Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Politik tanpa Partai

Pemerintah mencoret partai lokal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Tugas pemantau asing terpaksa diperpanjang lagi.

23 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia, nyaris tanpa suara. Entah apa sebabnya, mereka bungkam tak mau bicara. Lebih dari 40 bekas aktivis dan panglima sagoe Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan rata-rata pernah memanggul senjata, rupanya agak rikuh mau menekuni ilmu baru. ”Kami mau ikut kursus politik,” bisik satu tokoh gerakan itu di Banda Aceh sebelum mereka bergerak ke Malaysia dua pekan lalu.

Tak jelas, berapa lama kursus itu berlangsung dan mengapa pula mereka takut bicara. Mungkin, kata ”pelatihan politik” masih sensitif bagi gerakan yang dulunya lebih banyak bicara pakai bedil itu. Tapi, toh belakangan ihwal pelatihan diungkap sendiri oleh petinggi GAM Swedia, Dr Zaini Abdullah, yang hadir juga di Malaysia. ”Kami memberi bekal politik dan pemerintahan bagi anggota,” ujarnya di Kuala Lumpur, Senin pekan lalu.

Selain Zaini, ada juga tokoh lain, seperti bekas Panglima Tentara Negara Aceh Muzakkir Manaf, juru bicara Bakhtiar Abdullah, dan Sofyan Dawood. Acara pembekalan politik itu didukung Olof Palme Center, lembaga internasional asal Swedia. Tujuannya, agar GAM mampu beralih cara, dari perjuangan bersenjata ke gerakan politik.

Bagi GAM, tentu acara ini cukup penting. Apalagi, kata Zaini, kalau Undang-Undang Pemerintahan Aceh selesai dibuat, Aceh akan punya pemerintahan yang lebih dari sekadar otonomi. Maka, bekas gerilyawan harus paham bentuk pemerintahan baru kelak. ”Jadi, ini training for trainers, sekaligus sosialisasi bentuk pemerintahan baru,” ujarnya.

Tentu, kalau semua perjanjian Helsinki dibahas, pelatihan itu pasti menyenggol juga soal partai lokal. Tapi, tunggulah sebentar. Untuk praktek teori politik lewat partai lokal, para bekas gerilyawan itu harus bersabar. Dari Jakarta rupanya ada kabar penting.

Di Istana Presiden, Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf mengatakan, pemerintah menghapus pasal partai lokal dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU Aceh). Rencananya, rancangan itu akan diserahkan ke DPR RI pekan ini. Alasannya, Menteri Ma’ruf menunjuk pada perjanjian damai yang diteken di Helsinki.

”Dalam MoU itu, partai politik lokal baru akan diadakan satu tahun atau selambat-lambatnya 18 bulan setelah perjanjian diteken,” ujar Ma’ruf seusai rapat kabinet terbatas di Istana Presiden, Rabu pekan lalu. Itu pun, kata dia, harus ada pengkondisian politik dan hukum dengan DPR lebih dulu. Kalau dihitung dari perjanjian itu, partai lokal di Aceh masih terbuka kemungkinannya sampai Februari 2007.

Menurut Ma’ruf, rapat kabinet terbatas sepakat bahwa RUU Aceh itu belum final. Pemerintah, kata dia, masih menunggu masukan dan saran. Apalagi, ada beban lain juga. Pemerintah mengejar target pemilihan kepala daerah (pilkada) yang, menurut MoU, akan dilaksanakan pada April 2006. ”Prinsip dan target kita, pilkada di Aceh tidak mundur,” ujar Ma’ruf.

Makanya, pasal partai lokal dicoret dalam draf pemerintah ke DPR RI. Selain mempercepat proses, diduga pemerintah memaksimalkan waktu yang mereka punya. Lantas, apakah pasal itu hilang selamanya? Tidak juga. Ma’ruf menawarkan jalan amendemen. Dia mencontohkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua. Undang-undang itu baru disempurnakan kembali setelah dua tahun. Artinya, untuk partai lokal, bisa dilakukan amendemen atas Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang baru nanti.

Sejauh ini, rapat kabinet menyimpulkan, tak ada masalah dengan rancangan undang-undang itu kecuali, kata Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, ada sejumlah pasal dalam RUU Aceh yang harus dibereskan. ”Tapi, tidak terlalu prinsipil,” ujarnya.

Masalahnya justru berkisar pada terminologi, misalnya soal istilah Pemerintah Aceh. Istilah itu, kata Menteri Yusril, sudah digunakan dalam MoU. Padahal, yang standar menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah, digunakan istilah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Tapi, karena sudah telanjur dipakai dalam MoU, istilah Pemerintah Aceh tetap akan dipakai nanti. ”Apa boleh buat,” ujar Yusril.

Soal rancangan undang-undang ini, pemerintah tampaknya harus berkejaran dengan waktu. Berdasarkan MoU, seperti diatur oleh Pasal 1.2.3, jadwal pemilihan lokal kepala daerah adalah April. Artinya, kalau sampai April tak ada aturan bagi partai lokal, maka pilihan GAM hanya dua. Pertama, ikut bertarung lewat partai nasional, atau lewat jalur calon independen.

Di Aceh, reaksi atas hilangnya pasal partai lokal itu masih datar saja. Ketua DPRD Aceh Sayed Fuad Zakaria menduga dihapusnya partai lokal agar rancangan itu bisa mulus di parlemen. Maklumlah, sebelumnya isu partai lokal sempat memantik reaksi keras dari parlemen. ”Saya tak tahu, mungkin itu strategi pusat,” ujarnya. Ketua Partai Golkar Aceh itu masih berharap agar partai lokal tetap diatur nanti.

Anggota DPR RI asal Aceh, Ahmad Farhan Hamid, justru menyesalkan pasal itu dicoret. Menurut dia, sekali undang-undang Aceh itu dibuat, maka semua substansi MoU seharusnya turut masuk. Soal partai lokal akan berlaku 1,5 tahun lagi, toh bisa diatur dengan pasal peralihan. ”Jadi, tinggal buat pasal untuk mengaktifkan kapan partai lokal mulai berlaku,” ujarnya.

Farhan mungkin melihat problem di depan. ”Kalau ditunda, berarti Aceh Monitoring Mission (AMM) harus diperpanjang lagi,” ujarnya. Alasannya, sesuai dengan MoU, tugas pemantau asing itu adalah mengawasi proses pembentukan undang-undang. Logikanya, kalau ditunggu sampai Februari 2007, maka AMM harus turut pula diperpanjang tugasnya. Padahal, pemerintah baru saja memperpanjang tugas pemantau asing itu, dari yang seharusnya berakhir Maret menjadi Juni 2006.

Bagi GAM, belum diaturnya partai lokal bukan soal besar. Setidaknya, tidak akan langsung mengancam bubarnya perdamaian. Malah, jika undang-undang terpaksa molor terbitnya, GAM juga tak terlalu ambil pusing. Menurut bekas juru runding GAM, Teuku Kamaruzzaman, hal itu bukanlah pelanggaran. ”Asal semuanya kita bicarakan dan kita sepakati,” kata tokoh GAM yang bertugas mengawasi soal politik ini.

Soal partai lokal, kata Kamaruzzaman, memang benar pemerintah masih punya waktu sampai Februari tahun depan. Tapi, menurut dia, sebaiknya semua butir soal politik bisa masuk dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Meskipun partai lokal tertunda, GAM tak akan bersikap reaktif. ”Kita lihat saja dulu, yang penting semua patuh sama perjanjian,” ujarnya.

Para kader lulusan kursus politik GAM di Malaysia itu mungkin sudah bersiap pulang. Mereka, kata salah satu juru runding GAM, Nurdin Abdul Rahman, bersiap menempuh jalur perjuangan baru. Jangan mundur, walaupun untuk sementara berpolitik tanpa partai.

Nezar Patria, Dimas Adityo, Raden Rahmadi, T.H. Salengke (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus