Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farouk Muhammad menyambangi ruangan Wakil Ketua Nonyudisial Mahkamah Agung Suwardi pada Selasa siang pekan lalu. Tanpa membuat janji lebih dulu, anggota Dewan Perwakilan Daerah itu hendak menemui pelaksana harian Ketua Mahkamah Agung tersebut.
Belum sampai bertemu dengan Suwardi, Farouk mengurungkan niatnya. Seorang anggota staf Suwardi memberi tahu Farouk bahwa bosnya sedang menerima tamu. Pensiunan jenderal polisi itu memutuskan balik kanan karena tamu Suwardi ternyata seterunya di DPD. "Kata stafnya, ada Gede Pasek Suardika ditemani Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto," ujar Farouk menceritakan peristiwa itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Semula Farouk berniat menemui Suwardi untuk menyampaikan surat penting. Diteken Farouk atas nama Wakil Ketua DPD, surat itu berisi permintaan agar Mahkamah Agung tidak melantik Oesman Sapta Odang, yang pada dinihari sebelumnya terpilih sebagai Ketua DPD.
Tidak mau kepergok Gede Pasek, Farouk buru-buru meninggalkan ruangan Suwardi. Di kepalanya muncul syak wasangka bahwa Gede Pasek tengah membujuk Suwardi agar mau melantik Oesman Sapta dan dua wakilnya. Kecurigaan Farouk beralasan karena Gede Pasek, di samping pendukung Oesman di DPD, juga sesama pengurus Partai Hanura.
Benar saja, malam harinya, Suwardi datang ke sidang paripurna DPD untuk mendampingi pengucapan sumpah Oesman dan dua wakilnya. Farouk memilih tidak hadir karena menganggap pelantikan itu cacat hukum. Anggota DPD dari Nusa Tenggara Barat ini mengklaim bahwa dia bersama Mohammad Saleh dan GKR Hemas adalah pimpinan DPD yang sah secara hukum.
Farouk dan kawan-kawan menganggap pelantikan Oesman tidak sah. Alasan mereka, MA sudah membatalkan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mencantumkan aturan masa jabatan pimpinan DPD dua setengah tahun. Menurut Tata Tertib DPD yang dibatalkan MA, masa jabatan Mohammad Soleh, Farouk, dan Hemas sebagai pimpinan DPD berakhir pada 1 April 2017. Dengan pembatalan aturan tersebut, Farouk dkk menganggap masa jabatan pimpinan DPD seharusnya bertahan sampai lima tahun. Sebaliknya, Oesman dan kelompoknya menganggap pelantikan mereka sah karena putusan MA itu salah ketik sehingga bisa diabaikan.
Mahkamah Agung membatalkan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang diuji materi oleh anggota DPD Anna Latuconsina dan kawan-kawan pada 11 Mei 2016. Dipimpin Supandi dengan anggota Irfan Fachruddin dan Yosran, majelis hakim agung mengetuk putusan uji materi ini pada 20 Februari 2017.
Menurut salinan putusan MA yang terbit pada 29 Maret itu, masa jabatan pimpinan DPD selama dua setengah tahun bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Masa jabatan dua setengah tahun juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peraturan Perundang-undangan.
Masalahnya, di bagian amar putusan MA terdapat dua kekeliruan penulisan. Seperti pada kalimat yang memerintahkan kepada "pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" mencabut Tata Tertib yang dibatalkan MA. Seharusnya yang diperintahkan adalah "pimpinan Dewan Perwakilan Daerah". Pada bagian lain, tertulis pula "undang-undang", padahal seharusnya "tata tertib". Celah itulah yang dipakai Oesman dan pendukungnya untuk melakukan pemilihan pimpinan baru DPD.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan kekeliruan penulisan itu merupakan kesalahan manusia (human error) petugas pengetik putusan. "Kan, diinstruksikan mendesak, secepatnya, makanya enggak bisa terhindar dari kekeliruan manusia, tidak ada niat untuk menyalahkan itu," ujarnya.
Sebenarnya, menurut Suhadi, Senin pagi sebelum sidang paripurna yang sempat ricuh dan berujung pada pemilihan Oesman, Mahkamah mengirim putusan yang sudah direvisi ke pimpinan DPD. Tapi tidak semua anggota DPD menjadikan revisi putusan itu sebagai acuan. Ada juga yang masih berpegang pada putusan salah ketik dan memanfaatkannya untuk memilih pimpinan baru DPD.
Adapun salinan putusan MA yang salah ketik, menurut Suhadi, sudah dikirim ke DPD empat hari sebelum masa jabatan pimpinan mereka berakhir. Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2012, pembuat aturan yang dibatalkan lewat uji materi punya waktu 90 hari untuk mencabutnya. Jika batas waktu itu terlampaui, Tata Tertib DPD secara otomatis tak berlaku.
Pencabutan Tata Tertib DPD tadinya dijadwalkan dalam sidang paripurna pada 3 April atau Senin pekan lalu. Menurut Anna Latuconsina, yang juga anggota Panitia Musyawarah DPD, sidang paripurna tidak bisa dipercepat karena jadwalnya sudah disepakati jauh-jauh hari, yakni pada 9 Maret lalu.
Dalam sidang paripurna itu, kubu Farouk dan Hemas memaksa untuk membacakan putusan MA. Namun kubu Oesman menolak pembacaan putusan tersebut. Kekisruhan pun terjadi. Kubu Oesman akhirnya menguasai sidang dan memilih pimpinan DPD. Terpotong waktu subuh, sidang ditunda dan akan dilanjutkan siang hari dengan agenda pelantikan pimpinan baru DPD.
Di waktu jeda sidang itulah Gede Pasek Suardika, ditemani Sekretaris Jenderal DPD Sudarsono Hardjosoekarto, menemui Suwardi. Mereka meminta Mahkamah Agung melantik Oesman dan wakilnya.
Sudarsono dan Gede Pasek meyakinkan Suwardi dan hakim agung lain bahwa putusan MA sudah dilaksanakan dengan mencabut tata tertib yang mengatur masa jabatan pimpinan dua setengah tahun. Setelah empat jam berdiskusi, Suwardi akhirnya menyampaikan bahwa ia bisa mendampingi pelantikan Oesman.
Di samping berpegang pada penjelasan Pasek dan Sudarsono, menurut Suhadi, MA melihat telah terjadi kekosongan pimpinan di DPD. Karena itu, perlu pemilihan dan pelantikan pimpinan baru. Padahal rapat paripurna DPD pada 9 Maret lalu telah memperpanjang masa jabatan pimpinan DPD dari 1 April sampai 3 April.
Linda Trianita, Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo