Jalan menuju makrifat lewat tarekat yang berkembang di Indonesia punya akar dari abad lampau. Berbagai metode zikir, tapi bertujuan satu: pendekatan pada Tuhan. PADA awalnya, tasawuf atau jalan sufi hanya milik pribadi seorang sufi atau elite kerohanian. Mereka umumnya memang mampu mencapai jalan dengan kemampuan sendiri. Itu berlangsung pada masa puncak tasawuf, antara abad ke-8 dan ke-13. Dalam perkembangan kemudian, menurut Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, tasawuf pun diminati kalangan lebih luas, dan tak semuanya bisa disebut elite kerohanian. Mereka tak bisa mencari jalan sendiri menuju tasawuf. Orang-orang itu memerlukan bimbingan. Ketika itulah mulai ada kelompok yang terdiri dari guru dan murid. Karena tiap guru mengajarkan jalan sendiri-sendiri, lahirlah berbagai tarekat atau cara bertasawuf -- konon puluhan, bahkan ratusan tarekat. Berdasarkan konsensus para ulama sedunia, kini hanya terdapat 41 macam tarekat. Sementara Jam'iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Muktabarah Al-Nahdliyyah (Himpunan Ahli Tarekat Sah di NU) mengesahkan 45 tarekat. Di Indonesia, sejumlah tarekat yang kini masih hidup punya akar pada abad ke-12, ke-13, dan ke-14. Antara lain Tarekat Qadiriyyah, Rifa'iyyah, dan Naqsabandiyah. Tersebut terakhir, konon, tarekat yang populer, baik di Indonesia maupun di dunia. Naqsabandiyah Di sebuah jalan di Kota Medan, di sebuah rumah merangkap surau, tinggallah Kadirun Yahya. Beliau kini 74 tahun. Dari rumah inilah, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia di zaman kemerdekaan disebarluaskan ke seluruh Indonesia, terutama Sumatera dan Jawa, sejak 1950-an. Kini, kabarnya, tarekat ini punya 11 juta pengikut. Uniknya, baik di Sumatera maupun di Jawa, tak ada sebuah tanda yang bisa disebut sebagai pusat Naqsabandiyah -- misalnya sebuah pondok atau pesantren besar. Kadirun sejak mula menyebarkan tarekat yang berasal dari Bukhara (kini di Soviet), yang didirikan oleh Muhammad Baha'u Al Din Al Uwaisi Al Bukhari Al Naqsyabandi pada abad ke-14 ini, lewat kelompok-kelompok kecil di surau-surau. Suatu cara yang boleh dibilang "diam-diam", sesuai dengan prinsip zikir Naqsabandiyah yang harus diucapkan hanya dalam hati. Meski tanpa "markas besar", dilihat dari organisasinya, Naqsabandiyah (Indonesia) yang didirikan oleh bekas perwira menengah di zaman perang kemerdekaan ini tergolong rapi. Di sejumlah kota terdapat apa yang dinamakan Badan Koordinasi Surau. Badan ini mengelola sejumlah surau atau langgar di wilayah masing-masing. Tiap Badan Koordinasi berhubungan dengan Ketua Badan di Medan, yakni Iskandar Zulkarnain, anak sulung Kadirun. Berkembangnya Naqsabandiyah, bila ditengok ke belakang dan terbatas di wilayah Sumatera, memang sudah sejak abad ke-19. Pada abad itu sebagian besar ulama di Sumatera pengikut Naqsabandiyah. Kadirun Yahya sendiri berkenalan dengan tarekat di Sumatera Barat pada waktu perang kemerdekaan. Gurunya, Sayid Syekh Muhammad Hasyim. Munculnya tokoh Syekh Haji Jalaluddin di Bukittinggi, murid Syekh Ali Ridla Ibnu Syekh Sulaiman Zuhdi di Mekah, punya pengaruh besar pada perkembangan Naqsabandiyah selanjutnya. Haji Jalaluddin begitu berwibawa di kalangan tarekat segala aliran, hingga ia bisa menyatukan masyarakat pengikut jalan menuju tasawuf ini. Sampai-sampai pada pemilihan umum 1956, berdiri Partai Politik Tarekat Indonesia. Menurut Tarekat Naqsabandiyah, upaya mendasar untuk menuju ridla Allah adalah dengan penyucian hati. Usaha itu dapat dilakukan lewat zikir dengan membaca "Allah, Allah" sebanyak-banyaknya. Karakteristik tarekat Naqsabandiyah yang paling menonjol adalah dalam hal zikir tanpa suara, sambil menegakkan lidah ke langit-langit. Jumlah zikirnya tergantung pada maqam (tingkatan) penganutnya. Pada tingkat pertama, misalnya, cukup 500 kali. Lalu, pada tingkat-tingkat selanjutnya 1.000 kali. Sebagaimana aliran sungai yang menuju ke laut, di tengah jalan bisa saja ada sungai-sungai lain bergabung. Tarekat Naqsabandiyah pun ada yang tetap hanya Naqsabandiyah, atau lahir pula Naqsabandiyah plus. Naqsabandiyah Babussalam Di Kecamatan Padang Tualang, Langkat, Sumatera Utara, terdapat Pesantren Tarekat Naqsabandiyah Babussalam. Nama "Babussalam" rupanya berasal dari pendirinya, yakni Tuan Guru Syekh Abdul Wahab Rokan Al Khalidi Bagsabandi, yang terkenal dengan sebutan Syekh Babussalam. Di tarekat yang didirikan pada 1883 ini, selain amalan zikir, untuk mencapai penghayatan tertinggi, ada 44 aturan yang mesti dijalani oleh para pengikutnya. Antara lain, puasa setidaknya tiga hari dalam sebulan, tidak mempelajari ilmu sihir, dan bagi peserta pria, bila ingin beristri dianjurkan meminang anak fakir miskin. Lalu, dalam berpakaian, Syekh Babussalam menganjurkan agar memakai pakaian buruk di sebelah luar. Entah apa tujuannya. Boleh jadi, ada kaitannya dengan anjurannya untuk tidak mencintai dunia. Adapun zikir harus dilakukan secara terus-menerus, pagi, siang, sore, selagi duduk atau berdiri. Dalam keyakinan mereka, hati adalah tempat iman, sumber pancaran cahaya dan penuh rahasia. Mereka percaya, jika hati baik, anggota tubuh yang lain juga akan baik. Yang paling diutamakan oleh Naqsabandiyah Babussalam adalah salat berjamaah. "Salat berjamaah adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan di sini," ujar Syekh Anas Munawar, 71 tahun, tuan guru yang mewarisi kepemimpinan pesantren ini. Di samping itu, kata Anas pula, tiap malam Jumat diselenggarakan wirid Yassin. Lalu, setiap malam Selasa diisi dengan rahb sazaliyah, artinya mengucapkan Laa Illaha Illallah berulang kali sambil berdiri. Ditambah suluk (membayangkan wajah sang guru) terus-menerus. Di Babussalam, suluk bahkan dianggap sebagai pengganti bagi mereka yang tidak mampu pergi haji. Itu sebabnya, setiap menjelang musim haji, pesertanya bisa mencapai ribuan. Bagi para pemula, dikenakan latihan-latihan yang berat. Antara lain, dilarang makan yang bernyawa: daging, telur, dan ikan. "Supaya jangan liar nantinya," kata Syekh Anas. Kadiriyah Naqsabandiyah Inilah tarekat yang menggabungkan dua aliran besar, dipraktekkan di Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat. Pesantren itu dikenal dengan sebutan pesantren Tarekat Kadiriyah Naqsabandiyah. Kini anggotanya sekitar dua juta orang. Tersebar di seluruh pelosok Tanah Air dan di berbagai negara di ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Didirikan pada 1905 oleh Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh, sekarang Pesantren Suryalaya dipimpin oleh Abah Anom, putra Abah Sepuh. Berbeda dengan Naqsabandiyah yang mengajarkan zikir dalam hati, di Suryalaya metode zikir dilakukan baik dalam hati maupun yang diucapkan. Dan zikir yang diajarkan oleh Abah Anom antara lain harus dilakukan seusai salat wajib, yakni membaca Laa Illaha Illallah sebanyak 165 kali. Tapi, bila tak punya waktu, bisa ditawar menjadi hanya tiga kali. Soalnya, yang penting memang bukan jumlahnya, melainkan cara melafazkan dan bagaimana menghayatinya. "Zikir yang mujarab dan langsung akan terasa khasiat dan rasanya," kata K.H. Zaenal Abidin Anwar, anggota Presidium Yayasan Serba Bhakti yang mengelola Pondok Pesantren Suryalaya itu. Sebagaimana perkembangan jalan sufi bukan lagi hanya milik pribadi, manfaat amalan pun bisa juga diberikan pada orang lain. Di Pondok Suryalaya ini, misalnya, zikir, ditambah amalan-amalan tambahan seperti mandi dini hari dan salat tahajud yang dilakukan oleh misalnya santri pondok, bisa membantu penyembuhan pecandu narkotik. Apalagi bila si penderita juga ikut menjalankan amalan-amalan itu. Menurut Zaenal Abidin, antara 1981 dan 1989, dari hampir 6.000 pecandu narkotik yang berobat ke Suryalaya, lebih dari 5.400 di antaranya bisa disembuhkan. Perpaduan antara Kadiriyah dan Naqsabandiyah di Indonesia tak cuma ada di Pondon Pesantren Suryalaya. Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di Pesantren Darul Ulum, dipraktekkan juga tarekat campuran Naqsabandiyah dan Kadiriyah. Amalan yang diberikan oleh almarhum Musta'in Ramly, pendiri Darul Ulum, tak jauh berbeda dengan amalan di Suryalaya. Yakni menggabungkan zikir khafi (zikir dalam hati) dan zikir jahr (dengan suara keras) dan diucapkan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Darul Ulum kini dipimpin oleh putra almarhum, yakni K.H. Rifa'i Romli. Tijaniah Inilah tarekat yang sempat mengundang perdebatan dalam kongres ke-6 para ahli tarekat NU pada 1984. Sekitar 200 pimpinan berbagai golongan tarekat yang tergabung dalam Jam'iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu'tabarah Al-Nahdliyyah, himpunan ahli tarekat yang sah NU, mendaulat Tijaniah tidak mu'tabarah alias tidak sah. Menurut sesepuh NU Kyai Asad Syamsul Arifin (almarhum) ketika itu, "Golongan Tijaniah mendakwahkan bahwa siapa pun yang memasuki tarekat ini dijamin masuk surga bersama seluruh anggota keluarganya, tanpa hisab (tanpa ditimbang amalannya)." Para pengikut Tijaniah juga dilarang berpoligami dan menjadi makmum imam yang bukan orang Tijani. Tarekat ini berasal dari Aljazair, didirikan oleh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Al-Tijani pada abad ke-19. Dari Aljazair, Tijaniah terutama berkembang ke Maroko, Mesir, dan Sudan. Di Indonesia aliran ini mulai dikenal sejak 1921, dibawa oleh Kyai Anas dari Buntet, Cirebon. Kyai ini pula yang kemudian mendirikan Pesantren Buntet. Selanjutnya, Tijaniah meluas ke Kuningan, Malang, Probolinggo, Jember, Kraksaan, dan Madura. Para pengikut Tijaniah mengklaim bahwa Syekh Ahmad Tijani adalah wali pertama dan terakhir. Dialah yang melantik semua wali Allah. Klaim lainnya, tarekat ini merupakan akhir dari segala tarekat, yang berfungsi menghapus semua tarekat sebelumnya. Wirid tarekat ini terdiri dari 100 kali istigfar, 100 kali salawat, dan 100 kali tahlil, yang sekurang-kurangnya harus diamalkan dua kali sehari, yakni sesudah salat subuh dan asar. Di samping itu, masih ada kewajiban melaksanakan whazifah. Yakni membaca istigfar 30 kali, salawat Al-Fatihah 50 kali, membaca Laa Illaha Illallah 100 kali, lalu menutupnya dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 100 kali. Whazifah ini juga wajib dilaksanakan minimal dua kali sehari, pagi dan sore, yang terbaik malam hari. Dalam melaksanakan amalan-amalan itu, selain harus bersih jasmani, pengikut Tijaniah dilarang bicara dan harus menghadap kiblat. Dan ini yang penting, sewaktu membaca wirid dan whazifah, pengikut Tijaniah harus mampu membayangkan wajah gurunya. Entah berapa tarekat lagi yang berkembang di Indonesia. Begitu banyak yang belum tersebut. Misalnya, Khalwatiyyah, Khalidiyyah, Mazhariyyah, dan mungkin banyak lagi. Yang pasti, nama tarekat itu pada umumnya hanya membedakan soal metode amalan. Tujuannya tetap sama: mencapai pemahaman dan penghayatan yang sempurna terhadap prinsip akidah Islam, yakni tauhid, keesaan Tuhan. Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan), Achmad Novian (Bandung), dan Z. Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini