Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berebut Gengsi RI-7

Pimpinan DPD memperoleh akses, fasilitas, dan gaji yang "wah". Berbanding terbalik dengan kinerjanya.

10 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNAH dua periode menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Laode Ida mafhum kenapa kursi lembaga tinggi negara itu kini diperebutkan. "Ada gengsi dan kemudahan akses kepada presiden dan pejabat negara lain," ujar Laode, Kamis pekan lalu.

Pimpinan DPD kerap diundang Presiden, baik untuk sekadar berdiskusi ringan maupun membahas urusan pemerintahan yang serius. "Posisi Ketua DPD mentereng meski lembaganya kadang dipandang sebelah mata," kata Laode, yang kini Komisioner Ombudsman Republik Indonesia.

Laode menjadi anggota DPD dari Sulawesi Tenggara untuk dua periode, sejak 2004 sampai 2014. Pada periode pertama, ia menjadi Wakil Ketua DPD bersama Irman Gusman. Kala itu ketuanya Ginandjar Kartasasmita. Pada periode berikutnya, Laode kembali menjadi wakil ketua bersama GKR Hemas, dengan ketua Irman Gusman.

Di samping mendapat kemudahan akses, pimpinan DPD dimanjakan berbagai fasilitas. Mereka mendapat rumah dan mobil dinas berkode khusus "RI" seperti pejabat negara setingkat menteri ke atas. Mobil dinas Ketua DPD, misalnya, berpelat nomor khusus: RI-7. Ke mana-mana, pimpinan DPD pun mendapat pengawalan dan ajudan. Mereka juga kerap pergi ke luar negeri mewakili lembaga. "Fasilitas pimpinan dulu dan sekarang hampir sama," ujar Laode.

Penghasilan pimpinan DPD juga menggiurkan. Di masa Laode, wakil DPD mendapat gaji dan tunjangan sekitar Rp 50 juta.Saat ini gaji dan tunjangan pimpinan DPD lebih tinggi. Menurut catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Ketua DPD bisa mengantongi penghasilan Rp 133 juta per bulan. Sedangkan anggota biasa berpenghasilan Rp 71 juta per bulan. Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto mengaku tidak hafal berapa gaji pimpinan dan anggota DPD. "Saya cek dulu, ya," katanya.

Fasilitas "wah" dan gaji besar tak sebanding dengan prestasi yang ditorehkan lembaga ini. Aturannya, DPD bisa mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPD juga bisa memanggil pemerintah jika ada laporan dari daerah seputar kebijakan eksekutif yang bermasalah. Namun pendapat DPD hanya bersifat masukan dan usul. "DPD itu penghuni 'kedua' di Senayan," ucap Laode.

Mirip lembaga senat di negara yang menganut sistem bikameral, DPD merupakan anak kandung amendemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 2001. Sejak periode pertama, khusus di bidang legislasi, DPD baru mengusulkan 25 rancangan undang-undang. Salah satu usul DPD yang disahkan DPR dan pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Anggota DPD dipilih berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Syarat pencalonan anggota DPD semula mencantumkan kriteria domisili di daerah yang diwakili dan bukan pengurus partai politik. "Ada 128 orang yang terpilih sesuai dengan jumlah provinsi saat itu," ujar Laode.

Menjelang pemilihan anggota DPD periode kedua, Undang-Undang Pemilu direvisi. Ketentuan domisili dan larangan merangkap pengurus partai dihapus. Tidak terima atas revisi tersebut, pimpinan DPD kala itu mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka khawatir DPD akan menjadi pintu masuk bagi pengurus partai politik yang tak tertampung di DPR. Namun permohonan itu ditolak Mahkamah.

Pada periode kedua, 2009-2014, menurut Laode, muncul ide dari sejumlah anggota DPD agar masa jabatan pimpinan dibatasi dua setengah tahun. Sebagian pengusul adalah anggota DPD dari partai politik. "Karena hanya sedikit yang berkepentingan, usul itu hilang dengan sendirinya," tutur Laode.

Pada periode ketiga, 2014-2019, anggota DPD berjumlah 132 orang. Kali ini kursi DPD banyak diisi pengurus partai. Ketua DPD yang baru terpilih, Oesman Sapta Odang, misalnya, adalah Ketua Umum Partai Hanura. Karena itu, menurut Laode, anggota DPD kali ini lebih sibuk berebut kursi pimpinan. "Partai politik itu tak bisa dipisahkan dari kekuasaan," katanya.

Oesman tidak menampik anggapan bahwa anggota DPD kali ini sibuk "berkelahi" memperebutkan kursi pimpinan. "Saya prihatin dan ingin memperbaikinya," ujar Oesman.

Anton Aprianto, I Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus