Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Humas, Media, Pemerintah, dan Internasional Universitas Indonesia (UI) Arie Afriansyah menyatakan proses revisi disertasi yang perlu dilalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bukan hanya revisi yang bersifat redaksional, melainkan juga prosedural dan secara substantif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Prosedural artinya dalam proses penelitian mungkin saja perubahan-perubahan metodenya termasuk dalam mengambil data-data,” ujar Arie melalui pesan tertulis ketika dihubungi Kamis, 13 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun, kata dia, tahapan dan metode yang perlu direvisi bergantung pada keputusan para pembimbingnya. Begitu pula dengan waktu penyelesaiannya, bergantung pada kesepakatan pembimbing dan mahasiswanya.
“Sebagai informasi, pendidikan doktoral dapat ditempuh maksimal 12 semester,” ujar Arie menambahkan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Rektor UI Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Program Doktor pasal 25 ayat 2.
Sebelumnya, di dalam klarifikasi UI atas hasil rapat empat organ UI terkait dugaan pelanggaran etik mahasiswa, Arie menekankan bahwa status kemahasiswaan Bahlil hingga hari ini belum dinyatakan lulus. Hal tersebut, kata Arie, disebabkan disertasi sebagai pendukung kelulusan belum diterima oleh Empat Organ UI, artinya mahasiswa belum dinyatakan lulus.
Meski begitu, pernyataan tersebut bertentangan dengan rilis Universitas Indonesia yang dikeluarkan 16 Oktober 2024. Rilis yang disampaikan di situs web UI, ui.ac.id, menyebut bahwa Bahlil Lahadalia lulus dari Sidang Promosi doktor dari SKSG UI setelah mempertahankan disertasi bertajuk “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia” dalam Sidang Promosi Doktor yang berlangsung di Makara Art Center (MAC) UI.
Mengklarifikasi hal tersebut, Arie menjelaskan bahwa kelulusan yang dimaksud dalam rilis tersebut merupakan kelulusan sidang promosi doktor. Sementara, hal itu hanya salah satu bagian dari kelengkapan persyaratan kelulusan doktoral.
“Dalam berita di atas, disampaikan bahwa mahasiswa Bahlil memang faktanya saat itu dinyatakan lulus sidang promosi doktor, bukan kelulusan dan meraih gelar doktor,” tuturnya.
Arie melanjutkan, keputusan kelulusan seorang mahasiswa dari program doktoral adalah melalui sidang yudisium. Dalam kasus Bahlil, setelah sidang promosi doktor, terdapat keputusan empat organ yang menunda agenda sidang yudisium dan meminta agar disertasi Bahlil melalui proses revisi terlebih dulu, mengingat terjadinya pelanggaran etik.
Adapun sebelum melalui sidang yudisium, mahasiswa doktoral perlu memenuhi dua kriteria, yakni diselesaikannya revisi disertasi dan adanya publikasi ilmiah. Sebagaimana diketahui, di samping revisi, sebagai persyaratan kelulusan Bahlil juga diminta untuk menambah bukti publikasi di jurnal internasional.
“Jadi, kelulusan final dari mahasiswa tersebut akan tergantung pada dua hal itu: selesainya revisi disertasi dan adanya publikasi ilmiah. Setelah itu, baru akan ada sidang yudisium yang akan menentukan kelulusan mahasiswa yang bersangkutan,” ujar Arie.