CENDEKIAWAN Islam Nurcholish Madjid belakangan ini sering bicara tentang demokratisasi, selain soal beragama yang hanif, yang kemudian memancing banyak reaksi itu. Untuk prospek 1993 ini, Rabu pekan lalu Nurcholish diwawancarai Amran Nasution. Petikannya: Sidang Umum MPR lima tahun lalu diwarnai interupsi. Bagaimana sidang umum Maret mendatang? Interupsi itu sendiri kan datang dari ABRI, tentang pemilihan wakil presiden. Tapi interupsinya masih yang agak klise. Yang kita harapkan, suatu kontribusi pemikiran yang kreatif. Dalam hal ini saya kira ada harapan, karena kita sudah lima tahun belajar terbuka belakangan ini. Sedikit banyak nilai keterbukaan ini sudah kita internalisasi dan kita sosialisasi juga. Meskipun saya kira sidang umum nanti itu masih kelanjutan dari masa lalu, dan penggarapan yang intensif ke arah perubahan yang lebih berarti belum terjadi. Saya berpendapat, menjelang 1998, penggarapan yang betul-betul substantif dan prinsipil mesti dilakukan. Cak Nur menyebut perlunya oposisi. Maksudnya? Orang tak bisa mengembangkan demokrasi kalau tak terbiasa berpikir alternatif, karena itu bersangkutan dengan kesediaan untuk berbeda pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyatakan pikiran. Untuk itu, salah satu yang diperlukan adalah lembaga oposisi. Itu sebetulnya hanya kelembagaan dari suatu trend yang sudah ada dalam setiap masyarakat: selalu ada kelompok yang tak setuju kepada susunan mapan. Diakui atau tak diakui. Menurut saya, harus diakui, supaya perjalanannya menjadi sehat. Persoalan terbesar, menurut saya, Indonesia belum pernah mengalami pengalihan kekuasaan secara damai, dan kalau gagal, tak tahu lagi saya, berapa lama lagi kita harus mundur. Ada yang mengatakan bahwa bicara soal demokrasi, keterbukaan, sama dengan bicara soal budaya. Memang saya tak terilusi kita bisa loncat begitu saja. Kita bisa menarik pelajaran dari pengalaman kita sendiri maupun pengalaman bangsa di sekitar kita, misalnya Filipina. Dia ditinggalkan Amerika tahun 1947, lalu bereksperimen langsung dengan budaya Barat. Pada waktu itu saya kira orang Filipina cukup beralasan untuk optimistis. Karena memang tingkat pendidikan mereka relatif lebih tinggi. Kemudian mereka orang Katolik yang mempunyai afinitas kultural dengan barat. Toh mereka gagal, dan akhirnya menampilkan seorang Marcos yang efeknya sampai sekarang belum selesai. India pun begitu, setiap hari ada pembunuhan politik, ada yang atas nama agama, ada yang atas nama bangsa, atas nama perbatasan negara bagian, etnis, dan lain-lain. Dalam hal ini saya kira terlalu jelas kalau kita harus bersyukur, negara kita ini begitu besar tapi bersatu dan aman. Ada yang mengatakan belakangan, kita menuju ke arah lebih demokratis. Kopkamtib dibubarkan, kekaryaan ABRI di tempat tertentu dikurangi. Saya setuju dengan jalan pikiran itu, memang ada gerak progresif. Itu jelas dan memberikan harapan. Tapi saya juga ingin mengingatkan bahwa negara kita ini kan sedang berkembang, banyak sendi yang masih goyah. Karena itu, peranan ABRI yang secara stereotip dikatakan sebagai stabilisator dan sebagainya itu masih diperlukan. Analoginya begini, demokrasi yang mapan di dunia ini sebagian besar adalah kerajaan ada Swedia, Norwegia, Denmark, dan seterusnya. Sebab, simbol raja, mahkota itu, menjadi pengikat dari semuanya. Thailand juga bisa menjadi contoh. Meskipun di sana banyak kudeta, modal asing tetap mengalir, karena ada rajanya. Amerika itu, karena undang-undang dasarnya kuat sekali. Umat Islam sendiri bagaimana, siap atau tidak melaksanakan demokrasi itu? Secara keseluruhan, belum siap. Tapi sudah ada sebagian yang agak siap, yang biasa disebut golongan menengah. Kalau secara kelompok barangkali di antara umat Islam yang paling siap itu adalah alumni HMI, tapi jumlahnya kecil sekali, dan itu pun belum dibuktikan secara empirik. Saya katakan demikian, lihat apa yang dipraktekkan dalam kongres-kongres HMI dari sejak dulu. Bebas, tak ada pengarahan dari siapa pun. Alumni atau senior saja kadang bisa kena tendang di sana. Tadi Anda menyebut harus dimulai 1998. Kenapa? Menurut saya, MPR tahun 1993 ini biarlah berlalu dengan segala sekuritinya. Setelah itu, tahun 1998, harus mulai dilansir, dan kita nanti akan melihat, kalau muncul tiga calon presiden. Itu kan berarti tak ada lagi bapak bangsa, tapi hanya sesama tiga calon yang memiliki kelebihan tertentu. Karena itu, nanti perpindahan dari satu ke yang lainnya tak menjadi soal besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini