Berikut pengalaman beberapa orang yang bertasawuf, baik secara pribadi maupun yang tergabung dalam salah satu tarekat. SUTARDJI Calzoum Bachri, 50 tahun, penyair yang puisi-puisinya dianggap bernapaskan religius. Bapak satu anak itu kini menjadi redaktur majalah sastra Horison, dan sebuah majalah remaja. "Seperti yang dikatakan Al Junaid, sufi besar, tasawuf adalah cara mengenal Tuhan lewat Tuhan. Jadi, bukan pandangan akal, pandangan orang, atau kemampuan manusia, melainkan mengenal Tuhan, melihat Tuhan, menemukan Tuhan lewat Tuhan sendiri. Caranya, dengan melakukan berbagai disiplin atau riyadlah, seperti berzikir, puasa, salat wajib, dan sunat. Sehingga lama-kelamaan kita 'naik' dan mencapai makrifat. "Sebenarnya, cara hanyalah pilihan yang bisa kita lakukan dalam tarekat. Menurut pandangan sufi, seseorang bisa 'melihat' Tuhan, bukan karena usaha tetapi karena Tuhan yang menentukannya. Namun, kita harus berusaha. Tapi bisa saja ada seorang yang tiba-tiba saja 'diangkat' menjadi seorang sufi atas kehendak-Nya. "Saya sendiri tidak dengan secara tiba-tiba. Saya sebagai orang biasa tentu dengan proses dan belajar. Saya ikut aturan umum yang sudah ada. Membaca buku-buku tasawuf, seperti karangan Ibnu Athoillah Assukandari, Asy Syaikh Abdul Majid al Adawiy atau Ibn Arabi, dan Imam Ghazali. Sufi yang paling saya kagumi adalah Jalaluddin Rumi. "Sebetulnya saya ini bukan orang tasawuf, saya malu dan takut takabur. Awak kan seniman. Seperti Jalaluddin Rumi bilang, 'Apakah engkau bisa memetik mawar dari huruf M. A. W. A. R.' Ini artinya apakah sebagai seorang penulis, apakah engkau bisa memetik keindahan kehidupan sehari-hari seperti yang engkau tulis. "Awalnya saya memilih jalan sufi, tidak ubahnya seperti cerita detektif mencari penjahat. Nah, yang dicari sufi itu adalah Tuhan. Cara yang dilakukan juga penuh lika-liku. Sebagai seorang penyair, saya suka sekali mendengar dan membaca tentang pencarian ini. Karena saya tertarik, maka secara tak langsung saya mencari jalan kesufian ini. "Sejak awal (juga dalam jejak kepenyairan), kegelisahan saya adalah kegelisahan mencari Tuhan. Ini bisa dibaca di kumpulan puisi saya berjudul O, Amuk dan Kapak yang penuh dengan perasaan kesepian dan kerinduan akan Tuhan. "Di sajak O saya mencari Tuhan dengan sia-sia, nihil, kosong. Saking kesalnya saya dalam mencari Tuhan yang tidak juga jumpa, maka muncullah sajak Amuk. Saya marah, saya mengamuk ke sana-sini, mencari Tuhan. Tapi tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya saya redam diri saya dan lahirlah baris puisi yang berbunyi 'Kembalilah Seadamu atau Seada-Mu'. "Dalam proses pencarian ini, memang saya seakan beralih dari satu tahap ke tahap yang berikutnya. Tetapi tetap dalam inharmoni, tidak terpatah. Dulu saya mencari Tuhan lewat kepenyairan saya. Saya kira dengan cara itu saya akan 'sampai' kepada Allah, tapi akhirnya saya mengakui bukan dengan cara itu saya akan berhasil. Dulu kuminta Tuhan dalam diri sekarang tak, jadi kalau saya mau mencari Tuhan bukan lewat kepenyairan tapi kembali ke syariat. "Secara khusus memang tidak ada orang yang menjadi guru saya. Dulu memang pernah ikut sebuah kelompok tarekat. Tapi, saya merasa 'tidak kuat', mungkin Tuhan tidak menyuruh saya dengan cara itu. Kalau mau dicari titik baliknya, ini terjadi kira-kira sepuluh tahun yang lalu. "Ketika saya bertemu dengan Daud Beureueh di Aceh tahun 1987, dia dalam keadaan sakit dan terbujur. Tiba-tiba saya merasa 'diri' saya hilang dan berteriak, 'Allah, Allah, Allah', dengan badan tergetar. Peristiwa ini juga memberi hikmah, bahwa saya harus 'hati-hati' terhadap orang yang sudah sampai pada tingkat wali sekaligus mengambil pelajaran dari sang wali. Sejak itu pula saya merasa lebih 'peka' merasakan getaran keimanan. Tasawuf bagi diri saya adalah semacam 'alat ukur' bagi diri saya. Dengan memahami tasawuf, saya bisa menilai seberapa kotornya diri saya. Saya tidak akan ngotot mencari Tuhan dengan cara ini, sebab itu pun sudah berarti nafsu." Dwito Hermanadi, 24 tahun, seorang aktivis mahasiswa ITB. "Saya bukan pengikut tarekat. Tapi waktu saya banyak saya gunakan untuk salat dan berzikir. Berzikir dalam hati sekalipun. Sedang apa saja, tetap terus berzikir dengan ucapan Subhanallahu walla illaha illahu, dan seterusnya. Saya hanya menjalankan apa yang menjadi sunah Nabi. "Saya lebih mengenal Islam kaffah, secara keseluruhan, ketika di tahanan Bakorstanasda, Jawa Barat, akibat saya ikut dalam Peristiwa 5 Agustus 1989 di ITB. Selama tiga bulan itu saya merasa tidak ada kekuasaan yang lebih besar ketimbang Allah. Dalam tahanan itu, selain menjawab interogasi terus-terusan, saya banyak salat dan ngaji. Untuk salat tahajud agak sukar saya laksanakan karena harus keluar sel malam-malam. "Di situlah saya pasrah kepada Allah. Saya dibebaskan 9 Desember 1989. Saya gembira sekali. Doa saya kepada Allah terkabulkan. Tapi, selepas dari situ, saya terlarut dalam keceriaan. Salat saya sering tertinggal, banyak melakukan hal-hal yang dilarang agama. Hal itu membuat saya merasa hina. Dan saya berpikir, kalau begini terus, lebih baik saya hidup di penjara saja, jauh dari segala godaan. "Dalam kegundahan itu saya ketemu Pak Udin, purnawirawan Angkatan Darat. Kata Pak Udin, seperti dalam Quran kalau kita sakit atau gundah, itu berarti ada dua indikasi. Pertama, indikasi adanya hukuman. Kedua, itu pertanda cobaan. Untuk itu harus pasrah kepada Allah. "Cobaan menimpa saya lagi. Selama dua bulan saya sakit flu perut. Sakit itu ternyata membawa hikmah. Selagi sakit, saya membaca salah satu ayat Quran. Di situ disebutkan bila kita sakit perut, berarti ada sesuatu yang harus dibersihkan. Hal ini makin menguatkan saya untuk membersihkan diri. "Bermain bola atau basket, tak lagi saya jalani. Olahraga saya cukup jalan kaki saja. Saya melihat, hobi yang pernah saya lakukan dulu hanya menyebabkan kita lupa waktu. Bahkan nonton acara sepak bola di TV pun tak lagi saya lakukan. Itu sesuai dengan surat Al 'Ashr (Waktu) yang berbunyi, 'Demi waktu, bahwa sesungguhnya manusia itu merugi.' "Soal busana, celana jeans saya sudah saya simpan semua. Karena jeans itu sangat ketat, dan hanya memperlihatkan bentuk tubuh. Saya hanya memakai pantalon dan lengan panjang. Musik, yang dulu saya senangi, saya tinggalkan. Saya hanya mendengarkan khotbah di radio atau kaset Nasyid -- puji-pujian kepada Allah tanpa iringan musik. "Saya memang ingin selalu dekat dengan Allah. Wawancara ini pun, hitung-hitung, berdakwah." Jenderal (Purn.) Yoga Soegama, 66 tahun, bekas Kepala Bakin. "Ajaran tasawuf bagi saya itu untuk saya pribadi. Secara sederhana, saya mengartikan ajaran ini untuk membantu saya memudahkan mendekatkan diri kepada Tuhan. Saya memang tumbuh di keluarga religius. "Sekitar 10 tahun yang silam, secara tidak langsung saya menemukan cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, lebih merasa mencintai Tuhan. Saya membaca tentang Abah Sepuh, ayah Abah Anom dari Pesantren Suryalaya. Hati saya tergetar. Hati saya terdorong untuk ke sana dan saya menganggap Tuhan memberi jalan untuk membawa anak saya untuk ditolong. Saya anggap ini petunjuk, maka saya masuk ikhwan Suryalaya. Saya mengikuti Tarekat Kadiriyah Naqsabandiyah. Saya tak bisa menjelaskan kenapa saya cocok dengan tarekat ini. Karena ini soal perasaan. "Tasawuf mempermudah jalan ibadat. Ibaratnya kan ada berbagai cara untuk membuka sebuah pintu. Bisa pakai palu, linggis, atau apa saja. Nah, saya lebih suka pakai kunci. "Kalau kita sudah bisa mencintai Tuhan dan kita merasa mendapat 'tanggapan', rasanya nikmat sekali. Saya merasakan kenikmatan beragama. Artinya, saya puas dengan kehidupan ini. Dengan mencoba mendalami akidah dan syariah saya mencoba bertakwa. Saya jadi merasa lebih mampu mengontrol pengaruh godaan-godaan duniawi. "Tentu saja saya tak tetap manusia yang ada kalanya lupa. Tapi pengalaman bertasawuf membuat saya cepat sadar. Kalau kepuasan dalam hidup dan dekat pada Tuhan, itulah rasanya sudah bahagia. Buat saya yang sudah semakin tua, mendalami tasawuf adalah sesuatu yang lebih menolong kita menemukan petunjuk. Humornya begini, seandainya ada orang yang mudanya disebut buaya, ya kalau bisa sebelum mati, jadilah buya. Tapi ini humor saja, lo. "Meski saya mengikuti ajaran tasawuf, saya tak ingin mengisolasi diri. Kalau hanya untuk berkontemplasi sesekali, tak apa. Tapi saya percaya kita manusia yang punya tanggung jawab sosial. Dan sebenarnya dengan tasawuf menambah kegairahan hidup, untuk melakukan yang terbaik. "Saya juga senang dengan diskusi ramai-ramai sehabis salat isa di Suryalaya. Misalnya ada yang bertanya kenapa kita harus naik haji. Kalau kita menjawabnya bahwa itu rukun Islam kelima, ya semua juga sudah tahu. "Menurut pengalaman saya, dalam naik haji kita ini sedang diberi petunjuk bahwa demikianlah jalan hidup kita sesudah kita meninggal. Jadi, semacam gladi resik, begitu. Insya Allah, tahun ini saya naik haji."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini