Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dampak Sistemik

17 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni Puspa Purbasari*

Salah satu pertanyaan dasar dalam kasus Century adalah apakah penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dapat dijustifikasi secara nalar ataukah hanya isapan jempol belaka. Dengan kata lain, publik ragu, mungkinkah bank sekecil Century dapat menyebabkan dampak sistemik. Penilaian terhadap sistemik-tidaknya Bank Century sangat krusial karena menjadi pintu masuk bagi perlu atau tidaknya bank ini diselamatkan. Perdebatan soal ini layak kita ungkap kembali di tengah persidangan kasus dugaan korupsi dalam penyelamatan Bank Century.

Bank Century pada 2008 memiliki 30 kantor cabang dengan jumlah nasabah 65 ribu. Jumlah ini tentu sangat kecil bila dibandingkan dengan Bank BCA atau Bank Mandiri. Namun tetap saja 65 ribu nasabah adalah manusia dan institusi riil. Dari para nasabah ini terkumpul dana pihak ketiga sekitar Rp 10 triliun. Jumlah ini kurang dari 1 persen dari total dana pihak ketiga. Nilai aset Bank Century juga "hanya" Rp 15 triliun atau tak lebih dari 0,5 persen dari total aset perbankan Indonesia.

Dilihat dari angka-angka ini, Century tidaklah sekelas Bank Mandiri, BCA, BRI, dan BNI. Bank-bank besar ini sudah pasti dikategorikan sebagai systematically important banks (SIB). Ada atau tidak ada krisis keuangan, kejatuhan bank-bank jumbo ini berpotensi besar membuat dampak sistemik pada pasar keuangan Indonesia.

Apakah "daftar SIB" hanya berhenti pada bank-bank itu? Bagaimana dengan Bank Danamon, CIMB Niaga, Panin, Permata, BII, dan BTN? Bagaimana dengan bank yang memiliki aset atau dana pihak ketiga, katakanlah, Rp 1 juta lebih rendah dari garis pembeda (threshold) antara SIB dan tidak? Apakah bank itu tidak layak diselamatkan jika terjadi krisis keuangan? Bagaimana bila antarkategori bertentangan: menurut kategori aset masuk kategori SIB, tapi menurut kategori dana pihak ketiga tidak termasuk SIB?

Lebih detail lagi, kapan perhitungan atas aset atau dana pihak ketiga untuk menentukan threshold ini dilakukan? Apakah menurut laporan keuangan tahunan bank per 31 Desember yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik (yang baru tersedia dua-tiga bulan berikutnya) atau menurut laporan kuartalan atau bahkan laporan bulanan terakhir (yang baru tersedia 30 hari berikutnya)—meskipun tidak diaudit? Apakah threshold ini bersifat kaku ataukah boleh diubah manakala terjadi krisis keuangan yang merontokkan nilai aset dan dana pihak ketiga dalam waktu singkat?

Hal-hal inilah yang paling "mengganggu" dalam ilmu sosial seperti ilmu ekonomi. Banyak threshold atau batas kategori yang sifatnya disarankan dan kondisional. Sama seperti mengkategorikan usaha mikro, kecil, dan menengah; negara; atau rumah tangga: standar untuk mengatakan besar-kecil, maju-berkembang, dan miskin-tidak miskin semua dapat diperdebatkan karena literatur tidak pernah bersepakat pada satu ukuran saja.

Konsekuensi dari penetapan threshold dalam riset ekonomi tentu tidaklah seserius seperti dalam kebijakan publik. Dalam kebijakan publik, ada dana dan/atau pemihakan nyata oleh negara yang dilakukan atas dasar threshold tersebut. Threshold jadi berperan layaknya sebuah guillotine yang menjatuhkan nasib seseorang atau suatu perusahaan, yaitu apakah ia layak diberi program atau tidak. Karena itu pula threshold menjadi kontroversial.

Kembali pada persoalan Bank Century. Secara ukuran, Bank Century adalah bank kelas menengah (atau kecil, bila kategorisasinya hanya besar-kecil) dan tak termasuk "daftar SIB". Apakah dengan demikian Bank Century lebih baik langsung ditutup karena sudah pasti tidak akan berdampak sistemik?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memasukkan konteks situasi sektor keuangan Indonesia pada Oktober-November 2008. Saat itu, terjadi penarikan modal keluar dari Indonesia secara besar-besaran, rupiah melemah, indeks harga saham gabungan jatuh, credit default swap melonjak, harga surat utang negara melorot, dan likuiditas di pasar uang mengering. Singkat kata, sektor keuangan Indonesia mengalami krisis.

Terkait dengan krisis keuangan, Keynes, bapak ilmu ekonomi makro, dalam bukunya, The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), mengatakan penyebab Great Depression adalah faktor psikologi pasar yang berubah atau animal spirits. Menurut dia, dalam mengambil keputusan, investor tidak dapat sepenuhnya menghitung probabilitas hasil dari tiap-tiap investasi dan karenanya mereka bertindak atas dasar intuisi atau spirits. Jadi, ketika keyakinan investor jatuh, mereka akan mengobral saham-saham mereka. Harga saham pun jatuh, dan terjadilah krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah.

Begitu pentingnya faktor psikologi dalam penjelasan krisis ekonomi Asia 1997-1998, dalam literatur krisis ekonomi, dikenal istilah panik dan perilaku ikut-ikutan (herding behavior). Alan Greenspan, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, juga menunjuk faktor psikologi—yang ia istilahkan sebagai "irrational exuberance"—ketika menjelaskan perilaku over-optimistis para investor dalam memborong saham-saham dotcom pada 1997-2000.

Terakhir, Akerlof (peraih Nobel Ekonomi 2001) bersama Shiller (peraih Nobel Ekonomi 2013) menulis buku Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy and Why It Matters for Global Capitalism (2009). Mereka memperluas pengertian animal spirits Keynes dan mensistematiskan hubungan antara psikologi pasar dan krisis, yaitu krisis keuangan menyebabkan keyakinan pasar jatuh dan jatuhnya keyakinan pasar memperburuk krisis keuangan, begitu seterusnya hingga terbentuk semacam lingkaran setan.

Sebagai gambaran, investor semestinya tidak perlu menjual saham atau obligasi yang semula bernilai 100 menjadi 80, karena dengan 90 saja sebetulnya cukup "fair". Namun kepanikan dapat menyulut perilaku irasional pelaku ekonomi. Mereka tidak lagi mendasarkan keputusannya pada perhitungan akan probabilitas imbal hasil dan risiko. Sebab, selain sangat kacau, dalam situasi krisis yang ada dalam benak investor adalah "lebih baik memegang uang berapa pun daripada tidak sama sekali" atau "lebih baik menjual atau mengambil uang sekarang daripada terlambat". Maka terjadilah fire sale (obral diskon) dan penarikan uang secara besar-besaran.

Dari penjelasan di atas jelas bahwa mengabaikan faktor psikologi pasar dan mendasarkan keputusan penyelamatan ekonomi dengan sekadar melakukan check-list terhadap "daftar SIB" sangat tidak disarankan. Faktor psikologi sangat penting dalam krisis, dan kebijakan ekonomi tidak boleh didangkalkan atau dimekaniskan berdasarkan satu-dua parameter check-list belaka karena ilmu ekonomi bukanlah ilmu eksak.

Dalam dunia ekonomi, ketidakpastian adalah suatu keniscayaan. Karena itulah teori ekonomi hanya dapat mengatakan hubungan sebab-akibat dari dua variabel dalam konteks ceteris paribus—yaitu ketika variabel lain diasumsikan konstan. Dalam kenyataannya, ketika banyak variabel bergerak secara simultan, ekonom tak lagi mampu mengatakan secara pasti bahwa arah hubungan kedua variabel tadi adalah seperti yang diprediksi dalam teori.

Situasi ini tentu mengecewakan atau bahkan menakutkan bagi mereka yang berharap ada tali kepastian atau fatwa tunggal untuk bergantung. Namun di situlah kepiawaian, kebijaksanaan, dan wawasan ekonom dibutuhkan, untuk tidak berpikir sempit. Berbagai faktor harus dipertimbangkan, termasuk pengalaman kita di masa lalu yang menutup 16 bank pada November 1997 dan ternyata malah memicu panik di masyarakat. Akibatnya, puluhan bank lain harus diselamatkan dengan biaya Rp 647 triliun, setara dengan 68 persen produk domestik bruto Indonesia tahun 1998.

Jadi tidak salah bila faktor psikologi pasar dimasukkan ke pertimbangan dampak sistemik, karena ini adalah bagian dari diskresi dan ijtihad pengambil kebijakan. Ijtihad ini bisa saja tepat, bisa juga tidak. Ekonom bukan Tuhan. Ia tidak tahu pasti akan seperti apa hasil dari kebijakan yang mereka buat. Sejarah hanya mencatat bahwa, ketika pemerintah Inggris menyelamatkan bank Northern Rock yang ukurannya kecil dan sebaliknya pemerintah Amerika membiarkan Lehman Brothers yang besar jatuh, ekonomi Inggris selamat dari krisis dan sebaliknya ekonomi Amerika malah terjerembap dalam krisis. Sejarah juga mencatat bahwa, setelah Bank Century di-bailout, ekonomi Indonesia selamat dari krisis.

Meskipun begitu, tak satu pun ekonom dapat mengatakan dengan pasti bahwa antara bailout dan kondisi ekonomi berhubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, tidak ada yang dapat menjamin bahwa keadaan di Inggris, Amerika, dan Indonesia akan berubah menjadi sebaliknya bila pengambil kebijakan di tiap negara memutuskan yang sebaliknya.

*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus