Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Akhir Pertempuran Panjang itu...

Desa Cot Trieng, 10 Desember 2002. Tank-tank marinir itu berderak berekor debu meninggalkan desa tersebut. Mulai hari itu, 1.400 personel TNI dan Polri meninggalkan rawa-rawa gambut yang menjadi tempat persembunyian anggota Gerakan Aceh Merdeka. Di bibir rawa itu pula mereka menanggalkan rasa permusuhan terhadap musuh mereka selama 26 tahun terakhir.

8 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara telah mengulurkan tangan. Jalinan persaudaraan yang sempat terputus itu direkat kembali dengan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan di Jenewa, 9 Desember silam. "Kita damai. Damai." Seruan itu terdengar dari sela-sela gelagah yang tumbuh di rawa Cot Trieng. Wajah gembira para prajurit terlihat ketika mereka keluar dari rawa dengan seragam penuh lumpur. Sama dengan rekannya yang lain, Prajurit Kepala Edi, anggota Kostrad yang terlibat pengepungan di Cot Trieng, ikut senang bahwa operasi pengepungan dinyatakan selesai. Tapi dia juga bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba diperintahkan keluar dari rawa, padahal anggota GAM yang selama ini mereka kejar sudah terpojok. "Tapi kami patuh saja pada perintah atasan," kata Edi. "Disuruh kepung, kami kepung. Disuruh terobos masuk, ya kami masuk." Meski bingung, sambil bernyanyi lagu-lagu kesatuannya, mereka membenahi semua alat berat dan pos-pos yang digunakan sejak pengepungan dimulai 28 Oktober silam. Tapi tak semua prajurit keluar dari Cot Trieng. Masih ada 60 personel yang ditempatkan di Cot Trieng. Hanya, mereka tidak lagi menghalangi kelompok GAM yang ingin keluar dari rawa. Sebelum meninggalkan Cot Trieng, Komandan Sektor A Komando Operasi TNI di Aceh, Kolonel Inf. A.Y. Nasution, berpesan bahwa penghentian permusuhan ini bukan hanya kemenangan TNI tapi juga kemenangan GAM, dan mereka bersaudara. Mereka juga tak boleh bersikap sembarangan di era damai ini. Sebab, setelah perjanjian Jenewa, polisi akan bertanggung jawab memelihara ketertiban dan keamanan di Aceh. Tentara cukup siaga di barak saja. Polisi pun telah bersiap diri menerima tugas ini, termasuk mempreteli senapan serbu dari Brimob dan menggantinya dengan pistol. Yang pasti, polisi akan dibebani tugas berat karena dalam menjalankan tugasnya mereka kelak akan dimonitor oleh Komite Keamanan Bersama. Sayangnya, komite ini baru akan dibentuk satu bulan lagi. Sekarang, semua pihak harus mengandalkan rasa saling percaya saja, tak ada yang ingin melanggar kesepakatan yang diteken juru runding pemerintah Indonesia, Wiryono Sastrohandojo, dan wakil GAM, Zaini Abdullah. Meski begitu, di lapangan, baik GAM maupun TNI/Polri tampak antusias menyambut kesepakatan damai. Mereka tak perlu harus selalu waspada dengan senjata terkokang di tangan. Bahkan truk-truk aparat yang lewat tidak ngebut seperti biasanya. Tak ada lagi aparat berwajah garang yang mengacungkan moncong senjatanya di dalamnya. Pos penjagaan yang berderet sepanjang Banda Aceh-Lhokseumawe memang masih ada. Tapi penjaganya tak lagi menghentikan setiap kendaraan yang dicurigai dan menanyakan identitas penumpang. Lambaian tangan, yang jadi syarat jika ingin melintas tanpa dicurigai, kini malah tak dibalas lagi. Mereka sibuk main catur. Soalnya sekarang tak ada yang perlu dicurigai lagi. Tidak ada musuh, semua saudara. Keinginan berdamai tak cuma milik TNI/Polri. GAM juga serius menanggapi butir-butir perjanjian Jenewa. Hanya tiga jam setelah perjanjian diteken, seluruh pasukan kelompok separatis ini ditarik dari titik-titik penyerangan. Tindakan ini disampaikan juru bicara sayap militer GAM, Sofyan Daud, kepada wartawan, Rabu lalu. Konferensi pers kali ini lain dari biasanya. Soalnya, wartawan tak lagi diputar-putar sebelum sampai di lokasi, pemeriksaan pun tak ketat lagi. Bahkan, usai kegiatan, Sofyan mengajak mereka minum kopi di kedai pinggir jalan. Dengan santai, pria kelahiran 1969 ini tampil di muka umum tanpa pengawalan ketat. Seperti TNI, GAM juga mengeluarkan perintah melarang anak buahnya menyerang. Perubahan ini membuat masyarakat Aceh bergairah lagi. Warga Kota Lhokseumawe, misalnya. Sebelum perjanjian, mereka langsung menghentikan kegiatan di luar rumah bila matahari terbenam. Sekarang, kehidupan malam di sana mulai hidup lagi, pusat penjualan jajanan di tengah kota dipenuhi pengunjung sampai larut malam. Suasana serupa juga ditemui di desa-desa. Rasa cemas yang selalu dirasakan warga sipil ini mulai berkurang. Cut Nyak Meutia, warga Desa Alue Awe, Aceh Utara, berharap kedamaian ini bisa abadi. Selama ini Aceh Utara dikenal sebagai wilayah konflik terpanas di Aceh, selain Aceh Timur dan Pidie. "Jangan lagi ada perseteruan senjata. Biar kita semua bisa hidup tenang seperti dulu," kata perempuan berusia 28 tahun ini. Yang pasti, perjanjian Jenewa hanyalah langkah awal. Tujuannya baru menghentikan permusuhan di Aceh yang menyengsarakan warga sipil. Masih banyak perjanjian lain yang harus diteken sebelum mencapai perdamaian yang sesungguhnya. Tjandra D., Zainal Bakri, Yuswardi A. Suud (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus