Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban untuk teka-teki siapa yang akan menggantikan Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia mulai tampak jelas. Ahad dua pekan lalu, nama itu sampai ke Ketua DPR RI Agung Laksono. Dia tak lain adalah Marsekal Djoko Suyanto.
Kabar perihal kemungkinan naiknya Djoko Suyanto sebagai panglima itu agaknya bukan kejutan. Seminggu sebelumnya, nama Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) tersebut sudah nyaring terdengar akan diusulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Toh, pertanyaan tetap saja mencuat: kenapa dia yang dipilih—sementara masih ada nama Jenderal Ryamizard Ryacudu yang pernah diusulkan Presiden Megawati Soekarnoputri dahulu?
Menjawab pertanyaan itu, Presiden Yudhoyono menjelaskan, ia semata-mata hanya mau ikut aturan soal giliran dalam kepemimpinan di TNI. Setelah dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat yang menjabat panglima, kini saatnya TNI dipimpin seorang marsekal Angkatan Udara.
Agaknya, alasan itu dianggap Presiden sebagai sesuatu yang adil. Tetapi pengamat militer dari CSIS, Kusnanto Anggoro, tidak membacanya demikian. Menurut Kusnanto, pertimbangan Presiden terlihat tetap bersifat politis. ”Presiden ingin orang yang bisa dikendalikan,” ujarnya kepada Tempo. Dan Djoko, menurut Kusnanto, adalah orang yang tepat untuk itu.
Selain dekat karena hubungan kerja—antara presiden dan kepala staf—secara pribadi pun mereka akrab. Sumber Tempo menuturkan, Djoko dan Yudhoyono telah bersahabat baik sejak sama-sama belajar di Akademi Militer Magelang. Mereka dari angkatan yang sama, 1973, dan sama-sama pula pernah menerima anugerah Adhi Makayasa—penghargaan untuk lulusan terbaik Akademi Militer. Hubungan akrab seperti itu, menurut Kusnanto, akan memudahkan Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI menegakkan otoritasnya atas panglima.
Keinginan Presiden untuk segera mendapat pengesahan dari Dewan atas usul kandidat panglima itu tampaknya akan berjalan lempang. Mayoritas wakil rakyat seperti tak mempermasalahkan pencalonan Djoko oleh Presiden. ”Paling-paling hanya PDIP yang akan mempermasalahkan,” ujar Ade Daud Nasution, anggota Komisi Pertahanan DPR dari Partai Bintang Reformasi.
Bagi partai berlambang banteng itu, seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung, dalam tata cara pencalonan kandidat Panglima TNI, pemerintah seharusnya tidak menabrak soal administrasi negara. Mereka, misalnya, meminta Presiden Yudhoyono terlebih dahulu membatalkan usul Megawati, yang mencalonkan Ryamizard sebagai panglima, ketika Megawati masih menjabat presiden.
Meski tak jadi persoalan benar, hal semacam itu ibarat kerikil dalam sepatu. Hanya, bagi Djoko sendiri, reaksi PDIP itu tak membuat dirinya tampak risau. ”Itu dinamika di Komisi I. Saya kira harus ada dinamika,” ujarnya. Djoko pun optimistis menghadapi tes fit and proper di Senayan nanti. ”Insya Allah. Kami kan sudah sering rapat dengar pendapat.”
Sebagai penerbang tempur andal, Djoko agaknya merasa terbiasa dengan dinamika. Lahir di Madiun pada 2 Desember 1950, Djoko bahkan disebut-sebut sebagai penerbang terbaik yang pernah dimiliki AU. Pada 1983, ia menyelesaikan kursus F-5 Fighter Weapon Instructor di Nellis Air Force Base, Naville, Nevada—tempat sekolahnya Top Gun AS.
Pendidikan di Lembaga Pertahanan Nasional ia rampungkan pada 1999. Ketika Yudhoyono naik menjadi presiden, Djoko menjabat Asisten Operasi KSAU dengan pangkat marsekal muda. Bersamaan dengan pelantikannya sebagai KSAU pada 17 Februari, pangkatnya pun naik.
Kepada wartawan, minggu lalu, bapak dua anak ini—seorang di antaranya telah meninggal—mengatakan kegemaran akan musik dan olahragalah yang mewarnai sebagian kepribadiannya sekarang. Dia mencontohkan permainan golf yang bagus untuk melatih emosi, kesabaran, dan strategi. Bagi para stafnya di AU, mantan penggebuk drum itu dikenal sebagai pemimpin yang tegas namun tidak kaku. “Kalau marah, bapak tidak meledak-ledak. Kami tahu dia marah cuma dari pilihan kata-katanya,” ujar Marsekal Pertama Sagom Tamboen, Kepala Dinas Penerangan AU.
Tapi yang paling diingat Sagom adalah kegemaran Djoko akan lagu You Raise Me Up milik Josh Groban. Setiap didaulat menyanyi, menurut Sagom, bosnya pasti akan melantunkan lagu itu. ”Suara bapak boleh juga, lho.”
Philipus Parera, Fanny Febiana, Stefanus Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo