Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bukan Segalanya

Kebebasan memang bukan segala-galanya. bukan kemewahan yang nikmat tapi kewajiban yang dalam. dengan kebebasan, kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyelesaikan konflik dapat diperoleh.

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBEBASAN memang bukan segala-galanya. Banyak kenyataan sepanjang sejarah membuktikan itu: kemerdekaan bisa disisihkan sebagai bukan barang suci, dan si pelaku tetap merasa tanpa dosa. Seorang pemikir pernah berkata-suaranya khas untuk abad ini: "Jika kemerdekaan yang saya miliki menyebabkan sesuatu yang tidak adil, saya harus bersedia melepaskannya." Di bulan Maret 1941 S. Takdir Alisjahbana memuat tulisannya sendiri dalam majalah Poedjangga Baroe. Tulisan itu, sesungguhnya dimaksudkan untuk majalah berbahasa Belanda De Fakkel, berjudul serius: Individualisme en Gemeenschapsbewustzijn in de Moderne Indonesische Letterkunde. Dalam salah satu kalimatnya ia berkata: "Kecenderungan individualisasi dalam masyarakat Indonesia .... harus diartikan begini: membebaskan diri untuk ditawan dengan sukarela dan penuh kesadaran." Lebih 30 tahun kemudian, ketika Takdir telah berusia 70, kata-kata serupa ini masih bisa terdengar kembali--satu hal yang menunjukkan bahwa banyak persoalan masih tetap sama dalam hidup kita. "Kita tidak boleh terhenti pada pengagungan kebebasan," kata Takdir, "bahkan sebaliknya pembebasan individu harus melulu dilihat dalam fungsi kemasyarakatannya." Keluar dari pena Takdir, pendirian itu sebenarnya tak mengejutkan. Di akhir 1936 ia berpolemik dengan rekan segenerasinya, Sanusi Pane. Ia menolak pendirian "seni untuk seni". Alasannya ia nyatakan dengan gaya bersemangat yang khas: "Kita sebagai bangsa yang berpal-pal jauh tertinggal di belakang, kita sebagai bangsa yang dalam segala lapangan masih harus mulai dari semula .... tiap-tiap kita harus penuh sesak oleh pekerjaan pembangunan untuk memberikan tempat yang layak bagi bangsa kita di tengah-tengah dunia .... " Dan Takdir pun menolak kesenian hanya sebagai sport mewah. Dapat kia duga bahwa ia pun akan mengecam kebebasan yang hanya dipergunakan untuk kebebasan, sebab itu pun suatu barang lux. Luxesport semacam ini, bagi Takdir, bukan milik kita. Kita sedang dalam apa yang disebutnya sebagai zaman kerja "rekonstruksi". Kemewahan itu harus kita tunda, sampai "zaman yang lebih masak". Yakni, "apabila perjuangan perbaikan nasib dan kedudukan bangsa sudah menenang di teluk yang sunyi dan tiada berombak," apabila "segala perjuangan dan penderitaan telah melenyap dalam bahagia dan kedamaian." Sebagai seorang yang tajam dan jernih dalam merumuskan fikiran, sebagai seorang penulis esei yang justru jadi hidup di saat-saat Polemik, Takdir seakan-akan tak terbantah. Sanusi Pane pun tak cukup kuat menjawab. Tapi kita yang hidup lebih panjang dari Sanusi, dan menyaksikan perjalanan sejarah yang sering mengecewakan, bisa bertanya: kapankah "teluk yang tiada berombak" yang dijanjikan Takdir itu hadir? Jawabannya: kita tidak tahu. Tapi kita bisa tahu, lebih dari Takdir, bahwa sebuah bangsa yang matang sebaiknya bertolak dari pra-anggapan bahwa teluk sunyi itu hanya mimpi. Bukan untuk berputus-asa, melainkan justru untuk bersiap menghadapi putus-asa. Bukan untuk melihat diri sebagai sesuatu- yang terkutuk membatu, tapi untuk melihat diri sebagai jeram: kita hidup antara arus dan tebing, antara enersi dan perbatasan. Karena memang tak ada bangsa yang akan tanpa konflik, tak akan ada bangsa yang bersih dari penderitaan. Sementara itu juga tak ada bangsa yang Pada dasarnya buntu sama sekali dari kemungkinan menyelesaikan konflik, dan macet sama sekali untuk mengatasi penderitaan. Di situlah sebenarnya kebebasan bisa dilihat sebagai sesuatu yang berperan. Ia bukan kemewahan yang nikmat ia adalah kewajiban yang dalam. Dengan kebebasanlah kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyelesaikan konflik dapat dicari. Dengan kebebasan-lah alternatif-alternatif diperoleh. Karena itu bila kebebasan mati, seperti kata seorang cendekia, ia tak akan mati sendirian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus