Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Inikah Rindu Negara-Kesejahteraan

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A.E. Priyono*

Pekan terakhir Februari lalu, Universitas Ga­djah Mada dan Universitas Oslo mempresentasikan hasil riset mereka mengenai situasi demokrasi mutakhir di Indonesia. Laporan mereka yang bertajuk "Audit Demokrasi Indonesia 2013" itu mempresentasikan empat temuan penting.

Pertama, sebagai aturan main formal, demokrasi Indonesia terus berkembang dan kinerjanya semakin baik. Kedua, demokrasi Indonesia berkembang ke arah politik berbasis tokoh (figure-based politics). Ketiga, tuntutan warga negara untuk pemenuhan pelayanan dasar juga berkembang—gejala yang memperlihatkan adanya kerinduan pada negara-kesejahteraan. Tapi negara kemudian merespons dengan menyediakan mekanisme pasar untuk pemenuhan pelayanan publik. Keempat, di tengah-tengah menguatnya tuntutan publik itu, muncul arus politik populis yang semakin kuat.

Jika diringkas, keempat temuan itu sebenarnya terdiri atas dua narasi yang berbeda, masing-masing dengan problematika interpretasinya. Narasi pertama, meskipun demokrasi sudah relatif berfungsi baik—khususnya sebagai prosedur kompetisi politik elektoral—kompetisi politik itu praktis hanya berlangsung di tingkat elite, dan karena itu memunculkan apa yang diindikasikan sebagai figure-based politics. Narasi kedua, dengan berkembangnya kebebasan sipil-politik, muncul tuntutan publik yang luas agar negara menyelenggarakan politik pelayanan publik ala welfare-state. Tapi, alih-alih memenuhi tuntutan ini, yang muncul justru pasar liberal di satu pihak dan populisme di pihak lain.

Menyangkut fenomena figure-based politics di atas, sebenarnya sudah banyak pengamat dan berbagai riset menyebutkan tentang berlangsungnya politik elitis dalam demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru. Setidaknya ada dua tafsir. Pertama, yang memberikan penekanan pada gejala pembajakan demokrasi oleh kaum elite—mereka memiliki kekuasaan formal dalam lembaga-lembaga politik demokratik (Demos 2004, 2007), termasuk oleh partai-partai politik borjuis. Dan kedua, yang menekankan berlangsungnya politik oligarkis bahwa mekanisme, prosedur, dan aturan main demokrasi kini sepenuhnya dikuasai kaum oligarki predatorial (Hadiz 2004), yakni aktor-aktor pemilik sumber daya material yang ingin mendapatkan akses kekuasaan negara untuk melindungi dan memperbesar kekayaan mereka (Winters 2013).

Sudah jelas dalam kedua jenis interpretasi itu bahwa demokrasi akhirnya hanya bekerja di arus atas politik Indonesia. Ditandai oleh berbagai jenis monopolisasi pada tingkat politik dan ekonomi, juga dengan ketiadaan kontrol dan partisipasi populer yang meluas, sistem politik seperti itu tidak bisa lagi disebut sekadar sebagai "demokrasi-oligarkis", tapi berkembang lebih buruk menjadi "oligarki-demokratis" (Cho 2008)—sejenis oligarki yang bertahan dalam sistem elektoral.

Jadi, di hadapan dua jenis interpretasi di atas, narasi pertama bahwa demokrasi Indonesia makin berkembang meski mengarah pada jenis politik berbasis tokoh justru mengaburkan kenyataan yang sebenarnya. Sudah sejak awal reformasi politik tokoh ini terbentuk, misalnya dalam politik kepartaian. Hampir semua partai yang muncul saat itu sepenuhnya merepresentasikan figur-figur kelas menengah politik.

Mereka muncul dari ketiadaan basis gerakan sosial yang luas di belakangnya. Mereka berkembang menjadi kekuatan elite yang akhirnya berhasil merebut lembaga-lembaga formal demokrasi. Tapi, dalam perkembangannya, politik berbasis tokoh ini mengalami evolusi dan terutama sejak periode elektoral ketiga (2009-2014), yang ditandai oleh munculnya jenis-jenis tokoh baru yang berbasis pada oligarki. Persekutuan dua jenis elite inilah yang menjadi basis oligarki elektoral yang kita kenal sekarang.

Munculnya oligarki elektoral inilah yang, entah kenapa, lepas dari pengamatan. Dengan mengabaikan kenyataan ini, interpretasi bahwa demokrasi Indonesia makin berkembang semestinya harus dianggap tidak cukup meyakinkan—untuk tidak menyebutnya invalid. Yang terjadi justru sebaliknya, bahwa oligarki menjadi sumber stagnasi bahkan kemunduran demokrasi atau setidaknya hambatan serius bagi munculnya transformasi demokratik.

Narasi kedua yang berupaya menjelaskan menguatnya tuntutan masyarakat-sipil akan terselenggaranya pelayanan publik sebagai kerinduan pada munculnya negara-kesejahteraan juga penting untuk diberi beberapa catatan. Riset Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo menemukan begitu kuatnya aspirasi warga negara menyangkut tuntutan agar negara aktif merumuskan dan menjalankan pelayanan dasar kepentingan publik. Ini dianggap sebagai ekspresi kerinduan pada negara-kesejahteraan.

"Masyarakat-sipil" dianggap sebagai kelompok yang paling kuat menyuarakan isu publik (56 persen). Negara, di pihak lain, memang masih punya kepedulian, tapi dengan dukungan yang kecil saja (25 persen)—khususnya hanya diwujudkan di tingkat perumusan kebijakan. Dunia bisnis, seperti diduga, memang ditunjukkan sebagai yang paling tidak peduli (8 persen). Tapi, yang menarik, masyarakat-politik, termasuk di dalamnya partai-partai, ternyata juga sedikit sekali menunjukkan kepedulian (11 persen).

Terhadap data ini, tafsir Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo hanya menyebutkan bahwa penyebabnya adalah karena masih ada celah antara masyarakat-sipil dan masyarakat-politik—sebuah jurang menganga yang selama ini belum pernah bisa dijembatani. Menurut Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo, masyarakat-sipil yang menyuarakan isu-isu publik itu sebenarnya sudah "merupakan entitas 'demos' dalam isu publik". Mereka juga sebuah kelompok "yang solid, tidak terfragmentasi". Dalam posisi seperti itu, kegagalan mereka mengubah isu-isu publik menjadi kebijakan publik lebih disebabkan oleh kegagalan membangun relasi fungsional dengan partai politik. Betulkah demikian?

Penjelasan seperti ini tidak cukup didukung fakta empiris. Menganggap kelompok-kelompok dalam masyarakat-sipil sebagai "demos" yang solid dan tidak lagi mengalami fragmentasi jelas tidaklah faktual, jauh dari kenyataan. Asosiasi-asosiasi masyarakat-sipil sampai sekarang justru masih menghadapi problem eksistensial untuk mewakili dirinya.

Mereka juga bukan sebuah entitas yang solid dengan agenda-agenda politik yang eksplisit. Beberapa sektor masyarakat-sipil juga jauh dari definisi sebagai "demos". Mereka bukanlah sebuah organ yang mewakili aspirasi, identitas, dan kepentingan tunggal. Dalam situasi ketika masyarakat-sipil yang terpecah-belah ini berhadapan dengan partai-partai politik sebagai sebuah blok kepentingan egosentris kalangan elite-oligarkis, maka mereka sungguh berada pada posisi marginal.

Di pihak lain, dalam hubungannya dengan masyarakat kelas bawah yang teralienasi dari proses-proses politik demokratik, kelompok-kelompok masyarakat-sipil juga tidak punya kapasitas mewakili, dan bertindak atas nama kepentingan kelas bawah itu.

Pada akhirnya semua ini menunjukkan bahwa masyarakat-sipil sebenarnya terlalu rapuh untuk dibayangkan pada posisi sebagai pembentuk isu publik. Karena itu, anggapan bahwa suara masyarakat-sipil seolah-olah mewakili kerinduan pada negara-kesejahteraan hanya sebuah salah sangka menentukan noise sebagai voice. Dengan lebih terkesan oleh suara-suara bising masyarakat-sipil yang pada kenyataannya tidak pernah didengarkan partai ataupun negara, riset Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo itu mengabaikan aspirasi-aspirasi radikal yang kini justru mulai menguat di beberapa sektor gerakan sosial.

Radikalisasi agenda-agenda alternatif untuk transformasi demokratik bukannya macet, untuk dengan mudahnya digantikan oleh skenario negosiasi membangun negara-kesejahteraan yang makin mustahil diterapkan. Ia muncul dari frustrasi yang meluas terhadap kebuntuan demokrasi liberal yang ternyata gagal memecahkan masalah korupsi, intoleransi, ketidakadilan sosial, monopolisasi plutokratik, dan ketidakpercayaan yang makin luas pada negara yang makin terpenjara oleh pasar. Bahwa agenda-agenda ini masih pada tahap formatif bukan berarti menunjukkan ketiadaannya. Inilah yang semestinya justru digali lebih dalam melalui sebuah riset sebesar yang dikerjakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Oslo.

*) Direktur Riset Public Virtue Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus