MUNCUL sebagai saksi a de charge dalam persidangan yang memeriksa A.M. Fatwa, pekan lalu, bekas gubernur Jakarta ini kembali mengundang kedatangan banyak orang. Meski tidak sebanyak seperti dalam sidang H.R. Dharsono, tiga pekan lalu, toh masih lebih dari seribu orang mengelu-elukannya ketika ia datang, dan menyerbunya tatkala meninggalkan gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kehadiran Ali sebagai saksi a de charge sebetulnya agak mengagetkan karena pekan sebelumnya majelis hakim dengan tegas telah menolaknya. Alasan yang jelas tidak pernah diungkapkan hakim, yang cuma menyebutkan: Majelis hakim berhak menyeleksi saksi. Hal ini ditentang tim pembela, yang menuntut agar sidang ditunda sampai Mahkamah Agung mengeluarkan fatwanya. Ketika hakim bersikeras meneruskan sidang, tim pembela memprotes dan meninggalkan sidang. Terdakwa A.M. Fatwa akhirnya ikut meninggalkan sidang, hingga sidang tanpa terdakwa dan pembela itu terpaksa ditunda. Menurut Hakim Ketua B.E.D. Siregar seusai sidang, kesaksian Ali Sadikin disetujuinya, "Karena permohonan terdakwa A.M. Fatwa sendiri, sebab saksi pernah menjadi atasannya langsung. Itu dasar utamanya." Sedangkan penolakan sebelumnya karena permintaan pembela untuk menghadirkan Ali Sadikin khusus untuk menjelaskan soal "Lembaran Putih". Majelis hakim berpendapat, kesaksian untuk "Lembaran Putih" sudah dianggap cukup dengan kesaksian Suyitno Sukirno, H.R. Dharsono, dan Erlangga. Di awal kesaksiannya, Ali Sadikin menjelaskan hubungannya dengan Fatwa, yang menjadi sekretaris pribadinya setelah ia berhenti sebagai gubernur Jakarta. "Dia itu kalau bekerja seperti kuda, tak mengenal lelah, maka saya senang sama dia. Hubungan saya dengan Fatwa pun dekat, seperti kakak dan adik sendiri," katanya. Dengan bersemangat Ali menguraikan masa muda Fatwa. Ia menggambarkan Fatwa sebagai pemuda yang jujur, apa adanya, aktif di PII dan Muhammadiyah, dan pada 1958 sudah mendirikan forum antikomunis. "Jauh sebelum komunis dibubarkan, Fatwa itu sudah antikomunis. Dan yang lebih penting, Fatwa itu termasuk salah seorang penanda tangan berdirinya Sekber Golkar, induknya Golkar. Apakah sekarang ini Fatwa anggota Golkar, saya tidak tahu," kata Ali, disambut tertawa dan keplok pengunjung, di dalam dan di luar ruang sidang. Di Pemda DKI Jakarta, Fatwa bekerja sejak 1970-an, bekerja pada Subdirektorat Sosial Politik dan aktif dalam tim pembinaan rohani. Jasa besar Fatwa, kata Ali lebih lanjut, adalah keberhasilannya mendekatkan Ali Sadikin dengan para ulama yang meneritang kebijaksanaannya membangun Jakarta dengan uang hasil judi dan klub malam. ALI Sadikin lantas bermaksud menjelaskan soal "Lembaran Putih", tapi hakim ketua mencegah. Ali Sadikin merajuk. "Harus boleh. Saya wajib menjelaskan tentang Lembaran Putih yang ditandatangani di rumah saya, yang, menurut jaksa, katanya rumah gelap. Biarlah saya jelaskan, untuk meluruskan berita, agar hakim juga sreg dalam memberikan keputusan nanti." Akhirnya ketua majelis menyetujui. "Silakan, Bapak Ali," kata B.E.D. Siregar. Penjelasan Ali Sadikin tak banyak berbeda dengan kesaksiannya dalam perkara Dharsono. Bukan cuma kehadiran Ali Sadikin yang menarik perhatian dalam rangkaian persidangan yang berkaitan dengan Peristiwa Tanjung Priok. Sejumlah saksi lain, juga terdakwa, melakukan hal yang juga menarik. Rektor PTDI, Prof. Oesmany Al Hamidy, misalnya, menolak didampingi pembela (lihat: Box). Terdakwa Tony Ardie, dua pekan lalu, juga mengejutkan hadirin ketika, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, ia menyatakan pasrah dan menyerah pada majelis hakim. Tony, 32, dalam surat terbuka yang dibacakannya, menyatakan "Tolonglah, Pak. Saya betul-betul sudah jera, kapok, mawas diri, introspeksi, dan pasrah total. Saya menyadari sepenuhnya bahwa cara dan jalan yang saya tempuh selama ini keliru." Ia lalu minta agar jaksa meringankan perkaranya seringan-ringannya. Yang juga sangat menarik adalah kesaksian Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara, Letkol A. Butarbutar, dalam persidangan Dharsono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pekan lalu. Kesaksiannya mengungkapkan lebih jelas sikap Kodim 0502 pada 12 September 1984, tatkala ribuan massa yang dipimpin Amir Biki mendatangi Polres Jakarta Utara. Menurut Butarbutar, setelah mendengar laporan adanya ancaman massa untuk menyerbu Polres, ia memerintahkan Kapten Sriyanto, Kasi II Operasi Kodim Jakarta Utara, memimpin satu regu pasukan untuk membantu Polres Jakarta Utara. Ia kemudian dilapori, ribuan massa dengan membawa senjata tajam dan bendera hijau, serta berteriak histeris, datang menyerbu. Sekitar pukul 23.00 ia mendengar tembakan dari arah Polres. Belakangan ia menerima laporan, ada 31 orang yang menjadi korban, termasuk yang luka dan pingsan. Tiga hari kemudian, korban bertambah menjadi 53 orang, yang meninggal 9 orang. Timbulnya korban, kata Butarbutar menjawab pertanyaan hakim, karena massa nekat, menyerang petugas dan berani merebut senjata. Tembakan peringatan dan tembakan ke bawah, katanya, tak dipedulikan massa, hingga pasukan terpaksa menembak ke kaki massa. Mengapa bukan polisi yang turun tangan lebih dulu, bukan pasukan perang? Tanya pembela. "Saya tidak sempat berunding dengan polisi, jawab Butarbutar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini