SUDAH sangat jelas bahwa membina kekompakan tidak harus berarti
menghilangkan perbedaan yang wajar lahir dari keadaan yang
majemuk. Bahkan perbedaan itu seharusnya merupakan kekuatan
pendorong untuk kemajuan. Dan Nabi kita sendiri mengajarkan
bahwa "perbedaan di kalangan ummat beliau adalah rahmat"!
Sepanjang perbedaan pendapat itu tidak berkembang menjadi
peruncingan keadaan dan perpecahan di antara ummat. Sabda Nabi
ini perlu kita resapi kembali justru dalam suasana seperti
sekarang, di mana bangsa Indonesia sedang diuji dam menghadapi
tugas nasional yang besar, yaitu penyelenggaraan Sidang Umum MPR
dalam rangka menegakkan dan mengembangkan kehidupan demokrasi
Pancasila dan kehidupan konstitusi --Preiden Soeharto pada
peringatan Maulid Nabi Muhammad, 20 Pebruari 1978, di Istana
Negara.
MINGGU ini seluruh anggota MPR - 920 orang yang kebanyakan
tinggal di daerah - diharapkan sudah menerima bahan persidangan.
Bahan itu terkumpul dalam 4 buku, masing-masing bersampul putih,
oranye, merah dan biru. Sejak dibentuk 4 bulan lalu, setelah
bersidang 11 kali, 31 Januari lalu Badan Pekerja MPR telah
menyelesaikan tugasnya.
Setelah 2 minggu dicetak, bahan-bahan BP MPR itu 16 Pebruari
kemarin disampaikan kepada para anggota lewat fraksi
masing-masing. Begitu pentingnya bahan tersebut, sampai-sampai
untuk menyampaikannya kepada anggota yang kebetulan tinggal di
daerah terpencil, kabarnya kalau perlu digunakan helikopter.
Dengan begitu, selama 2 minggu mereka bisa mempelajarinya,
sebelum mengikuti sidang umum MPR yang akan berlangsung 11-23
Maret mendatang. Meski begitu, ternyata tiak semuanya berjalan
lancar. Masih ada persoalan yang dianggap merupakan pengganjel,
yang belum sepenuhnya disepakati oleh kelima fraksi.
Toh ketua MPR-DPR Adam Malik optimis bahwa pengganjel itu "akan
bisa kita licinkan." Caranya? "Mungkin dengan cara tawar-menawar
atau rembugan, seperti yang biasa terjadi selama ini," kata Adam
lagi. Bahkan sebulan sebelum sidang umum, ketua BP MPR Achmad
Lamo mengharap bahwa rembugan itu akan bisa dilangsungkan untuk
merintis jalan licin.
Sementara buku merah berisi keputusan sidang paripurna BP MPR
dan buku biru (disebut pula "buku terang") merupakan petunjuk
yang berisi skema gedung dan nama pBnpinan MPR-DPR, maka dalam
buku oranye tercantum usul dan catatan fraksi. Catatan perbedaan
fraksi fraksi (juga rancangan ketetapan dan keputusan) terdapat
dalam buku putih.
ABRI Modal Dasar
Dan 9 soal itu antara lain 2 hal yang sama sekali ditolak Fraksi
Persatuan. Yaitu masuknya 'kepercayaan' dalam GBHN dan adanya
TAP-MPR untuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Tujuh hal laimlya, oleh fraksi Persatuan maupun Demokrasi
diusulkan sebagai koreksi dalam GBIN.
Peningkatan pendidikan politik. Selain agar pembentukan parpol
dan golkar bisa sampai tingkat desa--dengan demikian kedua
fraksi ini menolak gagasan massa mengambang--hendaknya pemilu
dilaksanakan oleh lembaga yang dibentuk kontestarl, bukan oleh
LPU seperti sekarang.
Pembinaan generasi muda (jelasnya KNPI) hendaknya diatur oleh
pemuda sendiri. Jangan ditangan-satukan (istilah Fraksi
Persatuan) atau jangan bersifat monolit (istilah Fraksi
Demokrasi).
Soal ekonomi lemah. Fraksi Persatuan menghendaki ketegasan
istilah 'pribumi' dan 'non-pribumi', dengan tekanan pengutamaan
bantuan pada pribumi. Bagi fraksi Demokrasi, istilah 'pribumi'
dan 'non-pribumi' dinilai kurang tepat, meski tetap mengharapkan
kemudahan perlakuan bagi golongan lemah yang 'Indonesia asli.'
Repelita yang selama ini hanya berdasarkan Keppres, hendaknya
berdasarkan W. "Kalau APBN sebagai pecahan Repelita selalu ada
W-nya dan tiap tahun dibahas DPR, mengapa Repelita sebagai
induknya yang berlaku 5 tahun tidak pakai UU?" alasan kalangan
fraksi Persatuan. Fraksi Demokrasi lebih jelas lagi, agar Pelita
dilaksanakan oleh Presiden bersama DPR.
Wajib belajar, hendaknya dilaksanakan mulai Repelita III
(1979-1983). Fraksi lainnya yang umumnya pendukung pemerintah
seperti ABRI, Karya, Daerah, bukannya tak menyetujui wajib
belajar. Cuma mereka beranggapan, setidaknya ha itu sudah mulai
berlaku sejak Pelita II ini, misalnya penghapusan SPP di tingkat
SD.
Penerangan dan pers. Fraksi Persatuan dan Demokrasi mengusulkan
peniadaan lembaga SIT bagi penerbitan media massa. Juga minta
agar pemanfaatan radio, televisi, film, kantor berita dan pers
semakin diperluas. Tiga fraksi lainnya sebenarnya sependapat,
cuma bagi mereka untuk sementara ini lembaga SIT masih dianggap
perlu.
Tentang istilah 'tujuan nasional' pada bab pendahuluan GBHN,
yang hendaknya diartikan sebagai 'tugas pemerintah.' Menurut
fraksi Persatuan, tujuan nasional ialah Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Fraksi
Demokrasi setelah menganggap istilah tersebut sebagai "untuk
mewujudkan tujuan nasional" akhirnya menambah nomor baru yang
senada dengan fraksi Persatuan.
Itu tak berarti antara fraksi Persatuan dan Demokrasi selalu ada
persamaan. Ada satu hal di mana mereka berbeda pendapat. Yaitu
tentang kalimat "ABRI sebagai modal dasar nasional." Sementara
Fraksi Demokrasi menerima dwifungsi ABRI "karena ABRI bukan saja
sebagai kekuatan hankam tapi juga kekuatan sospol," bagi
Persatuan modal dasar itu selain ABRI juga parpol, organisasi
pemuda & mahasiswa, keagamaan dan sebagainya.
Sementara 3 fraksi lain umumnya menerima keseluruhan materi
(dengan perbaikan redaksionil), ada beberapa hal yang
diprioritaskan oleh fraksi Persatuan dan Demokrasi. Persatuan
misalnya menghendaki UU wajib milisi, yang belum tercantum dalam
GBHN. Kalender Konstitusi (prosedur pemilihan Presiden,
pertanggungan jawab Presiden hak kewajiban dan identitas DPR)
juga merupakan usul yang belum mendapat tanggapan.
Adapun fraksi Demokrasi minta agar dicegah kemungkinan adanya
monopoli di sektor ekonomi penggalakan asas swasembada alias
berdikari, penyusunan W tentang desa untuk menggerakkan
partisipasi desa dan penyelenggaraan administrasi desa yang
lebih luas dan efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini