Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Frustasi di jalan proklamasi

Sidang badan pekerja lengkap (bpl) dgi di sukabumi, membicarakan keesaan gereja, surat penggembalaan dalam menghadapi pemilu 1982 & masalah kemandirian gereja-gereja di indonesia dalam hal daya & dana.(ag)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Frustasi di jalan proklamasi
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADA semacam frustrasi. Keesaan Gereja, yang sudah lebih 30 tahun diidamkan, ternyata belum beranjak jauh dari sekedar slogan. Ketika sidang Badan Pekerja Lengkap (BPL) Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, 26 Februari sampai 6 Maret, memang diharap segala pikiran akan sudah lebih sepakat ke arah penyatuan gereja-gereja Protestan itu. Sehingga, seperti dikatakan Dr. Latuihamallo, salah seorang ketua DGI, dalam Sidang Raya ke-10 di Ambon nanti bisa diproklamasikan terbentuknya 'Gereja Kristen yang Esa' di Indonesia. Tapi harapan masih jauh, ternyata. Padahal pembicaraan kali ini, yang berstatus formal, sudah merupakan kelanjutan pembicaraan dalam sidang konsultasi theologi yang kurang formal--Januari yang lalu di tempat yang sama. Sidang ini sendiri sebenarnya membicarakan tiga bab: keesaan Gereja, 'surat penggembalaan' dalam menghadapi Pemilu 1982, dan masalah kemarldirian gereja-gereja di Indonesia dalam hal daya dan dana. Para peserta, berjumlah 115 orang terdiri dari pimpinan 53 GereJa serta para ketua Dewan Gereja Wilayah (DGW) dan utusan sinode, segera mencapai kebulatan dalam bab kedua. Bisa ditelurkan 'surat penggembalaan' yang, pokoknya, menganjurkan umat turut serta dalam pemilu. Tapi dalam bab pertama itulah, keesaan, terjadi hambatan. Dan ini tidak urung berkaitan pula dengan bab ketiga: daya dan dana. Sinode Nasional Sudah sejak semula sebenarnya disadari, masalah identitas masing-masing Gereja di Indonesia sangat menonjol. Dan ini tak lain identitas kesukuan. Sehingga "hukum adat seolah-olah hukum Gereja", seperti dikatakan Th. Sumartana S.Th, kolumnis dan orang Lembaga Penelitian dan Studi (LPS) DGI. Ciri ini memang kurang kentara pada "gerejagereja negara" (staatskerk) yang didirikan dan atau diatur pemerintah Belanda dahulu, seperti gereja-gereja di Indonesia Timur atau Minahasa misalnya. Tapi sebaliknya pada Gereja-gereja yang dikenal sebagai 'Gereja suku'. Misalnya saja Gereja Kristen Jawa (GKJ) atau Batak (HKBP, Huria Kristen Batak Protestan. Ds. P.M. Sihombing M.Th., Sekjen HKBP, kepada TEMPO menyatakan terus-terang belum siap untuk proklamasi di Ambon itu. Alasannya bagus juga. "Jauh lebih bernilai," katanya, "kalau roh keesaan itu dijiwai dulu oleh jemaat." Sihombing yakin, sebenarnya bukan soal kesukuan yang selama ini menghambat keesaan itu. Melainkan soal waktu. "Kami tak bermaksud menghambat tujuan DGI," katanya. Apalagi HKBP salah satu anggota DGI terpenting, dengan jemaah paling besar -- 1,7 juta. Masalahnya, lalu apa saja yang telah dikerjakan Gereja-gereja sejak berdirinya DGI pada 1950, dalam soal keesaan yang sudah mereka setujui sejak semula? Kenyataan memang, seperti dikatakan Ny. Agustine Lumentut M. Th., pendeta dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah, "para pendeta sendiri sebenarnya belum oikoumene minded." Belum bergairah besar ke arah penyatuan. Itu memang boleh disangka sebagai bukti kurang seriusnya para pimpinan mereka. Tapi juga karena gereja Protestan, seperti juga dikatakan Dr. Fridolin Ukur dari LPS --DGI, dari aman Belanda dulu memang tumbuh sendiri-sendiri, dengan pusat masing-masing di luar negeri. Sedang gagasan keesaan itu tak lain semacam 'buahkesadaran' dalam rangka kesatuan antarsuku dan kelompok tidak begitu lama sesudah kemerdekaan. DGI kemudian mencatat prestasi besar dalam merukunkan dan membina kerjasama Gereja-gereja yang gampang bertengkar itu. Tapi yang diidamkan tak hanya itu. Gereja yang Esa itu akan berarti, nantinya, sekumpulan besar gereja Protestan, masing-masing dengan sinode (dewan agama) sendiri-sendiri, di bawah satu sinode nasional. Nah, sinode nasional inilah yang benar-benar baru--yang bahkan tidak ada di kalangan Protestan di mana-mana, selain di sini. Apalagi bentuk hirarkis nasional itu nanti juga berhubungan dengan masalah dana masing-masing Gereja. Sebab, dalam rangka melepaskan diri dari sikap bergantung pada bantuan luar negeri (yang dibicarakan sebagai bab ketiga dalam sidang) maka Gereja yang Esaitu logis akan harus saling membantu di dalam tubuhnya sndiri. Dan ini, terus terang saja, tak lain berarti "ancaman" bagi Gereja-gereja yang besar dan kaya, yang harus membantu Gereja-gereja miskin yang kadang di sana-sini punya perbedaan theologis pula. Paling tidak itulah yang dikatakan seorang pemimpin gereja besar--yang justru menyetujui bentuk keesaan yang diinginkan-sebagai salah satu penghambat, di samping soal kesukuan. Jadi, berapa panjang lagikah jalan ke arah proklamasi? Sidang Raya Ambon dua tahun lagi boleh menjawab. Hanya, bila proklarnasi akan dipaksakan juga, sementara sebagian anggota--apalagi gereja penting-merasa (atau menyatakan) belum siap "membenahi yang di dalam", perpecahan mungkin merupakan konsekuen. Atau DGI akan mundur kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus