Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOMMY Soeharto "merayakan" Lebaran di penjara Nusakambangan pada 3 Syawal, bukan 1 Syawal. Punya mazhab sendiri? Bukan. Pada 1 Syawal, dia hanya ikut salat Ied, lalu seharian mengurung diri di kamar. Sepi. Murung. Tidak seorang pun keluarganya datang. Tapi dua hari kemudian, anak kesayangan Soeharto itu tampak benar-benar sumringah. Hari Selasa pekan lalu itu datanglah dua buah hatinya: Dharma Mangku Luhur dan Aya, diantar dua tante mereka, Titiek dan Mamiek Soeharto. Berlebaranlah Tommy hari itu. Aneka rupa makanan dibawa dari Jakarta, tak ketinggalan pisang raja dan pisang ambon kesukaan sang narapidana berusia 41 tahun ini.
Tamu-tamu penting dari Cendana itu berangkat dengan pesawat kecil dari Jakarta. Setelah sampai di Bandara Tunggul Wulung, Cilacap, mereka diangkut dengan perahu ke Nusakambangan. Perjalanan disambung dengan mobil Kijang yang khusus disediakan Tommy untuk tamu-tamunya. Bob Hasan—sobat penting Soeharto—ikut pula menemui tamu Cendana itu. Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Batu, Soemantri, semula sebenarnya mantan presiden Soeharto akan ikut berkunjung. "Namun, karena sibuk menerima tamu di Cendana, terpaksa tak bisa datang," katanya. Tata, istri Tommy, juga tidak kelihatan hari itu.
Toh sinar bahagia Tommy tidak berkurang. Ia langsung memeluk anak-anaknya. Ini memang kunjungan yang langka sejak Tommy menginap di Nusakambangan mulai Agustus lalu. Selama tiga jam pertemuan, sejak pukul 11 siang, Tommy kerap memeluk kedua anaknya. Obrolan terdengar diselingi suara-suara Tommy mengingatkan anaknya yang terus bermain dalam ruangan khusus tamu—yang sengaja dibuat untuk Tommy. Sesekali mereka bergelayutan manja dan didekap hangat oleh Tommy. "Mungkin karena kangen," komentar Soemantri, yang tak ikut nimbrung dalam obrolan anggota keluarga itu. Yang kelihatan, Bob Hasan banyak bercerita tentang pengalamannya berlebaran di penjara selama ini.
Tommy, terpidana 15 tahun dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita itu, berbeda 180 derajat dengan hari-hari sebelumnya. Sejak salat Ied di Masjid At-Taubah di kompleks Lembaga Pemasyarakatan Batu, Jumat dua pekan lalu, ia terus menutup diri. Pagi menjelang salat, entah mengapa, ia memilih duduk di ujung barisan saf kedua. Padahal, Bob Hasan dan pimpinan LP menunggunya di saf depan. Usai salat, saat halal bihalal, ia bergegas kembali ke selnya dan mengacuhkan puluhan wartawan yang sengaja datang ingin melihatnya. Meski juga namanya kemudian (termasuk Bob Hasan) diumumkan mendapat remisi satu bulan, ia tetap cuek.
Wartawan foto yang ingin menjepretnya juga kecewa, karena Tommy selalu memalingkan muka saat lampu kamera menyala. Satu dua uluran tangan dari napi lain juga disambutnya dengan dingin. Hanya segaris senyum tipis mengembang ketika Soemantri menyodorkan tangan menyalaminya.
Lain dengan Bob Hasan, 71 tahun. Sejak awal Bob kelihatan lebih happy. Ia dengan ramah "menjamu" tamu-tamunya dan puluhan wartawan dari pagi sampai siang, meskipun beberapa hari sebelumnya ia baru mendapat kabar bahwa Pertiwi Hasan, istrinya, sedang sakit di Australia. Dengan baju takwa lengan panjang hijau dan celana jins cokelat, Pak Bob—demikian dia akrab disapa di situ—sibuk memperlihatkan karya batu akik, batu hias, dan batu tasbih. Harap maklum, ia kini investor bengkel akik narapidana.
Bob bahkan tak canggung memajang beberapa batu hasil produksi bengkel napi di ruangan Kepala Keamanan LP Batu dan memamerkannya kepada wartawan. "Semua napi di sini dipaksa bekerja supaya punya kesibukan, agar tidak bisa membuat keributan," ujar Bob, yang dipenjara delapan tahun karena kasus korupsi pemetaan hutan PT Mapindo Parama.
Bob Hasan memang terlihat sudah mampu beradaptasi dengan Nusakambangan. Setahun lalu dia masih terlihat tertutup dan enggan berbincang dengan wartawan. Tapi sekarang Bob sangat akrab, cair, dan bicara ceplas-ceplos seperti tanpa beban. Ia seakan "lupa" bahwa dirinya ada di LP Batu Nusakambangan, yang dulu terkenal sangat angker.
Menurut Bob, banyak hal dia lakukan di Nusakambangan untuk membuat hari-harinya menjadi lebih ringan. Misalnya saja merenovasi dua masjid yang ada di luar LP Batu dan Masjid At-Taubah Batu, yang menelan biaya lebih dari Rp 80 juta. Fasilitas wc umum juga direhabnya. Kamar buang hajat yang tadinya penuh lumut kini kinclong dilapis porselen putih. Dinding tembok rumah tahanan juga ikut dibersihkan.
Di luar itu, satu peralatan gosok batu akik lengkap didatangkan oleh pria yang pernah dijuluki raja industrikayu lapis ini. Dengan peralatan tersebut, para napi menghabiskan waktu membuat kerajinan batu akik dan sejenisnya untuk dijual ke koperasi yang juga didirikan Bob Hasan. Bahan baku akik tak hanya diambil dari Nusakambangan, bahkan didatangkan juga dari tempat lain di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. "Namanya batu opsidian, batu kaca alam dari gunung berapi," tutur Bob.
Untuk mengolahnya diperlukan keterampilan. Bob mengaku perlu setahun untuk mengajari para napi agar terampil menggosok batu. Kini produk batu made in Nusakambangan itu mulai beraneka ragam. Ada batu cincin, batu hias vas bunga, akuarium, dan berbagai bentuk buah-buahan. Khusus untuk batu tasbih, produksinya bekerja sama dengan salah satu panti asuhan di Kota Cilacap. Untuk menunjang penjualannya, Bob bahkan membuat website bernama www. islandjewels.com. "Kita kan tidak bisa hanya memasarkan kepada tamu yang datang, orang lain juga butuh kenal. Kalau perlu sampai luar negeri," katanya bersemangat.
Menurut Budiono, napi kasus pembunuhan dan terhukum 18 tahun penjara, jorjoran Bob membuat mereka amat sungkan. "Ketika pertama kali datang, rasanya ingin sekali ngerjain dia. Sekarang jadi sungkan," kata pria yang badannya dipenuhi tato itu. Menurut dia, soal itulah yang membedakan Bob dengan Tommy. "Pak Bob mau bergaul dengan kami, sejak pertama kali datang," katanya.
Pernah ada perkelahian antarnapi, seorang di antaranya bersenjata tajam, dan di situ pengaruh Bob diuji. Pihak LP sudah tak mampu mengatasi. "Saya diminta memanggil napi tersebut," tutur Bob. Hanya dengan dua kali bentakan, si napi terbirit-birit kembali ke selnya dan menyerahkan senjatanya. "Gue cuma bilang… gue nggak main-main, cepat bawa kemari senjatanya atau elu selesai," tiru Bob dengan nada tinggi. "Padahal maksudnya selesai itu, ya sudah kalau tak mau memberikan senjatanya," kata Bob sambil terkekeh.
Adapun Tommy, menurut beberapa napi, menutup diri dan tak mau bergaul. Ia pun diberi fasilitas istimewa, berupa sel dan ruangan khusus. Sel Tommy (dan juga sel Bob) adalah bekas ruangan Admisi dan Orientasi LP, yang lebih mirip rumah daripada kamar penjara. Di depannya ada halaman seluas setengah halaman lapangan voli. Sebuah kolam ikan ukuran 3x4 meter dibuat di depan sel Tommy. "Ah, itu sih hanya untuk mengusir nyamuk," kata Soemantri.
Sebuah ruang tamu juga dibangun khusus untuk Tommy. Ruangan itu bahkan diberi saluran khusus IndoVision. "Memang ada saluran tv khusus, tapi itu untuk ditonton ramai-ramai dengan napi," ujar Soemantri. Meski begitu, Tommy tetap aman. Karena sel Tommy—yang satu rangkaian dengan sel Bob—dipisahkan oleh lapangan dan dihalangi lima pintu besi dari sel napi lain. Selain itu, ada beberapa anak buah Tommy yang sengaja dikontrakkan rumah di Cilacap. Mereka selalu siap mengamankan tuannya.
Bob sendiri mengaku jarang berbicara dengan Tommy. Hanya sesekali memberi nasihat. Kenapa? "Kan sudah ada petugas khusus penjara untuk tugas itu," katanya beralasan. Tommy, katanya, memang lebih sering menghabiskan waktu di ruangannya dengan membaca atau mengurusi kolam ikannya.
Entah apa yang ada dalam pikiran anak Soeharto itu….
Arif A. Kuswardono, Ecep Suwardani Yasa, Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo