu, tergolong yang tak susah cari makan. Di Baturetno, Wonogiri, dulu ia membuka penggilingan padi. Isterinya pun, di rumah, membuka kios eceran dan agen minyak tanah. Kalau lagi musim panen, ia sempat menggiling 12 ton padi. Keuntungannya tak kurang dari Rp 15.000 sehari. Merasa cukup 'kuat', tahun 1975 ia mendaftarkan diri sebagai calon lurah. Menurut rencana, pemilihan lurah ketika itu akan dilaksanakan bulan Juni 1976. Awal 1975 tak kurang dari delapan calon yang menjadi saingannya. Setelah diseleksi tinggal dua orang: Sukirno dan Peltu Tukiman, Dansek Kepolisian Nguntoronadi. Sukirno optimis bakal menang. Ia pun berkampanye dengan membentuk klub-klub olahraga, melakukan kenduri-kenduri untuk anak yatim piatu, menderma rumah ibadah. Bahkan ia pun tak lupa nglakoni -- melakukan tirakatan. Misalnya mengelilingi 9 dusun di desanya di malam buta sampai subuh di bawah pimpinan seorang dukun. Berbagai macam puasa pun ia lakuhan mutib (makan nasi putih saja), ngrowot (makan singkong sepanjang hari) atau puasa ngalong (makan buah-buahan saja). Bahkan isterinya pun membantunya. "Saya sudah 40 malam tidur dengan berdiri," kata Wijansih. Semua itu menghabiskan biaya tak kurang dari Rp 1 juta. Tapi tiba-tiba ambisinya luntur. Dua bulan sebelum pemilihan dilakukan, keluar peraturan dari Bupati: desa yang terkena rencana pembangunan waduk "Gajah Mungkur" harus membatalkan pcmilihan lurah. Ketika itulah muncul keinginannya bertransmigrasi. "Ini bukan soal cari makan, tapi demi masa depan anak-anak," ujarnya. Ganti rugi yang ia terima Rp 2,8 juta. Tapi ia tidak begitu bodoh untuk menghabiskannya. Dengan modal Rp 350. 000 ia mendirikan pabrik tahu dan tempe kecil-kecilan. Ia menggunakan mesin merk Kawasaki dan penggiling merk Panda. Mesin ini juga ia gunakan untuk mencas accu yang banyak dipunyai para transmigran, sebagai penambah penghasilan. "Orang Jawa di mana pun tak akan lupa sama tahu dan tempe," katanya tertawa. Sehari ia bisa menghabiskan kedelai 100 Kg dengan untung Rp 5.000. Kedelai itu dibelinya di Koto Baru, 10 kilometer dari rumahnya. Dibantu isteri dan seorang gajian, pabrik kecil itu pun jalan. Pagi subuh, dengan Yamaha ia melintas hutan belukar berkeliling dari blok ke blok menjual dagangan. Sementara itu isterinya turun ke ladang. Keringat bercucuran sepanjang hari tapi kocek pun padat. Itu tak berarti Sukirno tak pernah mengalami hal-hal mengerikan. "Saya sudah tiga kali kepergok macan," tuturnya. Matanya melotot. Dua kali si raja hutan itu menyingkir berhadapan dengan lampu motor. Tapi ketiga kalinya, ketika itu jam 4 subuh peluh dingin Sukirno mengucur deras. Biasanya, dengan menyorotkan lampu motor, harimau besar itu lantas minggir. Tapi kali ini bergeser pun tidak. Nyaris 10 meter saja jaraknya dari Sukirno. Mau direm, berbahaya. Maka dalam kegugupan begitu, klakson dibunyikannya keras-keras sementara gas diinjaknya kuat-kuat. Yamaha itu meloncat tepat ke punggung macan. Sukirno terpental ke parit kecil, tahu tempenya berhamburan. Dan sang harimau cuma terkejut lalu menyusup di semak-semak. Belakangan perusahaannya macet. Tapi bukan lantaran kuwalat sama si raja hutan. Duit yang selama ini melimpah di tangan para transmigran, mulai menipis. Maka mereka pun enggan pula membeli tahu dan tempe. Apalagi panen gagal pula. Tapi dari produksi singkong yang melimpah, mereka pun membuat tepung tapioka. Nah, hal ini dimanfaatkan oleh Sukirno, dengan membelinya Rp 30 per Kg. Tapi lebih sering perdagangan berlangsung secara barter. Tepung ditukar dengan kebutuhan sehari-hari: beras, minyak, garam, gula, kopi. Tepung di rumah Sukirno kadang sampai mencapai empat ton lalu dijual ke Koto Baru. Bahkan ia pernah menjual ke Kerinci, Kabupaten Jambi. "Pokoknya di mana ada harga yang cocok, ke sana repung saya bawa," kata lelaki gigih ini. Biasanya ia mendapat untung sampai 100%, meski ongkos angkutnya cukup mahal pula, hingga keuntungannya hampir dimakan transpor melulu. Maka ia pun memutar otak lagi. Ia punya gagasan membikin krupuk Palembang yang bakunya juga singkong. "Mesinnya sudah saya beli Rp 125.000 dari Sawahlunto," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus