ADA semacam frustrasi. Keesaan Gereja, yang sudah lebih 30 tahun
diidamkan, ternyata belum beranjak jauh dari sekedar slogan.
Ketika sidang Badan Pekerja Lengkap (BPL) Dewan Gereja-gereja di
Indonesia (DGI) berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Februari
sampai 6 Maret, memang diharap segala pikiran akan sudah lebih
sepakat ke arah penyatuan gereja-gereja Protestan itu. Sehingga,
seperti dikatakan Dr. Latuihamallo, salah seorang ketua DGI,
dalam Sidang Raya ke-10 di Ambon nanti bisa diproklamasikan
terbentuknya 'Gereja Kristen yang Esa' di Indonesia.
Tapi harapan masih jauh, ternyata. Padahal pembicaraan kali ini,
yang berstatus formal, sudah merupakan kelanjutan pembicaraan
dalam sidang konsultasi theologi yang kurang formal--Januari
yang lalu di tempat yang sama.
Sidang ini sendiri sebenarnya membicarakan tiga bab: keesaan
Gereja, 'surat penggembalaan' dalam menghadapi Pemilu 1982, dan
masalah kemarldirian gereja-gereja di Indonesia dalam hal daya
dan dana. Para peserta, berjumlah 115 orang terdiri dari
pimpinan 53 GereJa serta para ketua Dewan Gereja Wilayah (DGW)
dan utusan sinode, segera mencapai kebulatan dalam bab kedua.
Bisa ditelurkan 'surat penggembalaan' yang, pokoknya,
menganjurkan umat turut serta dalam pemilu. Tapi dalam bab
pertama itulah, keesaan, terjadi hambatan. Dan ini tidak urung
berkaitan pula dengan bab ketiga: daya dan dana.
Sinode Nasional
Sudah sejak semula sebenarnya disadari, masalah identitas
masing-masing Gereja di Indonesia sangat menonjol. Dan ini tak
lain identitas kesukuan. Sehingga "hukum adat seolah-olah hukum
Gereja", seperti dikatakan Th. Sumartana S.Th, kolumnis dan
orang Lembaga Penelitian dan Studi (LPS) DGI. Ciri ini memang
kurang kentara pada "gerejagereja negara" (staatskerk) yang
didirikan dan atau diatur pemerintah Belanda dahulu, seperti
gereja-gereja di Indonesia Timur atau Minahasa misalnya. Tapi
sebaliknya pada Gereja-gereja yang dikenal sebagai 'Gereja
suku'. Misalnya saja Gereja Kristen Jawa (GKJ) atau Batak (HKBP,
Huria Kristen Batak Protestan.
Ds. P.M. Sihombing M.Th., Sekjen HKBP, kepada TEMPO menyatakan
terus-terang belum siap untuk proklamasi di Ambon itu. Alasannya
bagus juga. "Jauh lebih bernilai," katanya, "kalau roh keesaan
itu dijiwai dulu oleh jemaat." Sihombing yakin, sebenarnya bukan
soal kesukuan yang selama ini menghambat keesaan itu. Melainkan
soal waktu. "Kami tak bermaksud menghambat tujuan DGI," katanya.
Apalagi HKBP salah satu anggota DGI terpenting, dengan jemaah
paling besar -- 1,7 juta. Masalahnya, lalu apa saja yang telah
dikerjakan Gereja-gereja sejak berdirinya DGI pada 1950, dalam
soal keesaan yang sudah mereka setujui sejak semula?
Kenyataan memang, seperti dikatakan Ny. Agustine Lumentut M.
Th., pendeta dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah, "para pendeta
sendiri sebenarnya belum oikoumene minded." Belum bergairah
besar ke arah penyatuan.
Itu memang boleh disangka sebagai bukti kurang seriusnya para
pimpinan mereka. Tapi juga karena gereja Protestan, seperti juga
dikatakan Dr. Fridolin Ukur dari LPS --DGI, dari aman Belanda
dulu memang tumbuh sendiri-sendiri, dengan pusat masing-masing
di luar negeri. Sedang gagasan keesaan itu tak lain semacam
'buahkesadaran' dalam rangka kesatuan antarsuku dan kelompok
tidak begitu lama sesudah kemerdekaan. DGI kemudian mencatat
prestasi besar dalam merukunkan dan membina kerjasama
Gereja-gereja yang gampang bertengkar itu.
Tapi yang diidamkan tak hanya itu. Gereja yang Esa itu akan
berarti, nantinya, sekumpulan besar gereja Protestan,
masing-masing dengan sinode (dewan agama) sendiri-sendiri, di
bawah satu sinode nasional. Nah, sinode nasional inilah yang
benar-benar baru--yang bahkan tidak ada di kalangan Protestan di
mana-mana, selain di sini. Apalagi bentuk hirarkis nasional itu
nanti juga berhubungan dengan masalah dana masing-masing Gereja.
Sebab, dalam rangka melepaskan diri dari sikap bergantung pada
bantuan luar negeri (yang dibicarakan sebagai bab ketiga dalam
sidang) maka Gereja yang Esaitu logis akan harus saling membantu
di dalam tubuhnya sndiri. Dan ini, terus terang saja, tak lain
berarti "ancaman" bagi Gereja-gereja yang besar dan kaya, yang
harus membantu Gereja-gereja miskin yang kadang di sana-sini
punya perbedaan theologis pula. Paling tidak itulah yang
dikatakan seorang pemimpin gereja besar--yang justru menyetujui
bentuk keesaan yang diinginkan-sebagai salah satu penghambat, di
samping soal kesukuan. Jadi, berapa panjang lagikah jalan ke
arah proklamasi?
Sidang Raya Ambon dua tahun lagi boleh menjawab. Hanya, bila
proklarnasi akan dipaksakan juga, sementara sebagian
anggota--apalagi gereja penting-merasa (atau menyatakan) belum
siap "membenahi yang di dalam", perpecahan mungkin merupakan
konsekuen. Atau DGI akan mundur kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini