Jakarta setelah Lebaran ini bukan saja lebih lengang dari biasanya, tetapi juga lebih sepi dari para pengemis. Padahal pada bulan Ramadan lalu, para pengemis itu bak laron yang memenuhi lampu neon. Laron itu datang bergerombol tepercik sinar, lalu terbang menjauh setelah Lebaran lewat.
"Laron" itu ada yang bernama Susana Wati, 38 tahun. Wanita Karawang ini tahu benar, pada bulan Ramadan pintu hati warga Jakarta, yang biasanya pekat tertutup, akan membuka. Dari mereka, gemerincing recehan akan mengucur ke tangannya. "Bulan Puasa orang senang bersedekah," katanya.
Ketika itu ia duduk di tangga stasiun kereta api Cikini, menengadahkan tangan ke arah penumpang kereta yang turun berjejal. Ia mengenakan kaus oblong kumal dan rok sewarna debu stasiun. Rambutnya berjelaga, wajahnya seperti orang yang baru terbangun dari jalanan: hitam dan tercoreng-moreng oleh tanah.
Itu adalah hari Kamis, 28 November, hari ke-23 bulan Puasa. Sejak pukul delapan pagi Wati sudah di situ. Pada pukul dua siang, ia sudah mengantongi Rp 20 ribu. Seorang pria bahkan menyelipkan selembar duit lima ribuan seusai membeli parsel Lebaran di lantai bawah stasiun. "Tinggal tiga hari lagi saya di sini. Setelah itu saya ikut kereta pulang ke Karawang," katanya.
Sudah sejak empat tahun silam, Wati rutin ke Jakarta. Mula-mula, putri pekerja bengkel motor di Karawang ini diajak seorang wanita tua tetangganya yang kini sudah meninggal. "Waktu itu ada kabar, orang Jakarta suka bagi-bagi rezeki di bulan Puasa. Jadi saya ikut dia," kata Wati. Ia senang karena di Karawang pun ia tak punya apa-apa. Ia hanya seorang janda yang tak punya pekerjaan, sekolah pun hanya sampai kelas dua sd.
Ternyata bukan hanya mereka berdua yang berangkat ke Ibu Kota tiga hari sebelum Puasa, tapi ada belasan wanita dan anak-anak bersama mereka dalam sebuah bus yang dibayar seorang calo. Setiba di Jakarta, Wati diturunkan di sebuah rumah petak di daerah Pasar Minggu. Sejak itu, Wati menjadi pengemis. Setiap subuh, Wati bersalin pakaian dengan baju rombeng, lalu diantar dengan mobil ke perempatan Pasar Minggu. Pada malam hari, ia dijemput.
Setiap malam seusai mengemis, uang hasil meminta-minta itu dihitung, sebagian diserahkan ke calo yang ia panggil bos. "Namanya tidak tau. Kita manggilnya bos," katanya. Begitu setiap hari. Dan sepekan sebelum Lebaran, biasanya Wati sudah pulang ke Karawang.
Pada bulan Ramadan setahun silam, Wati masih ke Jakarta bersama calo. Tapi tahun ini ia memilih datang sendiri. Istilah kerennya, ia sudah jadi pengemis mandiri. "Saya sudah mengenal jalan di Jakarta. Kalau datang sendiri mah uangnya tak perlu saya setor ke bos," katanya. Ia pun memilih lokasi baru: Stasiun Cikini.
Di sudut Jakarta yang lain, di perempatan lampu merah depan Stasiun Kota, Ririn tersaruk-saruk di antara kendaraan yang berhenti. Wanita paruh baya yang tengah hamil muda ini memegang cawan plastik untuk menadah recehan orang-orang bermobil.
Ia datang dari Indramayu, Jawa Barat. Ia baru saja ditinggal suaminya. "Di kampung saya punya rumah. Saya sebenarnya datang untuk memulung. Tapi ini kan bulan Puasa," katanya. Ia enggan disebut pengemis.
Ririn sangat dikenal para petugas ketertiban karena kerap digaruk. "Dia itu pengemis yang sudah kronis. Digaruk, ditahan, dibina, lalu dilepas. Eh, Puasa tahun depan digaruk lagi," kata Ninkroem, staf di Panti Sosial Bangun Daya, Kedoya, Jakarta Barat. Sampai-sampai, kendati hanya datang setahun sekali, Ririn sudah dianggap keluarga oleh para petugas di panti yang menjadi tempat penampungan sementara para gelandangan dan pengemis wilayah Jakarta Pusat dan Barat.
Lebaran ini, Ririn kembali ke Indramayu. Di sana kedua orang tuanya adalah haji yang cukup terpandang. Untuk mereka Ririn membawa buah tangan berupa kerudung dan baju koko. Sisa hasil mengemisnya masih banyak. "Saya tabung di Bank BNI Kota," katanya sembari tertawa cekikikan.
Wati dan Ririn hanya dua dari ribuan laron Ibu Kota yang datang bergerombol pada bulan Puasa. Menurut data Kantor Bina Mental-Spiritual dan Kesejahteraan Sosial (BMKS) Jakarta, sepekan pertama bulan Ramadan sekitar 6.000 pengemis baru datang ke Jakarta. "Mereka datang dari daerah di sepanjang pantai utara Jawa," kata Djoko Haryanto, Kepala Sub-Dinas Resosialisasi Tuna-Sosial BMKS Jakarta.
Mereka terserak di segenap pelosok Ibu Kota: perempatan jalan, masjid, kuburan, pasar, stasiun kereta, dan terminal angkutan kota, juga gang-gang perumahan warga. Mereka tinggal di emperan-emperan bangunan tua, stasiun, kolong jembatan, pinggiran kanal, bahkan di kamar kontrakan sederhana. Dalam hitungan BMKS Jakarta, terdapat 230 lokasi penyebaran pengemis di Ibu Kota. "Tidak semuanya miskin. Ada yang menjadikan kegiatan meminta-minta ini sebagai rutinitas Ramadan saja," kata Djoko.
Kedatangan para pengemis musiman di Ibu Kota ini, menurut Djoko, sebenarnya sudah dihadang dengan razia yang setiap hari digelar aparat penertiban umum. Tapi, ya, namanya juga laron, satu tertangkap, yang lain datang merubung. Mereka yang tergaruk razia dikirim ke dua panti sosial, di Cipayung dan Kedoya, lalu dikembalikan ke daerah masing-masing.
Ramadan tahun ini, kata Djoko, ada pergeseran pola kedatangan pengemis di Ibu Kota. "Mereka tidak lagi datang dengan calo, tapi sudah individual," katanya. Dengan jalan sendiri, mereka bisa memperoleh penghasilan sekitar Rp 50 ribu sehari pada bulan Ramadan. Bayangkanlah kalau sebulan, melebihi upah buruh pabrik.
Para pengemis musiman ini rupanya kian sadar, bekerja di bawah sindikat calo hanya memperkaya para bos. "Mereka itu hanya tahu mengeksploitasi para pengemis, hanya mau mengambil keuntungan. Ada unsur premannya di situ," tutur Lilis Irawati, Ketua Yayasan Mutiara Hikmah, kepada Wuragil dari Tempo News Room.
Lilis, yang sudah lima tahun mengurusi anak-anak jalanan, di antaranya pengemis, tahu betul betapa para pengemis ini telah memperkaya segelintir orang di Jakarta. "Yang namanya induk semang itu punya proyek setahun dua kali: Lebaran dan Lebaran Haji. Para pengemis itu didatangkan dan dipulangkan. Begitu terus," katanya.
Sendirian atau ikut sindikat, toh para pengemis tetap saja menjadi pemandangan yang mengganggu pada bulan Ramadan setiap tahun. Penertiban dan razia bukan jalan keluar. Apalagi daya tampung dua panti sosial untuk pengemis di Jakarta tak sebanding dengan banyaknya pengemis.
"Maraknya pengemis ini terkait dengan pembangunan yang bersifat makro," kata Djoko Haryanto. Mungkin ia benar, terutama menyangkut soal yang teramat timpang: gemerlapnya Jakarta dan surutnya kehidupan ekonomi di daerah. Dengan kata lain, keadaanlah yang memaksa mereka menjelma menjadi laron-laron Ibu Kota. Solusinya? Bangun pedesaan.
Tomi Lebang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini