Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANDI Baso Tahir menyimpan berjuta kenangan tentang Santoso, buron kelas wahid Indonesia. Lelaki 38 tahun ini adalah teman Santoso ketika sama-sama berlatih perang di Gunung Biru, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, tak lama setelah konflik antara komunitas Islam dan Kristen pecah pada Desember 1998. Konflik ini bermula dari tawuran antaranak muda dengan latar belakang beda agama, Islam dan Kristen.
Kenangan yang paling menancap kuat pada Andi adalah Santoso kerap mampir ke rumahnya, tidak jauh dari Jalan Trans-Sulawesi, Tokorondo, sekitar seratus meter dari masjid mereka biasa mengaji bersama. Menurut dia, Santoso suka bertandang ke rumahnya, terutama ketika menjelang atau sesudah salat zuhur. "Biasanya saya mendengar suara motor Honda GL Pro berhenti di depan rumah, lalu ia mengucap salam dan bilang lapar minta makan," ujarnya Kamis pekan lalu.
Andi dan Santoso juga berteman dalam satu pengajian di masjid Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir. Ketika itu Santoso berjualan keliling aneka barang kebutuhan menggunakan sepeda motor berkeranjang. Ada kalanya ia menjual parfum, petasan, parang, buku agama, dan baju muslim. Santoso tinggal di Bhakti Agung, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso, yang berjarak sekitar 20 kilometer.
Kini dua berkawan ini memilih jalan berbeda. Meski pernah sama-sama menempuh pelatihan asykari kelompok radikal, Andi belakangan memilih tidak mengikuti jalan yang diambil Santoso. Andi sejak 2003 menyatakan tidak lagi bergabung dengan kelompok penyebar teror di Poso dan sekitarnya.
Alasan Andi sangat manusiawi. Ia takut mati ditembak Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI, yang terus mengejar kelompok teroris di Poso. Selain itu, Andi memiliki pemahaman "baru" tentang jihad. Menurut dia, jihad tidak harus dengan bertempur hingga mati berkalang darah. Andi punya ladang jihad lain: melayani warga desanya sebagai Kepala Urusan Keuangan Pemerintah Desa Tokorondo. Ia juga aktif membawa pesan damai agar konflik komunal antara komunitas Islam dan Kristen tidak terulang.
Sedangkan Santoso ada di jalan lain. Meski tidak lagi sering, Andi kadang berpikir tentang Santoso, terutama ketika musim hujan seperti yang terjadi pada saat ini. Bagaimanapun, kata Andi, Santoso adalah teman yang telah seperti saudara. Ia sangat berharap Santoso kembali bersamanya dengan baik-baik. "Tapi Santoso telah memilih jalannya sendiri," ujar Andi.
Santoso dan kelompoknya menjadi orang yang paling dicari di Indonesia. Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti menyatakan Santoso pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, satu-satunya kelompok di Indonesia yang berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. "Kelompok Santoso paling solid dan militan," kata Badrodin. Anggota kelompok Santoso, menurut Badrodin, kini berjumlah 37 orang.
Di kelompok ini setidaknya ada tiga perempuan bergabung. Mereka dikenal dengan nama Umi Fadel, Umi Mujahid, dan Umi Delima. Tiga perempuan ini berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, masing-masing adalah istri kedua Santoso; istri Basri, narapidana kasus terorisme Poso yang kabur dari penjara Ampana, Sulawesi Tengah; dan istri Ali Ambo alias Ali Kalora, yang terlibat serangkaian serangan terorisme di Poso.
Mereka bergerilya di wilayah Gunung Biru yang membentang dari kawasan Napu di Kabupaten Poso hingga Sausu di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, seluas 2.400 hektare. Santoso dan kelompoknya lari ke gunung sejak Desember 2012. Polisi dan Tentara Nasional Indonesia saat ini mengerahkan setidaknya 2.418 anggota pasukan untuk mengejar mereka dalam operasi gabungan yang bernama Operasi Tinombala. Nama operasi, Tinombala, mengadopsi nama gunung tertinggi di Sulawesi Tengah, dengan puncak 1.180 meter di atas permukaan laut.
Badrodin Haiti menargetkan bisa menumpas kelompok Santoso dalam waktu dua bulan, terhitung sejak Ahad pekan kedua Januari lalu ketika Operasi Tinombala digelar. Tenggatnya pada Kamis pekan kedua Maret mendatang. Dia berjanji meringkus Santoso dan kelompoknya baik dalam kondisi hidup maupun mati. "Kami kejar terus dan mempersempit ruang geraknya," katanya. Operasi Tinombala merupakan kelanjutan dari Operasi Camar-Maleo I-IV, yang berlangsung sejak Januari tahun lalu hingga Januari tahun ini.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Idham Azis mengatakan, selama operasi Camar-Maleo, polisi telah menangkap 24 orang. Dari jumlah itu, tujuh tewas ditembak dan sisanya menjalani proses hukum dengan tuduhan melakukan kegiatan terorisme. Dari mereka, sebagian adalah kelompok Santoso yang ikut bergerilya di gunung, sebagian lain jaringannya yang tidak ikut bergerilya. Selain itu, polisi menyita senjata api, amunisi, bom rakitan, bahan pembuat bom, pakaian, dan senter. "Kami juga menyita bendera ISIS," ujar Idham.
SANTOSO semula hanya anggota biasa dalam gerakan Islam di Poso. Menurut Ketua Forum Silaturrahim dan Perjuangan Umat Islam Poso Kiai Haji Adnan Abdurrahman Saleh, ketika awal konflik Poso, Santoso memang ikut laskar yang berkumpul di Pondok Pesantren Al-Amanah di Tanah Runtuh, Poso, miliknya. Namun saat itu Santoso belum banyak dikenal orang. "Santoso bukan siapa-siapa," kata Adnan.
Meski Santoso pernah berhimpun di Tanah Runtuh, kini Adnan tidak sepaham dengan pria yang telah bergabung dengan ISIS itu. Seorang peserta tadrib yang juga pernah mengaji di Tanah Runtuh menyatakan, sebelum bergerilya ke gunung, Santoso mengecam Adnan yang berfokus pada pendidikan dan dakwah. "Tanah Runtuh sudah kehilangan jihadnya," ujar Santoso, seperti ditirukan peserta tadrib. Adnan menanggapi enteng tudingan itu. Buat dia, jihad Islam tidak semata-mata dengan angkat senjata.
Andi Baso Tahir mengaku pernah bersama Santoso ikut pelatihan militer pada pertengahan 2000-2011. Pemuda Islam di Poso banyak direkrut. Menurut Andi, pelatihan berlangsung dalam beberapa angkatan. Dalam satu angkatan pelatihan, setidaknya 20-30 pemuda terlibat. Mereka berlatih baris berbaris, latihan fisik, menembak, dan strategi tempur lainnya. Ada kalanya, dari berbagai angkatan, mereka berlatih bersama. "Kami berlatih di Gunung Biru," kata Andi.
Selama latihan, Andi mengenal Santoso paling pintar dalam pemetaan wilayah. Berbekal perangkat Global Positioning System dan peta yang terbuat dari kertas, Santoso lihai mengenali wilayah hutan alam yang masih lebat di Poso. Ia tahu di mana tempat yang aman dan lokasi yang berbahaya. Selain cakap dalam pemetaan wilayah, Santoso jago menembak menggunakan AK-47.
Menurut Andi, dari mereka yang berlatih, sebagian adalah anak muda yang sebenarnya latar belakang agamanya biasa-biasa saja. Andi mengakui, di masa mudanya, ketika masih sekolah menengah atas, ia kerap mabuk, menenggak minuman tradisional saguer-hasil fermentasi nira pohon enau. Di Poso dan sejumlah tempat di Sulawesi, minuman ini dikenal dengan sebutan minuman CT atau Cap Tikus. "Santoso seperti anak muda lainnya, suka minum juga," ujar Andi.
Menurut Andi, konflik komunal di Poso membuat anak-anak muda Poso bergabung dalam pelatihan itu. Mereka juga kian rajin memperdalam ilmu agama. Banyak dari mereka hidupnya berubah total. Dari yang semula pemabuk, ikut dalam pelatihan. Andi mengingat, instruktur tadrib atau pelatihan perang kebanyakan dari Jawa.
Andi tidak ingat nama-nama mereka, tapi yang masih dia ingat adalah salah satu dari saudara kandung Amrozi, pelaku bom Bali I yang telah dieksekusi mati di Nusakambangan. Instruktur lain yang Andi kenal adalah Joko. Andi tidak tahu nama lengkap Joko. Menurut mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai, yang dimaksud Andi adalah Joko Purwanto alias Galih Setiawan. Menurut Ansyaad, instruktur punya pengalaman bertempur di Mindanao, Filipina, dan Afganistan.
Joko Purwanto ditangkap di Klaten pada Mei dua tahun lalu dan dihukum empat tahun sepuluh bulan di penjara Sragen, Jawa Tengah. Sebelumnya, pada 2010, Joko pernah ditangkap karena terlibat pelatihan terorisme di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Menurut Ansyaad, Joko merupakan orang yang bersama Santoso berbelanja senjata api dan amunisi agar tiap peserta tadrib memegang satu senjata api.
Andi mengatakan mereka yang berlatih militer juga sempat mendapat pemahaman ideologi dan jihad pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)-waktu itu-Abu Bakar Ba'asyir. Menurut Ansyaad, MMI merupakan organisasi yang bergabung dengan Jamaah Islamiyah atau JI, yang mendukung Al-Qaidah. Belakangan, Ba'asyir beda garis perjuangan dengan MMI, lalu ia mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid. "Orang-orang JI ini yang melatih anak-anak muda Poso dalam asykari," ucap Ansyaad.
Belakangan, seperti dikatakan Ansyaad dan mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara Asad Aly, Ba'asyir berbaiat ke ISIS. Namun Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim Muhammad Mahendradatta menyangkal tudingan itu.
Santoso juga memilih menjadi pengikut ISIS. Baiat Santoso kepada ISIS diunggah ke YouTube pada 30 Juni 2014. Dalam video 12,5 menit itu, Santoso menyatakan Mujahidin Indonesia Timur berbaiat kepada Daulah Islam atau Khilafah Islamiyyah-sebutan lain ISIS-dan Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpinnya. Penggalan pernyataan Santoso antara lain: "Wahai syekh kami yang mulia. Ketahuilah bahwa setiap pemuda mujahidin di sini bersamamu, mencintaimu, mendukungmu, dan menjadikanmu amir dan panutan dalam jihad fi sabilillah di wilayah kami. Dan kami di wilayah Indonesia timur adalah tentara-tentaramu dan batu bata penopang Daulah Islamiyyah yang engkau pimpin."
Pernyataan baiat Santoso ini tersebar di dunia maya berkat bantuan Bahrunnaim Anggih Tamtomo atau Bahrun Naim. Lulusan Universitas Sebelas Maret, Solo, ini kini berada di wilayah ISIS di Suriah. Bahrun Naim juga menyebarkan ancaman Santoso yang akan menduduki Istana Negara serta ancaman "konser akhir tahun" menjelang Natal dan tahun baru lalu. Menurut Ansyaad Mbai, Bahrun Naim menjadi simpul komunikasi dan aliran uang dari ISIS ke Indonesia, termasuk ke Santoso. "Bahrun Naim berkomunikasi intensif dengan empat jaringan teroris utama, Bekasi, Solo, Malang, dan Poso," ujar Ansyaad.
Petinggi Densus 88 mengatakan Santoso terhubung dengan pelaku bom di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, melalui Muhammad Ali. Selanjutnya, Ali mengajak tiga pelaku lain, Dian Juni Kurniadi, Sunakim alias Afif, dan Ahmad Muhazan, membesuk pemimpin Jamaah Anshor Daulah, Aman Abdurrahman, yang mendekam di penjara Kembang Kuning, Nusakambangan, karena dihukum bersalah mendanai pelatihan terorisme di Jalin, Jantho, Aceh. Mereka juga bertemu dengan Iwan Rois, narapidana mati kasus bom Kuningan, Jakarta. "Aman itu amir, pemimpin Anshor Daulah," kata Kepala Polri Badrodin Haiti.
Dalam dokumen intelijen, Muhammad Ali yang kelahiran Jakarta, 17 Maret 1976, pernah terlibat perampokan Bank BRI di Lampung sebagai bagian dari fa'i, mencari pendanaan dengan cara merampok. Selain itu, Ali pernah mengirim senjata, power bank, jas hujan, dan perlengkapan lain yang dibeli di Pasar Senen, Jakarta. Barang-barang itu dikirim ke Sabar Subagyo alias Daeng Koro ke Poso melalui Makassar dari Tanjung Priok. "Ali pintar menyamar, jadi sopir angkot, padahal ia berpengalaman dalam terorisme," ujar pejabat intelijen negara.
Sunudyantoro, Amar Burase (Poso), Dewi Suci Rahayu (Jakarta)
Jejak Abu Wardah
LAHIR dan besar di Poso, Sulawesi Tengah, Santoso akrab dengan kerusuhan antar-umat beragama di wilayah tersebut. "Karier"-nya dimulai dengan menjadi komandan desa ketika perang agama meletus di Poso. Kiprah lelaki yang biasa dipanggil Abu Wardah ini makin berkibar setelah Poso menjadi medan pelatihan angkatan perang mujahidin.
Kepolisian meyakini kelompok Santoso menjadi dalang teror di Poso dalam beberapa tahun terakhir. Bersama kelompoknya, Santoso bersembunyi di dalam hutan dan pegunungan Koroncopu, Tambarana, Poso Pesisir Utara. Pada 10 Januari lalu, Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti menargetkan penangkapan Santoso dalam waktu 60 hari, yang berarti berakhir 10 Maret mendatang.
1998
Santoso menjadi komandan kelompok Islam pada akhir Desember 1998 saat konflik antar-agama meletus di Poso. Poso mulai kedatangan mujahidin dari berbagai daerah.
2003
Santoso divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Palu atas kasus kepemilikan senjata api dan percobaan pembunuhan.
2006
Santoso merampok mobil boks berisi barang kelontong di perbatasan Poso-Parigi Moutong. Perampokan ini merupakan operasi fa'i alias pengumpulan dana untuk pembiayaan teror.
2009
Mustofa alias Abu Tholut menyelenggarakan pelatihan perang di Poso. Tugas Santoso adalah mengumpulkan calon peserta dan menentukan lokasi pelatihan. Hingga 2013, sudah ada sembilan angkatan perang.
Oktober 2009
Abu Tholut menemui Santoso di Poso, ingin menjadikan Poso sebagai qoidah amanah negara Islam.
Maret 2010
Santoso pergi ke Solo untuk mendiskusikan taktik perang dengan kelompok Dulmatin. Santoso kembali ke Poso sesaat setelah mendengar Dulmatin tewas ditembak polisi di Jakarta.
Mei 2011
Santoso diduga terlibat penembakan tiga polisi di BCA di Kota Palu. Dua polisi tewas akibat serangan ini.
Oktober 2012
Mujahidin Indonesia Timur mengeluarkan surat tantangan kepada Detasemen Khusus Antiteror Markas Besar Polri. Mereka menantang kepolisian berperang secara terbuka.
Desember 2012
Santoso meretas situs milik Kompi Kavaleri Intai 2 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
Juni 2013
Peledakan bom bunuh diri terjadi di Markas Kepolisian Resor Poso. Seorang pelaku yang diduga anggota jaringan Santoso tewas akibat ledakan bom ini.
Juli 2013
Santoso muncul di YouTube. Dia menyatakan rasa bangga atas perlawanan warga Poso kepada Detasemen Khusus Antiteror Polri.
Juni 2014
Kelompok Santoso membaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Januari 2015
Kelompok Santoso meneror warga Desa Tengkura, Poso, minta disiapkan kebutuhan logistik. Empat penduduk sipil tewas diserang kelompok bersenjata.
BIODATA
Mereka yang Diburu
Polri sudah mengeluarkan daftar pencarian orang yang terkait dengan jaringan Santoso.
1.Santoso alias Abu Wardah--pemimpin Mujahidin Indonesia Timur
2.Basri alias Bagong--divonis 19 tahun penjara akibat kasus kekerasan di Poso 2004-2006; melarikan diri pada 19 April 2013
3.Ali Kalora alias Ali Ambo (Desa Kalora, Poso)
4.Can alias Fajar alias Muh Fuad (asal Bima)
5.Faris Bima (asal Bima)
6.Nasir alias Cecep (asal Bima)
7.Sogir alias Yanto alias Mas Yanto (asal Bima)
8.Taufik Buraga alias Upik Lawanga (Poso Kota Utara)
9.Moh. Basri alias Bagong (Poso Kota)
10.Mamat
11.Hamdra Tamil alias Papa Yusran alias Man (Desa Labuan, Poso)
12.Nanto Bojel
13.Mukhtar (Palu)
14.Ibad
15.Samil alias Nunung (Tamanjeka, Poso Pesisir)
Polisi juga berhasil menangkap anggota jaringan ini. Sebagian di antaranya tewas setelah baku tembak dengan aparat.
1.Daeng Koro alias Sabar (tewas)
2.Hendro (tewas)
3.Asmar alias Abu Uswah (tewas)
4.Joko alias Tato (tewas)
5.Farid alias Imam (tewas)
6.Aziz Tamanjeka (tewas)
7.Eno (tewas)
8.Ambo Intang (tertangkap)
9.Suhail alias Gondong (tertangkap)
10.Herman alias David (tertangkap)
11.Imron alias Legenda (tertangkap
12.Busro (tertangkap)
13.Agus alias Untung (tertangkap)
14.Ali Sanang (tertangkap)
Naskah: Wayan Agus Purnomo | Sumber: PDAT, Polri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo