Ada terasakan meningkatnya pengikut tasawuf di kota-kota besar. Buku-buku tasawuf laris, di beberapa kampus muncul kelompok peminat jalan sufi ini. TASAWUF lahir dari kebimbangan. Setidaknya itulah yang terjadi pada Imam Al Ghazali. Imam yang wafat pada abad ke-12 ini meraih hal-hal yang duniawi dalam usia 34 tahun lewat ilmu pengetahuan yang ia miliki. Namun, ia selalu bimbang, mengapa dirinya merasa kurang dekat dengan Allah. Pertanyaan itu lama tak bisa dijawab oleh profesor di Universitas Nizamiah, Baghdad, ini. Maka, ia pun jatuh sakit fisik dan mental. Rupanya, sesuatu muncul di dalam hatinya. Maka, begitu sembuh, ia segera mengambil suatu keputusan: meninggalkan nama harum, kedudukan, dan harta. Ia memilih jalan hidup seorang sufi. Pada tahun 1095 itu, ia melakukan pengembaraan rohani ke Damaskus, meninggalkan Baghdad, ibu kota Kerajaan Abasyiah yang waktu itu merupakan pusat kebudayaan dunia. Tak persis bisa ditebak, mengapa sekitar sembilan ratus tahun sejak Al Ghazali memilih jalan sufi, di kota-kota Indonesia makin banyak kelompok yang cenderung mempraktekkan tasawuf. Lihat saja. Begitu banyak buku tasawuf karangan para sufi dalam sepuluh tahun terakhir diterbitkan di Indonesia. Dan laris. Di toko Wali Songo, salah satu toko buku agama yang cukup besar di Jakarta, misalnya, pernah dalam satu hari terjual lima ratus eksemplar buku tasawuf. Menurut Musthopa, karyawan di toko buku itu, penjualan buku tasawuf memang menduduki urutan pertama -- diikuti penjualan Quran, buku-buku doa, petunjuk salat, tentang zakat, dan puasa. Di antara buku tasawuf itu, yang paling laris adalah buku Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali. Di Indonesia Ihya sudah diterjemahkan oleh beberapa orang, antara lain oleh Ismael Yakub, bekas Ketua Majelis Ulama Jawa Tengah. Terjemahan ini pertama kali beredar pada 1964, dan sudah mengalami cetak ulang sebelas kali. Juga di Penerbit Mizan, Bandung, yang populer sebagai penerbit buku-buku Islam, buku terlaris adalah tentang tasawuf. "Buku tentang tasawuf ternyata laku keras, sampai sekarang," kata Hernowo, Direktur Produksi Penerbitan Mizan. Dari seratus tujuh puluh judul buku yang diterbitkan Mizan, tujuh belas judul, 10%, membahas tasawuf. Dan ternyata itu bisa menyubsidi sekitar enam puluh persen anggaran biaya keseluruhan penerbitan Mizan. Misalnya, buku Kimia Kebahagiaan karangan Imam Al Ghazali yang terbit pada 1984 sudah sampai cetakan ke-6. Lalu lihat di Institut Pertanian Bogor atau IPB. Sejak 1989, terjadi lonjakan mahasiswa yang mempelajari tasawuf, yang sifatnya tidak melembaga. Lonjakan itu, menurut Nurochman, seorang pengurus Dewan Keluarga Masjid Al Ghifari IPB, disebabkan pengaruh pesantren Al Ghazali dan Al Ihya, yang terletak tiga ratus meter dari kampus IPB Dermaga. Pesantren Al Ihya, seperti sengaja pasang "iklan" -- menyediakan tempat pondokan buat mahasiswa IPB. Kini, sekitar tiga puluh mahasiswa mondok, dan belajar tasawuf paling sedikit tiga hari dalam seminggu. Nah, lewat mahasiswa yang mondok itulah, semangat bertasawuf ditularkan kepada mahasiswa lain. Memang tak semua mahasiswa lalu rajin bertasawuf. Mereka yang sekadar ingin mengetahui ditampung di Pesantren Al Ghazali. Di sini, tiap Jumat dan Sabtu, diadakan pengajian, yang mengupas kitab-kitab karangan Al Ghazali. Sekitar dua tahun terakhir, di malam-malam tersebut, selalu hadir sekitar seratus mahasiswa, kadang lebih. Berbeda dengan sebelumnya. Lain lagi cara tasawuf menelusup di Universitas Airlangga, Surabaya. Mula-mula adalah Kusni, seorang mahasiswa fakultas ekonomi, yang memiliki kelebihan dalam ilmu agama, menurut teman-temannya. Pribadinya sederhana, apa adanya, tidak ria, dan rendah hati. Satu-dua mahasiswa minta diajari tentang tasawuf. Lama-kelamaan terbentuklah kelompok mahasiswa peminat tasawuf. Yang diajarkan dalam kelompok ini: tidak terikat pada kehidupan dunia, tidak ngoyo, tidak meninggalkan hal-hal yang sunah, selalu beristiqamah, dan lain-lain. Diakui oleh Arifah, salah seorang mahasiswa dalam kelompok ini, setelah ikut mendengarkan ceramah Kusni, orientasi belajarnya berubah dari niat mencari pekerjaan menjadi pengabdian terhadap ilmu pengetahuan. Di samping itu, minat orang pada tasawuf juga bisa dilihat dari peminat kursus tasawuf. Satu di antaranya, Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) di Jakarta, menawarkan kursus tasawuf dengan tujuan memberikan wawasan tentang makna hidup berdasarkan Islam. Pesertanya, menurut Budi Munawir, koordinator kursus tasawuf LSAF, adalah ibu rumah tangga, wiraswasta, dokter, mahasiswa, pensiunan, dan dosen. Masing-masing dari empat puluh peserta itu dikenai biaya Rp 80 ribu untuk dua belas kali pertemuan. Pada tingkat permulaan, kepada peserta diajarkan apa itu tasawuf, pemikiran tasawuf menurut Quran, dan aliran-aliran tasawuf. Baru pada pertemuan ke-12, peserta diajak ke Pesantren Suryalaya untuk mempraktekkan tasawuf. Di tempat lain di Jakarta, ada sekitar dua puluh lima orang tua muda secara berkala melakukan zikir bersama. Majelis zikir ini sudah ada sejak sepuluh tahun silam, dipimpin seorang pensiunan laksamana pertama TNI AL, Dokter Abdullah. Mereka itu, setiap pertemuan duduk melingkar di karpet, mata tertutup, serentak melafazkan, "Laa ilaaha Illallah..." sambil sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri. Praktek wirid seperti ini, menurut Abdullah, diwarisi dari kakeknya pengikut tarekat Satariyah -- konon, tarekat tertua di Indonesia. Di samping itu, dosen filsafat UI ini juga aktif memberikan arahan dalam kelompok Studi Sufi, yang secara berkala diikuti oleh para istri pemimpin Indonesia seperti Poppy Sjahrir dan Rahmi Hatta. Gejala ini juga berkembang di Yogyakarta. Bahkan, Kuntowijoyo, sejarawan di universitas Gadjah Mada, dalam salah satu tulisannya menyebutkan banyak kelompok pengajian tasawuf bermunculan. Satu di antaranya kelompok semacam tarekat yang dipimpin Dokter H. Achmad Husein Asdie, 50 tahun, dosen di Universitas Gadjah Mada. Kelompok pengajian Tawakal ini sudah berdiri sejak 1977, dengan seratus tujuh puluh pengikut. Sebenarnya, perkembangan tasawuf di Jakarta dan di kota-kota besar kini bukannya datang tiba-tiba. Jauh sebelum berkembangnya buku tasawuf terjemahan, Tasawuf Modern karangan Buya Hamka, bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia, sudah sangat laku. Buku itu kumpulan tulisan Hamka di majalah Pedoman Masyarakat, Medan, sekitar 1937-1938, diterbitkan pertama kali pada 1939, dan sudah dicetak puluhan kali. Dan ketika di Masjid Istiqlal, Jakarta, pertama kali diajarkan tasawuf dengan pengajar Buya Hamka dan Muhibuddin Waly -- doktor syariah dari Universitas Al Azhar, Kairo -- beramai-ramai para ustad masjid di Jakarta datang. Logis, bila kemudian para ustad masjid itu ganti menyebarkan tasawuf di tempat masing-masing. Dari bibit-bibit itulah agaknya meningkatnya tasawuf sekarang ini. Tentu, sebagaimana pendapat Reynold A. Nicholson dalam bukunya Tasawuf Menguak Cinta Ilahiah -- munculnya sufi tak hanya bisa dilacak dari satu sebab -- - berkembangnya pengikut tarekat di Indonesia kini bukan hanya karena sudah ada dasarnya dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Jalaluddin Rakhmat, Direktur Lembaga Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam Bandung, perubahan norma masyarakat Indonesia pada tahun-tahun belakangan juga mendorong orang memasuki tasawuf. Ia melihat, ada kecenderungan manusia modern untuk kembali ke hal-hal yang mistis, ketika dunia sekitarnya jadi terlalu rasional. Orang tidak puas lagi dengan Islam yang berorientasi hanya pada fikih. Kuntowijoyo, melihat kecenderungan orang belajar tasawuf sekarang ini ibarat mencari oase di tengah padang pasir. Ketika ekonomi membaik, hidup pun cenderung hedonistik, dan menghadirkan berbagai kemewahan. "Dalam kondisi itu hati nurani manusia berteriak ingin kesederhanaan, kesunyian, dan kelembutan," kata dosen Fakultas Sastra UGM ini. Dan itu bisa ditemukan dalam tasawuf. Memang, tasawuf merupakan alternatif ketika agama (Islam) berkembang menjadi sangat rasional, dan hukum agama menjadi amat formalistis dan legalistis, menyebabkan mendangkal dan mengeringnya penghayatan agama. Agama menjadi sederet aturan, tapi kehilangan rohnya, kata Simuh, dosen filsafat di IAIN Yogyakarta. Maka, muncullah kelompok mistik yang mementingkan rasa dan penghayatan. Mereka melonggarkan syariat. Pelopor gerakan ini, seperti Ibrahim Bin Adham (abad ke-8) dan Rabiah Al Adawiyah (abad ke-9), merumuskan beragama secara baru: cinta rindu pada Tuhan. Cinta yang membangkitkan rasa ingin bertemu muka dan sekaligus berasyik-masyuk dengan Zat yang dicintainya. Dalam semangat beragama seperti itu, yang ada hanyalah rasa ikhlas beribadah. Konsep neraka dan surga menjadi tidak relevan. Banyak anekdot dicatat dari perbuatan para sufi. Umpamanya, suatu hari Rabiah Al Adawiyah berlari-lari membawa kendi di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Ia berteriak-teriak pada orang di sekitar bahwa ia akan membakar surga dengan obor yang dibawanya, dan memadamkan neraka dengan air kendi. Mengapa, tanya orang. Surga dan neraka telah menyesatkan kiblat orang-orang beribadat, jawab Rabiah. Adapun maknanya, inilah suatu bentuk kritik pada orang beribadat tidak karena Allah, tapi karena mengharapkan surga dan takut neraka. Dalam kata-kata Nurcholish Majid, Direktur Yayasan Pengajian Paramadina, "Inti tiap agama adalah aspek religiositasnya atau rasa keagamaannya. "Memang itu tak bisa dilihat dari luar, kata Nurcholish, tapi "aspek itulah sebagai intinya, dan yang lainlain -- fikih, filsafat, misalnya -- hanyalah pancaran dari inti." Sekilas, terasa ramainya tasawuf kini bertentangan dengan modernisasi. Namun, menurut dekan pascasarjana IAIN Yogyakarta, Dr. Simuh, gejala yang sekarang berlangsung sungguh menarik. Di satu sisi itu membuktikan bahwa "dunia modern perlu disehatkan dengan filsafat kerohanian dan filsafat moral tasawuf," di pihak lain ada optimisme "perlunya ajaran tasawuf terus diperbarui". Tujuannya, tak lain diperolehnya keseimbangan hidup. Kesimbangan itulah mungkin yang dicari bila sejumlah orang Jakarta dalam beberapa hari meninggalkan rumahnya untuk melakukan zikir bersama di sebuah tempat pengajian Naqsabandiyah di Jakarta Selatan. Dalam pengajian ini, yang merupakan cabang dari Naqsabandiyah Kadirun Yahya di Medan, kabarnya peserta sama sekali tak boleh diganggu. Mereka mencari sesuatu, mungkin, seperti para darwis yang menari berputar-putar, lalu menyenandungkan kata-kata ini: Terima kasih, Tuhan, tak suka aku pada sedap-sedapan dan manis-manisan. Julizar Kasiri dan Biro-Biro Daerah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini