Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) mendorong industri farmasi agar terus melakukan pengujian ulang terhadap produk obat sirop untuk mencegah berulangnya lonjakan jumlah kasus gangguan ginjal akut pada anak (GGAPA). GPFI juga berharap hasil setiap pengujian segera dilaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar dapat diverifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif GPFI, Elfiano Rizaldi, mengatakan pengujian yang dilakukan saat ini—menguji cemaran produk jadi—merupakan hal baru bagi industri farmasi sehingga membutuhkan waktu yang lama. "Yang diminta oleh Badan POM itu kepada produk jadi. Untuk pelarut produk jadi ini, kan, kalau dulu tidak ada pengujiannya," kata Elfiano di Century Park Hotel Jakarta, Selasa, 20 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, industri obat sebelumnya hanya menguji bahan baku produk sebelum diproduksi atau sesuai dengan standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Saat ini pengujian industri farmasi dibagi menjadi dua tahap, yakni pengujian dalam CPOB ditambah pengujian terhadap cemaran produk jadi. Langkah tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi lebih dini kasus kontaminasi senyawa berbahaya etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) dalam obat sirop.
Senyawa EG dan DEG di atas ambang batas aman pada obat sirop menjadi penyebab utama lonjakan jumlah kasus GGAPA sejak Agustus lalu. Pada 18 Oktober lalu, Kementerian Kesehatan sempat melarang tenaga kesehatan dan apotek untuk meresepkan dan menjual obat sirop. Hal itu bertujuan untuk menekan lonjakan jumlah kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Langkah ini diklaim berhasil meredam kenaikan jumlah pasien. Menurut catatan Kementerian Kesehatan, terhitung sejak 2 November lalu, tidak ada laporan kasus gangguan ginjal akut pada anak, baik kasus baru maupun kasus lama. Hingga 28 November, total jumlah kasus gangguan ginjal akut ini sebanyak 324 anak di 27 provinsi. Sebanyak 202 pasien anak di antaranya meninggal.
Sejauh ini, BPOM masih menelusuri dan menindaklanjuti kejadian kontaminasi EG-DEG di atas ambang batas aman pada obat sirop. BPOM terus memverifikasi hasil pengujian bahan baku terhadap produk obat sirop serta menggali informasi yang diperlukan untuk memastikan jaminan mutu, keamanan, dan khasiat obat. Verifikasi dilakukan berdasarkan pemenuhan beberapa kriteria, seperti kualifikasi pemasok, pengujian bahan baku setiap kedatangan dan setiap wadah, serta metode yang mengikuti standar atau farmakope terkini.
Dokter mengecek kondisi pasien anak penderita gagal ginjal akut di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, 21 Oktober 2022. ANTARA/Ampelsa
Ogah Dianggap Ada Masalah Sistemis di Industri Farmasi
Ketua Bidang Industri GPFI, Roy Lembong, mengatakan hampir semua obat sirop tidak bisa dijual selama tiga bulan terakhir. Biasanya sebanyak 160 pelaku industri farmasi memproduksi puluhan juta botol obat sirop per bulan. Kontribusi produk obat sirop selama ini sekitar 20 persen dari total omzet industri farmasi yang diperkirakan mencapai Rp 100 triliun per tahun. Jika dihitung kasar, selama tak bisa berjualan obat sirop, industri farmasi kehilangan potensi pendapatan dari produk tersebut senilai Rp 5 triliun.
Toh, Roy Lembong ogah menyebut angka tersebut sebagai kerugian. “Yang meninggal itu banyak,” ujarnya. “Itu tak ternilai.”
Menurut Roy, industri farmasi tengah berupaya mengikuti prosedur pemeriksaan obat secara penuh. Salah satunya dengan mendatangkan gas chromatography—alat pengujian yang dapat memisahkan komponen campuran dalam partikel-partikel penyusunnya—seharga Rp 500 juta sampai Rp 1,5 miliar. Karena produsen gas chromatography terbatas, Roy memprediksi alat itu baru datang antara satu dan tiga bulan ke depan. Saat ini sebanyak 70 persen pelaku industri farmasi sudah memiliki alat tersebut. "Mencukupi, tapi karena harus diperiksa ulang satu per satu batch, ini membutuhkan waktu yang sangat lama," kata Roy.
Ketua GPFI, Tirto Koesnadi, mengatakan kasus cemaran obat sirop merupakan kejadian yang belum pernah terjadi selama lebih dari 40 tahun sejarah industri farmasi di Indonesia. Dia menegaskan bahwa problem pencemaran dalam obat sirop merupakan kombinasi dua hal, yakni pemalsuan pelarut dan tidak adanya metode pemeriksaan EG/DEG pada obat jadi sirop. Tirto menampik tudingan adanya masalah sistemis pada sistem produksi industri farmasi, termasuk pengawasannya oleh BPOM.
Dia berdalih, data menunjukkan bahwa hanya 5 persen dari ragam obat sirop yang disinyalir tercemar. Angka itu, kata dia, menunjukkan pencemaran terjadi hanya pada 2 persen dari total obat yang beredar. "Ini membuktikan bahwa kasus cemaran obat sirop adalah sebuah insiden dan bukan sistemis mayoritas," kata Tirto.
Petugas mengumpulkan berbagai jenis merek obat sirop yang dilarang dijual untuk sementara di salah satu apotek, Kendari, Sulawesi Tenggara, 20 Oktober 2022. ANTARA/Jojon
BPOM mencatat, hingga 15 Desember lalu, sebanyak 335 item obat sirop dinyatakan aman dikonsumsi. Status ini diberikan setelah dilakukan pengujian terhadap sekitar 2.400 item obat sirop. GPFI pun berharap Kementerian Kesehatan dan BPOM membuat farmakope panduan pemeriksaan etilena glikol dan dietilena glikol pada produk jadi.
Sekretaris Jenderal GPFI, Andreas Bayu Aji, memastikan industri farmasi bertanggung jawab atas kejadian yang memicu lonjakan jumlah kasus gangguan ginjal akut pada anak. Pertanggungjawaban yang dimaksudkan oleh Andreas adalah industri farmasi akan meningkatkan upaya untuk memproduksi obat secara baik, benar, disiplin, dan konsisten.
Adapun soal tanggung jawab berupa pemberian ganti rugi kepada korban, kata Andreas, harus dipertimbangkan sungguh-sungguh dan bersama-sama oleh semua pihak. "Silakan kalau pemerintah merasa ini diperlukan, kita duduk sama-sama, apa yang bisa kami lakukan," kata dia.
Masyarakat Masih Ragu Mengkonsumsi Obat Sirop
Kendati BPOM dan industri farmasi telah menggeber pengujian tingkat keamanan, masyarakat masih ada yang ragu untuk membeli dan mengkonsumsi obat sirop. Ai Nurasiah, misalnya, belum berani memberikan obat sirop kepada putrinya yang masih berusia 3 tahun. Ia lebih memilih memberikan obat sediaan tablet ketika anaknya sakit. "Mungkin pikir-pikir dulu, ya,” kata dia, kemarin.
Kebiasaan baru pun kini dilakoni Nurasiah. Dia memilih langsung membawa putrinya ke bidan jika sakit ketimbang pergi ke apotek untuk membeli obat.
Retno Palupi juga mengatakan hal serupa. Ia kini lebih waswas dalam memberikan obat sirop kepada anaknya. Jika anaknya demam, ia memilih tindakan mengkompres bagian kepala atau badan dengan air hangat. Retno juga merasa lebih aman mengkonsumsi obat herbal atau puyer yang dianjurkan dokter. "Karena waktu itu lagi merebak DEG-EG, jadi untuk sementara (obat sirop) enggak digunakan dulu," ujarnya. "Obat herbal untuk batu juga lebih terjamin, tidak mengandung pemanis buatan.”
Novita Sari, pegawai Apotek Giri Jaya Farma di Tambun Selatan, Bekasi, mengungkapkan masih banyak orang tua yang ragu untuk membeli dan memberikan obat sirop kepada anak mereka. Padahal apotek sudah merekomendasikan obat sirop yang aman. "Masyarakat ada yang menerima, juga kadang ada yang enggak atau masih ragu gitu," kata dia.
Novita menuturkan apotek tempatnya bekerja terus mengikuti kebijakan pemerintah ihwal penjualan obat sirop. Saat ini apotek tersebut mulai menjual lagi obat sirop yang telah dinyatakan aman oleh BPOM.
HENDARTYO HANGGI | FENTI GUSTINA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo