Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Riset dan Teknologi dari Fraksi Partai Golkar, Ridwan Hisjam, mengusulkan penggalangan dana untuk membantu riset nasional. Salah satunya untuk dipakai pengembangan teknologi sel dendritik untuk pengobatan Covid-19 atau yang lebih dikenal sebagai vaksin Nusantara yang digagas bekas Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya bilang dalam rapat, saya siap Rp 10 juta, kalau semua anggota komisi mau menyumbang, sudah ada 500 juta,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis, 17 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ridwan, usulan itu dilontarkan karena ingin memajukan riset Indonesia. Ridwan mengaku prihatin dengan anggaran riset pengembangan vaksin Covid-19 yang sangat minim. Contohnya, lanjut dia, adalah dana pengembangan Vaksin Merah Putih di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang hanya Rp 11 miliar. “Dengan dana segitu, bagaimana riset kita maju?" ujarnya.
Ketika tawaran tersebut dilontarkan, lanjut Ridwan, Terawan tidak mau menerimanya. “Beliau bilang hanya butuh political will agar riset bisa terus berjalan,” katanya.
Sebelumnya, Komisi Riset dan Teknologi DPR menggelar rapat dengar pendapat umum bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Lembaga Eijkman, Konsorsium Vaksin, dan Terawan. Dalam rapat itu, Terawan menyebut tidak membutuhkan anggaran negara untuk mengembangkan vaksin Nusantara. “Yang saya butuhkan adalah good will dan political will,” ujarnya.
Menurut dia, penelitian sel dendiritik itu tak butuh banyak dana. Paling banyak, kata dia, dihabiskan untuk perbaikan laboratorium agar sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practice (GMP).
Sementara sisanya digunakan untuk pembelian kit vaksin Nusantara serta antigennya. "Sejauh ini dana yang dihabiskan sebesar Rp2 miliar, sumbernya dari urunan. Jadi tidak mahal mewujudkan Vaksin Nusantara itu," ujarnya.
Setelah dinyatakan tak lolos uji klinis, penelitian vaksin Nusantara yang digagas Terawan Agus Putranto harus dihentikan. Sebagai gantinya, Pemerintah menyepakati status penelitian sel dendritik SARS-CoV-2 berbasis pelayanan kepada pasien, riset tidak dapat dikomersialkan dan tidak membutuhkan persetujuan izin edar.
Hal ini tertuang dalam nota kesepahaman alias MoU antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 19 Maret lalu.
Nota kesepahaman ini tidak mengizinkan vaksin Nusantara lanjut ke tahap uji klinis. "Dengan kesepakatan tiga pejabat itu, sudah jelas di situ, tidak boleh uji klinis, aturan itu mengikat. Kalau kami taat, ya kami harus berhenti," ujar eks Menteri Kesehatan itu.
Untuk itu, Terawan meminta bantuan parlemen agar pemerintah meninjau ulang MoU tersebut. Ia mengklaim hasil uji klinik fase I oleh tim peneliti Universitas Diponegoro dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa imunitas vaksin Nusantara masih awet pada bulan ketiga pasca penyuntikkan.