Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Kamisan menginjak tahun ke-18. Selama 18 tahun,tuntutan keadilan terus disuarakan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis kemanusiaan setiap Kamis di depan Istana Negara.
"Aksi Kamisan Depan Istana tetap membisu diruang keadilan. Selama 18 th para penguasa dan pengambil keputusan tertinggi yang tinggal didepan istana terus bisu dan tuli terhadap peluh juang kami keluarga korban. Hanya janji bohong dan pengkhianatan yang dihadirkan. Kami akan terus ada, jangan diam. Lawan!," kata Suciwati, salah seorang aktivis Aksi Kamisan, kepada Tempo.co, Rabu, 15 Januari 2025. Istri mendiang Munir, aktivis HAM yang dibunuh dalam penerbangannya ke Belanda beberapa tahun lalu, itu terus menuntut keadilan bagi kematian suaminya.
Aksi Kamisan 18 Tahun Lawan Impunitas
Konsistensi pengadaan Aksi Kamisan di depan Istana Negara tidak hanya menggambarkan kekalnya harapan atas keadilan bagi para korban, namun juga kegagalan pemerintah mengungkap kebenaran di balik tragedi hitam yang menghantui perjalanan Indonesia menuju emas.
Aksi Kamisan pada Kamis, 16 Januari 2025 tetap akan dilakukan sebagai wujud upaya menuntut keadilan hak asasi manusia yang terbungkam bertahun-tahun lamanya. Suciwati, yang membersamai pelaksanaan Aksi Kamisan dalam media sosial mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dan berjuang bersama dalam peringatan 18 tahun Aksi Kamisan.
“Mari kita ajak siapa pun yang sejalan dengan cita-cita keadilan ini untuk berdiri, mengangkat payung hitam sebagai simbol solidaritas dan keberanian,” kata Suciwati, “saatnya kita merapatkan barisan serta bersatu memperjuangkan hak asasi manusia yang seharusnya menjadi hak setiap rakyat.”
Peringatan 18 tahun Aksi Kamisan mengangkat slogan “Menolak Lupa Melawan Impunitas”. Impunitas jadi tema yang diangkat untuk memperingati 18 tahun Aksi Kamisan. Tema ini datang dari janji bohong dan penghianatan yang secara terang-terangan dilakukan oleh pemerintah, salah satunya lewat pengesahan Prabowo Subianto yang disebut lakukan pelanggaran HAM menjadi Presiden Indonesia ke-8.
Praktik impunitas dalam rezim pemerintahan Indonesia tampak dalam penolakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas terhadap keputusan Joko Widodo atas penerbitan Surat Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024. Keppres tersebut mengatur pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo.
“Dengan pernyataan majelis hakim tentang tidak adanya putusan pidana atas pelanggaran hak asasi manusia yang dalam hal ini menunjukkan bahwa Prabowo Subianto tidak pernah dinyatakan bersalah atas peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jane Rosalina pada Kamis, 7 November 2024 silam.
Keputusan hukum untuk tidak menindak Prabowo selaku pelaku pelanggaran hak mencederai harapan keluarga korban penculikan dan pembunuhan yang berjuang dalam Aksi Kamisan. Maka sampai datang hari saat peradilan menindak pelaku kejahatan, aksi mengangkat payung hitam terus dilaksanakan.
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kembali menggelar aksi Kamisan ke-825 menyuarakan isu Komitmen presiden menghentikan praktek impunitas diuji dalam persidangan PTUN Jakarta di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024. Pemberian pangkat kehormatan jenderal bintang 4 oleh Presiden Jokowi kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang saat ini adalah Presiden terpilih Indonesia 2024-2029, adalah bukti nyata kesenjangan dan keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam memperkuat Impunitas. TEMPO/Subekti
Penyalahgunaan Kekuasaan Melalui Impunitas
Dilansir dari laman Lembaga Studi dan Advokasi, impunitas merupakan fakta yang memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan, hukuman, dan kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Pemberian impunitas biasanya terjadi akibat adanya penolakan atau kegagalan pemerintah dalam mengambil maupun melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku kejahatan. Impunitas sejatinya berkonotasi negatif. Pemberian impunitas dapat dilakukan dengan memberikan ampunan terhadap dosa yang dilakukan pejabat pemerintah.
Impunitas termaktub dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016, Pasal 50 KUHP yang berbunyi, “Bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dapat dipidana.” Sementara itu, Pasal 51 Ayat 1 KUHP menjelaskan, “Bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, maka orang itu tidak dapat dipidana.”
Impunitas dalam peraturan perundang-undangan tidak secara bebas melegalkan seseorang untuk terlepas dari jeratan hukum. Akan tetapi, pemberian hak ini bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada para pejabat yang sedang menjalankan kewenangannya. Hal tersebut tentu menimbulkan celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang telah dilakukan terhadap pejabat yang merupakan pelaku pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu.
Ervana Trikarinaputri dan Muhammad Syaifulloh berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Penegakan HAM Indonesia Memasuki Dark Ages of Human Rights, Apa Itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini