JALAN raya Pati - Juana - Rembang (Ja-Teng) berubah menjadi
sungai. Air menggenangi jalan yang biasa dilewati kendaraan
Jakarta - Surabaya itu setinggi 1 hingga 2« meter. Lebih dari
200 truk bermuatan penuh, disandera banjir yang melanda
Kabupaten Pati dan sekitarnya sejak 2 pekan lalu.
Selama seminggu sejak Jumat 16 Januari, jalan raya itu macet
total. Para sopir dan kernet mengisi waktu dengan mencuci
kendaraan atau pakaian. Untung penduduk setempat ada yang
memanfaatkan keadaan itu dengan menjual makanan, mulai dari nasi
bungkus, roti gaplek, jagung sampai rokok.
Sebungkus nasi (dengan tahu dan sedikit sayur) sudah mencapai Rp
150 -- tarif yang cukup tinggi dibanding hari-hari biasa yang
hanya Rp 50. "Sehari saya keluar uang Rp 1.000. Dan ditambah
pengeluaran lain selama seminggu ini sudah nombok Rp 35.000,"
ujar Wiryo, 50 tahun, sopir truk asal Purbolinggo (Ja-Tim) yang
tersandera di Desa Gadingrejo, 6 km dari Juana.
Baru Rabu pekan lalu colt bisa ma suk ke Juana lewat Desa
Wedarijaksa. Tapi ongkosnya melambung dari Rp 75 menjadi Rp 400
seorang. Sehari kemudian air tinggal 40 cm lagi. Dan truk-truk
pun mulai bergerak. Suasana menjadi hiruk-pikuk.
Tapi sampai akhir pekan lalu kendaraan kecil belum bisa lewat
karena truk-truk masih berebutan jalanan.
Penduduk di wilayah Jawa Tengah bagian timurlut itu tampaknya
sudah terbiasa dengan banjir yang datang setiap musim. Tapi
banjir akibat hujan yang menderas setiap hari selama 2 minggu
sejak Senin 5 Januari itu rupanya lain dari biasa. Memang sekali
ini bukan banjir bandang, karena air melayap secara pelan.
Hujan yang bagaikan tanpa henti itu juga menggenangi sebagian
tempat di Kota Semarang, Demak, Jepara, Kudus dan pinggiran Kota
Pati. Namun yang paling parah adalah Kecamatan Juana, terutama
karena meluapnya air dari Dam Wilalung di Kecamatan Undaan
(Kudus).
Dam itu membagi air untuk Sungai Juana (Pati), Lusi (Kudus),
Tuntang (Demak) dan Serang (Jepara). Ada 8 pintu air yang dibuka
semua ketika bah mulai naik. Desa-desa di pinggir Sungai Juana
-- Kedungpancing, Bumirejo, Doropayung -- yang pertama kemasukan
air pada Jumat siang 9 Januari.
Tak kurang dari 95% wilayah Kecamatan Juana yang luasnya 53 kmÿFD
tergenang, kecuali Desa Beringin dan Karang -- yang letaknya
memang lebih tinggi. Karena sudah akrab dengan banjir penduduk
tenang-tenang saja. Di Desa Kedungpancing misalnya, seorang
kakek yang rumahnya separuh tenggelam tetap asyik dengan
kebiasaannya mendengarkan radio, walaupun dari atas perahunya
yang bergoyanggoyang.
Warung-warung juga masih ada yang buka. Penduduk datang
berbelanja sembari berenang. Di jalan-jalan kampung tampak orang
hilir-mudik di tengah air setinggi dada. "Saya harus
melihat-lihat rumah dulu," ucap seorang perempuan setengah umur
sambil berenang. Di musim banjir, di sana memang banyak
pencurian.
Bagi buruh-nelayan seperti Sujiman dari Kedungpancing, banjir
juga mendatangkan nafkah. Tidak melaut, perahunya diomprengkan
untuk pengangkutan antar desa. Tarifnya sekitar Rp 100 - Rp
200, "sehari rata-rata dapat Rp 3.000," kata Sujiman yang
beranak 4 orang. Tapi ia hanya menerima sepertiga, sebab dua
pertiganya untuk pemilik perahu motor itu. Istri Sujiman tak
bisa lagi jualan, karena rumahnya hancur dilanda bah.
Di sepanjang tepi jalan masuk ke Juana para pengungsi membuat
bangunan darurat dari gedek bekas. Tidak sedikit pula yang
membawa kerbau. Jumlah ternak itu sekitar 400 ekor, yang
terbanyak ditambat di halaman Kawedanan Juana. Malam hari para
pengungsi tidur bersama gembalaannya masing-masing. Sampai
Selasa pekan lalu sekitar 41.000 jiwa mengungsi. Sedang yang
tetap tinggal di rumah sekitar 19.000 jiwa.
Tim Penanggulangan Banjir menampung mereka di gedung sekolah,
kantor kawedanan, balai desa, atau stasiun kereta api. Pihak
PJKA menyediakan 15 gerbong yang memuat sekitar 1.000 jiwa.
Setiap gerbong yang umumnya sudah tua itu dihuni 3kk. Para
pengungsi menutup jendela dengan plastik, mengatur lemari, kasur
dan meja-kursi. Pengungsi yang hanya membawa barang seadanya,
cukup menggelar tikar dan mengatur alat dapur. Yang kebagian di
pelataran stasiun mengatur sendiri "wilayah" masing-masing.
Karena tak ada dapur umum -- tim hanya membantu bahan makan
mentah -- para pengungsi memasak sendiri.
Kerugian yang diderita cukup banyak. Lebih dari 7.000 rumah
terendam, 2 jembatan ambrol, lebih dari 2.000 ha sawah terendam.
Belum lagi tegalan dan tambak. Seluruh sekolah, SD sampai SLTA,
diliburkan. Menurut taksiran Camat Juana, Isduki yang
berkeliling dengan perahu karet, kerugian seluruhnya sekitar Rp
1 milyar. Korban manusia hanya seorang, yaitu Wakijan, 18
tahun, seorang awak kapal dari Desa Beringin.
Menurut dokter puskesmas, Paulus Susanto, tidak ada penduduk
yang sakit berat. "Hanya ada yang menderita flu, masuk angin
dan muntah saja," katanya.
Gubernur Ja-Teng Soepardjo Roestam yang meninjau ke sana Rabu
pekan lalu membawa bantuan beras 10 ton. Sehari kemudian datang
Dirjen Bantuan Sosial, Harun Alrasyid, menyerahkan sejumlah
pakaian, beras, petromak perahu karet dan sebagainya.
Persiapan menghadapi banjir nampaknya tidak ada sama sekali
sebelumnya.
Di zaman Bupati Rustam Santiko, kantung-kantung bantuan seperti
beras atau jagung biasanya sudah dipersiapkan jauh sebelum
banjir diperkirakan datang. Untuk menahan luapan air, pada 1973
sudah ada proyek penanggulangan banjir yang disebut
"Jratunseluna" (singkatan dari 5 sungai Jragong, Tuntang,
Selang, Lusi dan Juana) -- tapi sampai saat ini proyek tersebut
belum jalan.
Bahkan sebelum itu, 1966, juga sudah ada usul untuk menyudet
Sungai Juana di Desa Guyangan, Kecamatan Pati, dialirkan ke
Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juana. Juga pengerukan Sungai
Juana sendiri yang sudah dangkal. Usul itu diperbarui 3 tahun
kemudian, "tapi sampai saat ini baru dilakukan surveinya saja,"
tutur Pembantu Bupati untuk Kecamatan Juana, Kartidjo Hidajat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini