Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cenderawasih di Ujung Tenggat

Menjelang berakhirnya periode pengucuran dana otonomi khusus pada 2021, berbagai demonstrasi terjadi di Papua. Sejumlah kelompok menolak perpanjangan dana otonomi khusus dan menuntut referendum. Untuk meredam gejolak, Kementerian Dalam Negeri mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah mahasiswa Manokwari menggotong peti mati sebagai bentuk penolakan rencana penerapan Otsus Jilid 2, di Manokwari, Papua, Juli 2020. Jubi/Hans Arnold Kapisa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua bulan menjelang berakhirnya tenggat pemberian dana otonomi khusus, suhu politik di Papua memanas.

  • Dewan Perwakilan Rakyat meminta Kementerian Dalam Negeri mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

  • Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yakin sebagian besar pemangku kepentingan di Papua setuju dengan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus.

DUA dekade seusai peraturan perundang-undangan itu disahkan, satu ayat pendek kini menjadi masalah panjang. Diteken Presiden Megawati Soekarnoputri pada bulan keempat masa pemerintahannya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua semula dirancang sebagai kompromi politik untuk mengakhiri ketegangan lama antara Jayapura dan Jakarta. Kini gelombang perlawanan di Papua mengancam keberlangsungan perjanjian itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayat yang dimaksud ada dalam pasal 34 tentang keuangan. Di ayat 3 bagian C nomor 6 diatur bahwa penerimaan Provinsi Papua dalam rangka otonomi khusus berlaku selama 20 tahun. Itu artinya tahun depan privilese yang dinikmati Pemerintah Provinsi Papua—dan belakangan Papua Barat—berupa dana sebesar 2 persen dari total dana alokasi umum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tak lagi mengucur. Hanya ada satu ayat lain di pasal yang sama yang menegaskan bahwa setelah tenggat itu, pembagian dana akan “diatur secara adil dan berimbang”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Massa menolak Otonomi Khusus (otsus) Papua Jilid II di Nabire, Papua, 24 September 2020. Jubi/Titus Ruban

Sejak akhir September lalu, berakhirnya periode pengucuran “dana otsus”—demikian dana ini biasa disebut—sudah memicu serangkaian unjuk rasa. Tak hanya di Papua, para pemuda dan mahasiswa asal Papua di berbagai wilayah di Indonesia juga turun ke jalan. Aspirasi mereka senada: dana otsus gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Papua. Mereka menilai kini saatnya Papua menggelar referendum.

•••

BARU satu jam menggelar unjuk rasa di gerbang Universitas Cenderawasih, Abepura, Jayapura, Ayus Heluka dan ratusan mahasiswa lain diminta balik kanan. Senin, 28 September lalu, sejak pukul 9 pagi, mereka sudah menggelar berbagai spanduk berisi penolakan atas berlanjutnya skema dana otonomi khusus di depan pagar kampus mereka.

Di hadapan polisi yang memaksa mereka bubar, Ayus meminta izin melanjutkan aksi long march ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua. “Kalau dibubarkan begini saja, aspirasi kami mau disampaikannya ke mana?” kata Ayus kepada aparat keamanan, seperti dituturkannya lagi kepada Tempo, Rabu, 30 September lalu.

Tapi negosiasi buntu. Sekitar pukul 10 pagi, sejumlah polisi mulai menurunkan spanduk mahasiswa yang dibentangkan di depan pagar kampus. Mahasiswa melawan dan mencoba merebut kembali spanduk mereka. Bentrokan tak terelakkan. Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa, yang dibalas dengan lemparan batu. Ayus dan dua kawannya sesama mahasiswa Fakultas Hukum dicokok polisi.

Di Makassar, momentum berakhirnya skema dana otonomi khusus juga disambut demonstrasi mahasiswa Papua. Di sana aksi digelar Forum Solidaritas Peduli Rakyat Papua pada Jumat, 25 September lalu. Sama seperti demonstrasi di Jayapura, aksi itu berujung ricuh. Bedanya yang membubarkan unjuk rasa mereka bukan polisi, melainkan sekelompok orang tak dikenal.

Ketika mahasiswa Papua bersiap berjalan kaki dari asrama mereka ke Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat, sekelompok orang menghadang dan melempari mereka dengan batu. Ada juga yang memukuli mahasiswa dengan helm. Akibat serangan itu, mahasiswa Papua urung keluar dari asrama.

Sehari sebelumnya, ribuan orang yang menamakan diri Petisi Rakyat Papua berunjuk rasa di depan kantor Kepolisian Resor Nabire. Gabungan massa dari berbagai organisasi kemasyarakatan adat dan gereja itu semula hendak berdemo di depan kantor Bupati Nabire. Namun polisi memblokade sejumlah ruas jalan dan mengarahkan mereka ke kantor polisi.

Salah satu pemimpin unjuk rasa, Kepala Suku Dani Damal Dougwa dan Nayak, Ayub Wenda, menegaskan bahwa demonstrasi itu bertujuan menyampaikan penolakan massa atas otonomi khusus. “Otsus jilid I sudah almarhum. Jadi tidak ada otsus jilid II,” ujar Wenda. Tuntutan tertinggi gerakan Petisi Rakyat Papua adalah penyelenggaraan referendum di Bumi Cenderawasih.

Gerakan Petisi Rakyat Papua sendiri digagas sejak Juli lalu. Beranggotakan puluhan organisasi kemasyarakatan sipil di Papua, mereka sepakat menolak segala bentuk upaya perpanjangan skema dana otonomi khusus oleh pemerintah pusat di Jakarta. Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi politik yang kerap mengkampanyekan kemerdekaan Papua, adalah salah satu motor gerakan ini.

Peran Komite Nasional terlihat dari posisi juru bicara Petisi Rakyat Papua yang dirangkap Victor Yeimo. Dia juga juru bicara untuk KNPB. “Kami bergerak atas keinginan dan kesamaan pandangan melalui petisi ini untuk menentukan nasib kami sendiri,” kata Victor. Jika tuntutan mereka tak didengar, Victor mengancam akan ada mogok massal di seluruh Papua. “Biarkan kami menentukan nasib kami sendiri,” tuturnya.

Bersamaan dengan geliat para aktivis di Papua, jejaring mereka di luar negeri juga bergerak. Juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Sebby Sambom, mengaku rutin berkoordinasi dengan Komite Persatuan dan Asosiasi Vanuatu-Papua Barat, organisasi yang mendukung kemerdekaan Papua Barat. “Kami minta Perdana Menteri Vanuatu bicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa soal kondisi hak asasi manusia di Papua,” kata Sebby.

Permintaan Sebby direspons pada 25 September lalu. Duta Besar dan Wakil Tetap Vanuatu di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Sumbue Antas, berpidato menuding pemerintah Indonesia terlibat pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. “Warga Papua Barat kehilangan kebebasan untuk hidup damai,” ucapnya. Sumbue juga mempersoalkan insiden penembakan pendeta Yeremias Zanambani di Intan Jaya, Papua, pada pertengahan September lalu.

Kementerian Luar Negeri Indonesia menolak semua tudingan itu. Dalam tanggapannya, diplomat Indonesia, Silvany Austin Pasaribu, meminta Vanuatu berhenti mencampuri politik dalam negeri Indonesia. “Kami menghargai keberagaman dan toleransi,” kata Silvany.

•••

SETELAH dua puluh tahun dikucuri triliunan rupiah dana otonomi khusus, kehidupan sosial dan ekonomi rakyat Papua memang belum berubah banyak. Padahal saban tahun jumlahnya terus bertambah. Dalam 15 tahun terakhir, porsi dana otsus naik hingga 290,57 persen. Dari Rp 1,38 triliun pada 2002 menjadi Rp 5,39 triliun pada 2017.

Data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada awal tahun ini menyebut Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Papua menempati urutan pertama dengan persentase kemiskinan sebesar 26,55 persen dari total penduduk, disusul Papua Barat dengan 21,51 persen.

Kondisi ini bukannya tak disadari pemerintah pusat. Pada akhir 2008, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia merilis laporan bertajuk Papua Road Map yang berisi kajian berbagai masalah di Papua, termasuk dana otonomi khusus. Riset itu menemukan bahwa dampak dana otsus belum dirasakan menyeluruh oleh masyarakat Papua. Padahal dana jumbo ini seharusnya dibelanjakan untuk peningkatan kehidupan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan mengindikasikan hal serupa. Banyak kasus penyelewengan dana ini di lapangan.

“Penelitian itu sebetulnya early warning bagi pemerintah,” ujar Adriana Elisabeth, salah satu peneliti LIPI untuk Papua. Dia menyayangkan kondisi Papua yang belum berubah sejak riset itu dilakukan 12 tahun lalu.

Bisa jadi karena tak mau kondisi itu berulang, Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat belakangan rajin bertemu dengan berbagai pihak soal perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus ini. Pada awal September lalu, kedua lembaga itu datang ke Jakarta dan menemui sejumlah elite di Ibu Kota. Selain bertemu dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri, mereka menemui pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Ketua Majelis Rakyat Papua Barat, Maxsi Ahoren, mengatakan kedatangan mereka untuk memastikan bahwa naskah revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 benar-benar berisi aspirasi rakyat Papua. “Kami ingin menggelar rapat dengar pendapat dulu di Jayapura, untuk meminta masukan,” kata Maxsi. Dia berharap naskah revisi yang dibahas di Jakarta berasal dari urun rembuk para pemangku kepentingan di Papua.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik irit bicara soal permintaan Majelis Rakyat Papua. “Itu cuma pertemuan silaturahmi. Yang jelas, kami terbuka untuk diskusi,” ucap Akmal.

Selain Majelis Rakyat Papua, Pemerintah Provinsi Papua sudah bergerak. Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo mengaku diminta Gubernur Papua Lukas Enembe membuat kajian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. “Itu atas permintaan Pak Gubernur karena Pak Gubernur diminta oleh pemerintah pusat,” ujar Apolo kepada Tempo.

•••

DI Jakarta, segera berakhirnya skema dana otonomi khusus sebenarnya direspons sejak awal September lalu. Dalam sebuah rapat konsultasi yang dipimpin Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo dan dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. serta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, pemerintah memastikan akan merevisi Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat. Anggota MPR dari Papua, Yorrys Raweyai, membenarkan adanya rapat itu.

“Dalam rapat itu, sempat ada perdebatan soal siapa yang dapat mengajukan usul perubahan atas peraturan otonomi khusus ini,” kata Yorrys. Dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 disebutkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan melalui Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua kepada DPR atau pemerintah. Kementerian Dalam Negeri menilai pasal itu tidak mengurangi kewenangan pemerintah pusat untuk berinisiatif mengajukan amendemen.

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Ketua Timotius Murib, membuka rapat pembentukan panitia kerja RDP Otonomi Khusus Papus, di Jayapura, Juli 2020. Dokumentasi Humas Majelis Rakyat Papua

Yang menarik, dalam rapat itu juga mengemuka usul kenaikan nilai persentase dana otonomi khusus, dari yang semula 2 persen dari dana alokasi umum menjadi 2,25 persen. Menteri Mahfud Md. menegaskan, pemerintah siap mengakomodasi kenaikan tersebut. “Minta naik, ayo. Cuma nanti kita atur. Minimal tak seperti dulu,” tutur Mahfud. Dia berharap kenaikan dana otsus bisa sampai kepada mereka yang membutuhkan di lapis terbawah masyarakat.

Ketua Komisi Pemerintahan Dalam Negeri di DPR, Ahmad Doli Kurnia, memastikan rancangan perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua masuk Program Legislasi Nasional 2020. Tapi, kata dia, hingga 1 Oktober lalu, Senayan belum menerima naskah perubahan dari Kementerian Dalam Negeri.

“Ini tergantung pemerintah. Kalau waktu mepet, yang paling memungkinkan pemerintah menerbitkan perpu,” ujar Doli Kurnia. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik tak merespons saat dimintai tanggapan mengenai kapan naskah perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus ini akan diajukan.

Untuk meredam gejolak penolakan di Papua, menurut Mahfud, Kementerian Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan sudah aktif mendekati berbagai kalangan di Papua. “Sekitar 90 persen rakyat Papua tidak mempersoalkan status otonomi khusus,” kata Mahfud dalam konferensi pers online, pekan lalu. “Yang ngomong hentikan otsus hanya di media sosial dan orang-orang tertentu,” ujarnya.

DEVY ERNIS, EGI ADYATAMA, HUSSEIN ABRI, WAYAN AGUS PURNOMO, JUBI 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus