Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR itu terkesan senyap untuk perusahaan pemenang tender pembelian 104 bus Transjakarta senilai Rp 167 miliar: PT Saptaguna Dayaprima. Menempati satu bagian ruko dua lantai di Pulogadung, Jakarta Timur, perusahaan itu hanya dijaga satu orang. Tak terlihat komputer di sana.
Pada Rabu pekan lalu, ketika Tempo datang ke kantor Saptaguna, satu-satunya penjaga menolak bicara sepatah kata pun. Bahkan ketika ditanya apakah Susanto Lioe, direktur utama perusahaan itu, bisa ditemui. Menurut beberapa orang yang ditemui di sekitar ruko, Saptaguna belum lama menempati kantor itu. "Baru dibuka setelah banyak wartawan datang ke sini," kata seorang narasumber.
Alamat Saptaguna di ruko itu tercantum dalam berbagai dokumen lelang pengadaan bus oleh Dinas Perhubungan Jakarta. Perusahaan ini berhasil meraih beberapa paket tender. Pengadaan bus dilakukan untuk memenuhi program Gubernur DKI Joko Widodo menambah 1.289 bus sampai 2017. Tapi, dari sejumlah dokumen, proyek ini diduga kuat tak beres di sepanjang prosesnya (baca "Pengumpul Pasir di Garasi Transjakarta", Tempo 10-16 Maret 2014)
Menurut Inspektorat Pemerintah DKI Jakarta, panitia lelang ditengarai mengarahkan ke perusahaan di Cina. Hampir semua bus hasil lelang senilai Rp 1,086 triliun produk Cina. Ankai memperoleh porsi terbesar, yakni 83,5 persen. Bersama beberapa perusahaan lain, Saptaguna mengikuti tender dengan mengajukan bus Ankai. Proyek ini disorot karena sejumlah bus ternyata rusak berat hanya sehari setelah pengoperasiannya diresmikan Jokowi pada 15 Januari 2014.
Seorang narasumber mengaku diminta menjawab wartawan yang datang bahwa Saptaguna memiliki 20 karyawan. "Kalau ditanya 'kok sepi?', bilang aja, karyawan lagi di lapangan," tuturnya, menirukan permintaan yang diterimanya.
Pemenang tender lainnya, PT Ifani Dewi, juga terlihat ala kadarnya. Menempati ruko di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, identitas perusahaan Ifani hanya tertera di stiker yang ditempelkan di kaca jendela. Ifani memperoleh beberapa paket tender, juga memakai merek Ankai, dengan total 225 bus senilai Rp 337,7 miliar. Kontrak pengadaan bus ditandatangani oleh Direktur Ifani, Agus Sudiarso.
Masih ada perusahaan lain pemasok bus Ankai, yaitu PT Putera Adi Karyajaya dan PT Adi Teknik Equipindo. Putera mengadakan 110 bus senilai Rp 122 miliar, sedangkan Adi 109 seharga Rp 124,2 miliar. Keduanya berkantor di ruko sewaan di bilangan Medansatria, Bekasi, Jawa Barat.
Sekretaris Dinas Perhubungan yang juga pejabat pembuat komitmen proyek itu, Drajad Adhyaksa, tak bisa dimintai penjelasan tentang kualifikasi perusahaan pemenang tender. Namun, pada pertengahan Februari lalu, ia mengatakan panitia tak harus menelusuri kantor para peserta lelang. "Semua ada dokumennya, hitam di atas putih," ujarnya. Drajat bahkan mengakui sudah mengetahui kantor mereka yang sederhana dari foto-foto. "Apakah bisa gugur gara-gara kantor dia bentuknya cuma ruko? Dalam Perpres tidak diatur."
Bukan cuma soal kantor, perusahaan itu juga diragukan pengalamannya dalam penjualan dan perbaikan bus. Berdasarkan dokumen lelang, mayoritas baru menjadi dealer Ankai mendekati tender yang digelar pada Mei-Juni 2013. Ifani menjadi dealer sejak 13 Mei, Adi Teknik pada 15 Mei, Putera pada 3 Juni, sedangkan Saptaguna sejak 24 September 2012.
Gelontoran bus Ankai bermuara pada PT San Abadi sebagai satu-satunya agen pemegang merek itu di Indonesia. San Abadi didirikan pada 2010 dengan nama PT Armada San A. Pemegang sahamnya Lim Hock Lock sebesar 80 persen atas nama San_A (S) Pte Ltd dari Singapura, dan sisanya dimiliki Henry Kosala Wahyadiyatmika. Henry, pria 30 tahun asal Magelang, Jawa Tengah, adalah putra Direktur Utama PT Mekar Armada Jaya, David Herman Jaya.
Tahun berikutnya, nama perusahaan industri kendaraan ini diubah menjadi PT San Abadi. Alamat perusahaan ini sama dengan New Armada, perusahaan karoseri di Magelang. Henry juga duduk sebagai direktur. Sedangkan direktur utama dijabat oleh Indra Krisna, mantan petinggi New Armada.
Armada diduga diuntungkan dalam lelang. Menurut penelitian Inspektorat, panitia tak melakukan evaluasi klarifikasi teknis dalam karoseri. Akibatnya, Armada tetap mendapat pekerjaan karoseri enam paket (202 bus) yang terdiri atas bus gandeng dan bus besar. Padahal mestinya kemenangan itu dibatalkan karena keterbatasan kemampuan dan peralatan. Apalagi bus gandeng juga dibeli dalam keadaan jadi dari Cina, sehingga tak diperlukan karoseri.
Menurut laporan Forum Komunikasi Warga Jakarta (Fakta), Ifani menggandeng Armada untuk menggarap 71 bus besar hasil kemenangan tender paket II dan IV. Harga tiap bus dari Ifani pada paket II lebih mahal Rp 106,5 juta ketimbang bus serupa pada paket IV. Jika harga paket II sama dengan paket IV, harga bus bisa dihemat hampir Rp 3 miliar.
Ketua Forum Komunikasi, Azas Tigor Nainggolan, menilai tak ada alasan bagi Ifani untuk membedakan harga. Sebab, perusahaan yang mereka gandeng sama, yaitu San Abadi dan Armada. Pemecahan pengadaan tiga jenis bus, yakni gandeng, besar, dan sedang, menjadi 14 paket dengan delapan perusahaan pemenang, juga dinilai berpotensi merugikan negara hingga Rp 53,4 miliar.
Fakta juga melaporkan dugaan kongkalikong San Abadi dengan pejabat Dinas Perhubungan untuk memuluskan kemenangan Ankai. Salah satu indikasinya, kepergian Drajad ke pabrik bus di Cina bersama sejumlah orang, termasuk Indra dan Michael Bimo Putranto, pada medio Mei 2013 sebelum tender.
Bekas teman kerja Bimo juga mengungkapkan ihwal pertemuan Bimo dengan sejumlah pengusaha, termasuk Indra, di sebuah pusat perbelanjaan. "San Abadi menggunakan sejumlah perusahaan agar tak diketahui sebagai pemenang sesungguhnya," kata Tigor.
Kepada Tempo, David Herman menjelaskan banyak hal mengenai tender bus untuk Transjakarta. Ia juga membeberkan kaitan perusahaannya dengan San Abadi pada Rabu pekan lalu. Namun ia meminta Tempo tak memuat pernyataannya. Indra, yang ditemui di Yogyakarta, Jumat pekan lalu, pun memberikan keterangan sejumlah hal. Sayang, ia juga mengatakan semua pernyataannya off the record.
Bimo adalah ketua tim sukses Jokowi pada saat Gubernur Jakarta itu mengikuti pemilihan Wali Kota Solo pada 2005. Ia dikenal sebagai "orang dekat" Jokowi di kalangan pelaku transportasi di Jakarta. Pada waktu datang ke redaksi Tempo, Bimo mengatakan tidak mengenal satu pun pemilik perusahaan pemenang tender. Ia juga mengatakan bahwa informasi mengenai pertemuan yang dia hadiri di satu pusat perbelanjaan itu menyesatkan. "Mereka teman-teman saya yang kebetulan memakai batik, jadi dikira pengusaha," kata dia.
Bimo mengakui pergi ke Cina pada Mei tahun lalu. "Bersama dengan dua teman saya. Bukan sama Pak Drajad atau Indra," katanya, Jumat pekan lalu. Menurut dia, lawatan itu hanya untuk rekreasi sambil melakukan survei untuk menjajaki bisnis. Kepada Tempo tiga pekan lalu, Presiden Pasoepati, pendukung tim sepak bola Persatuan Sepakbola Indonesia Surakarta (Persis), ini mengaku di Cina melihat pabrik bus.
Ia pun menampik terlibat dalam pengaturan tender. "Tanya sama pemenang tender apakah kenal saya. Saya tak kenal mereka," katanya.
Budi Susanto, Direktur Utama Mobilindo Armada Cemerlang pengusung Zhong Tong, mengaku tak mengenal Bimo. Sedangkan empat petinggi perusahaan pengusung Ankai tak bisa ditemui.
Direktur Utama Ifani, Ida Farida, tak bisa dijumpai di rumahnya sesuai dengan data di akta pendirian perusahaan, Jalan Kampung Baru, Kelurahan Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Rumah itu seperti tak berpenghuni. Beberapa tetangga mengaku tak mengenal Ida. "Tak ada nama Ida Farida," kata Roy, warga setempat. Susanto Lioe, Direktur Utama Saptaguna, juga tak bisa ditemui.
Jobpie Sugiharto, Sintha Maharani (Yogyakarta), Singgih Soares (Jakarta), Adi Warsono (Bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo