SEJAK konperensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan, 1987, dunia makin kenal dengan permainan 3-in-1 internasional: kepedulian akan lingkungan hidup, hak-hak manusia, serta demokratisasi. Bukan kebetulan ketiga pokok masalah itu gencar diajukan negara-negara industri yang tergabung dalam Kelompok-7 pada tahun-tahun di mana perekonomian mereka dihantam daya saing dari negara-negara Selatan, yang mulai merambak pangsa pasar di negara-negara kaya. Kita tidak perlu gusar, jengkel, atau marah bahwa permainan 3-in-1 internasional pada dasarnya adalah ikhtiar proteksionisme terselubung yang dilancarkan oleh lobi-lobi kuat di parlemen-parlemen Eropa, di Washington, dan di Tokyo. Dalam era globalisasi, setiap selisih keunggulan produksi, pemasaran, dan distribusi cenderung terpukul oleh pesaing-pesaing baru yang menawarkan produk yang lebih baik, lebih cepat sampai, lebih bertahan, dan lebih murah. Bisnis dan politik tidak pernah bisa dipisah-pisahkan. Kita tidak perlu gusar dan jengkel bahwa peluncuran ketiga masalah di forum-forum internasional sering diterapkan secara tidak konsisten. Keprihatinan Amerika tentang suku Kurdi di Irak, misalnya, jauh lebih besar daripada kepeduliannya terhadap orang Palestina yang diusir dari Kuwait sehabis Perang Teluk awal 1991. Belum lagi kenyataan bahwa negara Kelompok-7 umumnya kurang mawas diri tentang perusakan lingkungan, pelanggaran hak-hak manusia, serta macetnya demokrasi di Amerika, Eropa, dan Jepang. Rasialisme yang mendalam di Amerika, perusakan hutan di Eropa, serta pengaruh besar mafia kejahatan terhadap pemerintahan di Jepang adalah sebagian kecil contoh kemunafikan negara- negara donor. Karena itu kita sebaiknya menerima kenyataan bahwa permainan, manipulasi, dan disinformasi tentang lingkungan, hak-hak manusia, dan demokratisasi akan tetap berkembang selama tahun 1993. Pada sisi lain kita seyogyanya berketetapan hati dan taat asas pada komitmen kita untuk mengusahakan perbaikan lingkungan, peningkatan penghormatan pada kaidah hak-hak manusia, serta ikhtiar mengembangkan pemerintahan yang mantap dan demokratis. Semua itu tentunya dalam lingkup dan kecepatan yang kita tentukan sendiri, terlepas dari ada atau tidak adanya tekanan-tekanan dari negara-negara Kelompok-7. Tugas utama kita dalam menghadapi permainan 3-in-1 internasional adalah untuk terbuka dan jujur mengemukakan segala fakta dan data tentang kebijakan pembangunan kita. Apakah itu kebijakan soal hutan, pertambangan, gas alam, atau mineral-mineral lain yang memasar di dunia -- semuanya harus transparan dan terbuka. Pejabat atau pengusaha tak perlu takut karier atau pangkatnya akan terhambat. Bagaimanapun juga, tidak ada kebijaksanaan lingkungan yang serba sempurna dan yang seratus persen melestarikan lingkungan. Sejalan dengan itu, ujung tombak kita di luar negeri -- diplomat, perwakilan dagang, pengusaha Indonesia yang bertugas di mancanegara -- harus lebih aktif melancarkan ofensif balik di tempat dan di saat yang tepat. Mereka harus pandai bersilat lidah tentang fakta, data, dan tanya yang berkait langsung dengan ekspor kelapa sawit, gas alam, tekstil, dan pakaian jadi. Mereka harus berani balik menuding perusakan lingkungan yang hendak ditutup-tutupi oleh industri atau instansi di setiap negara Kelompok-7. Di bidang hak-hak manusia, kita harus membuang cara-cara berargumentasi ''Pokoknya saya menang'' atau paham ''Barat keparat Timur luhur'' yang kerap dipakai banyak tokoh di negara-negara sedang berkembang. Tuding-menuding tak berujung pangkal seperti itu tidak hanya menandakan rasa kurang percaya diri sendiri, juga cenderung menjadi alasan mengapa kita ''terpaksa menunda'' pengembangan hak-hak manusia. Yang perlu kita jelaskan berulang kali ialah bahwa prasyarat perluasan hak-hak manusia adalah pemerataan ekonomi yang berkelanjutan. Di bidang demokratisasi, kita harus lebih tegas menyatakan bahwa prasyarat pengembangan demokratisasi adalah negara dan pemerintah yang kuat dan stabil. Kelompok-7 cenderung menuntut perluasan hak-hak politik dan sipil pada bangsa yang justru sedang berjuang menegakkan kondisi minimal untuk pengembangan demokrasi: adanya pemerintah, bahkan adanya negara yang bisa bertahan lebih dari sekadar dua pekan, dua bulan, ataupun dua tahun. Tuntutan demokrasi sipil dan politik terhadap bangsa yang belum terbentuk secara mendalam sama saja dengan membagi-bagi belati kepada kumpulan anak berandalan. Semboyan otonomi yang luas dan bertanggung jawab hendaknya mengacu juga pada bahaya terciptanya oligarki lokal yang justru harus dipatahkan oleh tangan pemerintah pusat. Gelombang 3-in-1 internasional harus kita hadapi dengan kepala dingin, meski hati kerap panas, Indonesia adalah contoh sedikit negara sedang berkembang yang hingga sekarang masih bertahan sebagai kesatuan politik yang utuh. Kita tahu kita bukan masyarakat politik yang serba sempurna. Lebih dari itu semua, kalangan cendekiawan, pakar, dan ahli tentang lingkungan hidup, hak-hak manusia, dan demokrasi senantiasa harus ingat bahwa penentu terakhir permainan 3-in-1 internasional adalah sesama warga kita di lapangan, di pelosok-pelosok Irian Jaya, Timor Timur, Aceh, dan ratusan tempat lain, yang sewaktu-waktu digugat di persidangan- persidangan mentereng di New York, Jenewa, Brussels, Paris, London, dan Tokyo. Petugas di lapangan itulah yang harus kita lebih perhatikan dan hargai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini