Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyidikan kasus korupsi helikopter AW 101 berjalan lancar di era Gatot Nurmantyo menjabat Panglima TNI.
Penyidikan lima tersangka korupsi heli AW 101 dihentikan menjelang berakhir masa jabatan Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.
BPK belum tuntas menghitung kerugian negara atas pengadaan heli AW 101.
JAKARTA – Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Fadjar Prasetyo menghentikan penyidikan lima tersangka kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AgustaWestland (AW) 101 pada Agustus 2021. Penghentian perkara kasus korupsi heli AW 101 itu dilakukan karena dianggap tak cukup bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Marsekal Muda TNI (Purnawirawan) Supriyanto Basuki—salah satu tersangka dalam kasus ini—Pahrozi, mengatakan pihaknya sudah menerima surat pemberitahuan penghentian penyidikan perkara terhadap kliennya pada September 2021. Ia mengatakan, dalam surat itu disebutkan bahwa perkara tersebut dihentikan lantaran kurangnya alat bukti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau dilihat, waktunya sudah empat tahun. Mereka profesional dan maksimal. Jadi, kami yakin yang mereka lakukan sudah tepat," kata Pahrozi, Ahad, 2 Januari 2022.
Sesuai dengan salinan surat penghentian perkara yang diperoleh Tempo, ada lima surat penghentian penyidikan yang ditandatangani oleh Marsekal Fadjar Prasetyo selaku Perwira Penyerah Perkara. Surat penghentian perkara kelima tersangka terbit dalam waktu yang berbeda, yaitu pada 23 dan 30 Agustus 2021.
Misalnya, surat penghentian penyidikan perkara Supriyanto Basuki diteken pada 23 Agustus 2021. Dalam surat itu disebutkan beberapa rujukan sehingga menghentikan penyidikan, di antaranya surat Oditur Jenderal TNI yang berisi petunjuk penyelesaian perkara Supriyanto Basuki pada 27 Juli 2021. Lalu surat Kepala Oditurat Militer Tinggi II Jakarta mengenai Pendapat Hukum dan Saran Penyelesaian Perkara Supriyanto pada 5 Agustus 2021.
“Tindakan penyidikan dapat dilanjutkan kembali apabila di kemudian hari ditemukan alat bukti sebagai kelengkapan materiil dan formal yang memenuhi persyaratan perkara tersangka diselesaikan melalui persidangan,” kata Fadjar Prasetyo, dalam surat keputusan penghentian penyidikan perkara Supriyanto Basuki.
Surat penghentian penyidikan terhadap tersangka lainnya persis serupa dengan keputusan penghentian penyidikan untuk Supriyanto. Perbedaan surat penghentian penyidikan para tersangka hanya terletak pada waktu terbitnya surat Oditur Jenderal TNI yang berisi petunjuk penyelesaian perkara serta surat Kepala Oditurat Militer Tinggi II Jakarta mengenai Pendapat Hukum dan Saran Penyelesaian Perkara.
Selain Supriyanto, keempat tersangka korupsi pengadaan heli AW 101 yang dihentikan penyidikannya adalah Marsekal Pertama Fachri Adamy, Wakil Gubernur Akademi TNI Angkatan Udara; Kolonel (Purn) Fransiskus Teguh Santosa, mantan Sekretaris Dinas Pengadaan Angkatan Udara; Letnan Kolonel Wisnu Wicaksono, Kepala Seksi Garbiaku Korps Pasukan Khas Lapangan Udara Sulaiman, Bandung; dan Pembantu Letnan Dua Sigit Suwastono, Bauryar Pekas Dinas Keuangan TNI AU.
Defile alutsista di Dermaga Ujung, Surabaya. Dok. TEMPO/Fully Syafi
Pengusutan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 ini dilakukan secara bersama-sama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polisi Militer TNI pada Mei 2017. KPK menangani keterlibatan pihak swasta, sedangkan Polisi Militer menelusuri keterlibatan perwira di TNI.
Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan ada potensi kerugian negara sebesar Rp 224 miliar dalam pengadaan alat angkut untuk VVIP atau Very Very Important Person tersebut. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat ini bahkan mendorong KPK untuk menuntaskan rasuah tersebut.
Angka kerugian itu diperoleh dari selisih kontrak yang dilakukan dengan produsen helikopter, PT Diratama Jaya Mandiri. PT Diratama Jaya Mandiri telah meneken kesepakatan kontrak pengadaan helikopter AW-101 senilai Rp 514 miliar, jauh sebelum memenangkan lelang. Kemudian Diratama Jaya Mandiri melanjutkan kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar.
Dalam penyidikan ini, KPK menetapkan satu tersangka, yaitu Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh. Irfan sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada November 2017. Namun hakim tunggal praperadilan, Kusno, menolak gugatan Irfan.
Pada 6 November 2018, Badan Pemeriksa Keuangan mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) di TNI AU pada 2016-2017. Kesimpulan laporan itu menyatakan ada ketidakpatuhan signifikan dalam pengadaan alutsista yang dilaksanakan TNI AU dalam kurun waktu 2016-2017. Selain itu, pengadaan alutsista itu tidak sesuai dengan ketentuan dan berpotensi merugikan negara sebesar Rp 715,77 miliar.
Atas permintaan KPK dan Polisi Militer TNI, BPK lantas menghitung kerugian negara atas pengadaan heli AW 101 ini. Pada 4 Desember 2020, BPK menyurati Panglima TNI dan Ketua KPK yang menjelaskan bahwa penghitungan kerugian negara belum bisa ditentukan lantaran BPK belum memperoleh dokumen lengkap.
Hingga kasus ini dihentikan, dua bulan sebelum Hadi Tjahjanto pensiun dari jabatan Panglima TNI, BPK belum juga menuntaskan penghitungan kerugian negara pengadaan helikopter AW 101. Anggota BPK, Achsanul Qosasi, yang dimintai konfirmasi mengaku tak mengetahuinya. “AW 101 bukan di bawah pemeriksaan saya,” kata Achsanul, kemarin.
Direktur Penyidikan KPK, Setyo Budiyanto, mengatakan lembaganya masih berkoordinasi dengan BPK untuk memperoleh penghitungan kerugian negara pengadaan helikopter AW 101. "Saya yakin beberapa hari ke depan, koordinasi itu segera ditindaklanjuti dengan BPK untuk memperjelas kira-kira apa saja yang masih kurang atau dibutuhkan oleh pihak auditor," kata Setyo.
Kepada Tempo, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan pihaknya baru mulai mempelajari kasus helikopter AW-101. "Nanti setelah saya memahami, baru akan dijelaskan ke publik," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat ini, yang dilantik menjadi Panglima TNI pada 17 November 2021.
Adapun Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa Panglima TNI tidak bisa mengintervensi keputusan oditur militer untuk menghentikan perkara dugaan korupsi heli AW 101. "Keputusan oditur militer menghentikan atau melanjutkan suatu perkara adalah pro justitia," kata Hadi.
MAYA AYU PUSPITASARI | ROSSENO AJI NUGROHO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo