Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menuju demokratisasi 1990-an

Konperensi demokrasi indonesia 1950-an serta 1990- an membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan demokratisasi 1990-an. muncul semacam kelas baru dan elite baru yang mendukung para politikus.

2 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MERAMALKAN kejadian-kejadian politik biasanya bukanlah beban yang mudah dipikul. Masalah-masalah sosial sering mengandung faktor-faktor yang bisa menggelincirkan analisa para pengamat. Apalagi perkara politik, yang sangat dipengaruhi ulah para politikus. Namun demikian, dalam hal Indonesia tahun 1993, saya merasa cukup yakin bahwa segalanya akan berjalan dengan mulus. Tentu saja, asalkan Tuhan tidak menghendaki lain. Maksud saya: seorang presiden dan wakilnya akan dipilih oleh MPR pada bulan Maret 1993. Kemudian kabinet akan disusun. Selanjutnya, pemerintah baru akan meneruskan garis besar kebijaksanaan negara dalam rangka trilogi pembangunan: kestabilan, pertumbuhan, dan pemerataan. Jika perkiraan saya benar, perhatian pembaca TEMPO barangkali lebih baik diarahkan kepada tahun 1994 dan seterusnya, tatkala ada kemungkinan perubahan-perubahan yang lebih berarti. Masa depan yang lebih jauh ini kebetulan baru saja disoroti di konperensi Demokrasi Indonesia 1950-an serta 1990-an, yang saya hadiri bersama para peneliti dari Australia, Eropa, Amerika, dan tentu saja dari Indonesia sendiri. Kami, para peserta konperensi, membicarakan banyak hal yang dianggap ada sangkut-pautnya dengan demokratisasi 1990-an. Misalnya, kebaikan dan keburukan sistem demokrasi konstitusional pada tahun 1950-an, yang langsung berakibat pada, dan juga berisi pelajaran untuk, masa kini perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik sejak zaman itu perubahan situasi internasional, termasuk berakhirnya Perang Dingin bertambah hangatnya kompetisi antara negara-negara sedang berkembang untuk merebut pasar di negara-negara maju semakin besarnya dampak teknologi komunikasi canggih sebagai sarana globalisasi nilai dan lain sebagainya. Sumbangan saya pada diskusi, antara lain berupa dua observasi. Pertama, mengenai munculnya semacam ''kelas baru'' di kota-kota kecil dan pedesaan, terdiri dari jutaan orang yang menyimpan uang dalam jumlah cukup besar di bank-bank yang kini tersebar di seluruh Indonesia. Dugaan saya, kelas baru ini berkepentingan atas bunga tinggi dan inflasi rendah, guna menjamin tetap tumbuhnya modal mereka. Keadaan ini berbeda jauh dengan 40 tahun lalu. Ketika itu golongan yang paling berpengaruh sebagai kelompok kepentingan di kota kecil (di luar negara) adalah pengusaha dan pedagang. Mereka ingin meminjam uang dengan bunga rendah, dan mereka tidak terlalu berkeberatan dengan inflasi, yang akan mengurangi utang mereka secara nyata. Observasi kedua, saya pinjam dari Ben Anderson dan Burhan Magenda. Menurut dua pakar dari Ithaca dan Depok itu, semacam ''elite baru'' telah muncul pula, terdiri dari purnawirawan ABRI, yang sewaktu pensiun memilih tinggal di daerah, tempat mereka bertugas pada akhir karier sebagai tentara. Menurut analisa ahli-ahli ini, elite baru itu mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan bisnis. Maka, mereka berhasil dan menjadi orang berada dan berpengaruh di daerah masing-masing. Apa makna dua gejala ini bagi masa depan politik Indonesia? Kehadiran jutaan orang di pedesaan yang berkepentingan terhadap bunga tinggi dan inflasi rendah mungkin menandakan lahirnya sebuah kekuatan politik baru. Kekuatan ini konon bersedia mendukung para politikus, atau sebuah partai, di pusat yang mengerti keperluan mereka dan mau memperjuangkannya. Tentu saja partai tersebut harus tetap setia kepada kebijaksanaan makroekonomi neoklasik, seperti yang dianut pemerintahan Soeharto selama ini. Gejala kedua -- elite daerah terdiri dari pensiunan perwira -- mengisyaratkan adanya sebuah infrastruktur politik yang dapat pula dimanfaatkan oleh para politikus di pusat. Jikalau selama seperempat abad Orde Baru loyalitas elite politik di beberapa daerah diragukan sehubungan dengan kejadian-kejadian pada awal masa kemerdekaan, kini kecurigaan itu mulai mereda. Terutama bagi perwira tinggi ABRI di pusat, yang tentu mempercayai iktikad baik bekas rekan dan bawahan mereka. Dalam wawancara yang dimuat di Majalah Eksekutif, Agustus lalu, Menpan Sarwono Kusumaatmadja punya usul menarik tentang masa depan Golkar. Untuk menyelamatkan dirinya dari tantangan-tantangan dasawarsa 1990-an, ujar Sarwono, Golkar harus mencari pengikut baru. Dukungan jalur A dan jalur B, yang kedua-duanya mewakili kekuatan negara, tidak perlu ditinggalkan. Tapi Golkar tidak mungkin lestari sebagai organisasi politik kalau tidak menjangkau dan merangkul masyarakat luas yang di luar negara. Sarwono, seingat saya, tidak menyinggung masalah demokratisasi. Tapi seandainya pendekatannya diterapkan pada dua golongan, yaitu rakyat dan elite, yang saya bicarakan di atas, pemerintah Orde Baru, yang tentu akan diperbarui lagi nanti pada akhir dekade ini, bisa menjadi lebih demokratis. Yaitu mengandalkan kekuatan-kekuatan dari luar negara dalam alam elektoral yang lebih longgar dan kompetitif. Tanpa mengancam terlaksananya trilogi pembangunan dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. *Guru besar Ilmu Politik pada The Ohio State University, Columbus, Amerika Serikat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus