INDONESIA sering berkaca pada perubahan besar di dunia internasional. Kemenangan Jepang atas Rusia pada awal abad ini acapkali dianggap sebagai penyemai bibit nasionalisme di Asia, termasuk lahirnya pergerakan nasional di Indonesia. Demikian pula dengan revolusi atau perkembangan yang terjadi di Eropa Timur dan Rusia akhir-akhir ini. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apa dampaknya bagi Indonesia? Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) L.B. Moerdani mempunyai sejumlah perkiraan. Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Kamis pekan lalu, ia mengkhawatirkan kemungkinan masuknya pengaruh negatif, terutama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Menhankam meramalkan bahwa situasi politik dunia masih akan diwarnai oleh kelanjutan surutnya komunisme, bangkitnya demokrasi dan aspirasi kemerdekaan sejumlah golongan etnik di Eropa Timur dan Rusia. Masalah etnik di Rusia ini, menurut Jenderal (Purnawirawan) Benny Moerdani, termasuk rumit. Pasalnya, selain menyangkut masalah pemisahan diri, juga mengandung pertentangan agama. "Masalah etnik ini bahkan telah menghangatkan kembali konflik lama di Asia Selatan antara Pakistan dan India tentang masalah Kashmir," katanya. Karena itu, katanya, bukan tak mungkin hal itu dapat menular ke tanah air. Walhasil, kata Jenderal Benny, "Asas-asas persatuan dan kesatuan dari doktrin wawasan Nusantara dan asas-asas keterpaduan dari doktrin ketahanan nasional perlu terus dimasyarakatkan dan dibudayakan dalam kehidupan bangsa Indonesia." Namun demikian, peringatan Menhankam itu bukannya berarti sudah ada petunjuk negatif. "Saya kira maksud Menhankam adalah agar jangan dikaitkan bahwa perbedaan etnik dan agama bisa menjadi alasan untuk menemukan gerakan pemisahan diri dari tubuh bangsa," kata Marzuki Darusman, anggota FKP yang duduk pada Komisi I DPR. Prof. Dr. Yuwono Soedarsono, dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, menilai bahwa kekhawatiran Menhankam ini bisa dimaklumi. "Bagi pimpinan bangsa generasi 45 dan generasi jembatan, seperti Pak Benny, masalah persatuan dan kesatuan bangsa itu selalu relevan," katanya. Sebab mereka mengalami sakitnya menjadi bangsa yang tercabik-cabik oleh gerakan separatisme. Oleh karena itu, gerakan-gerakan etnis di luar negeri ini akan diamati mereka dengan lebih teliti. "Jika gerakan-gerakan itu berhasil, tentunya mereka beranggapan bahwa memberikan kelonggaran itu kurang baik dan tak layak dieksperimenkan," ujar Yuwono. Namun, agaknya, kemungkinan itu sangat kecil di Indonesia. Kekhawatiran bahwa lebarnya perbedaan kemajuan pembangunan Indonesia Barat dan Timur dapat mencuatkan semangat separatis, menurut Yuwono, kurang mempunyai legitimasi sejarah. "Kita beruntung bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, cukup banyak perwakilan Indonesia Timur yang terlibat," katanya. Ini jelas berbeda dengan sejarah lahirnya Uni Soviet, yang penuh dengan peristiwa penaklukan berbagai daerah. "Revolusi Rusia itu memang didominasi oleh orang Rusia, bukan orang Soviet," ujar pengamat politik beken ini. Oleh karena itu, legitimasi sejarah memang menjadi unsur kuat dalam gerakan etnis di Rusia dan Eropa Timur. "Bahkan, dilihat dari segi itu, peristiwa Azerbaijan dan Armenia itu, boleh dikata, seperti konflik Arab-Israel dalam skala kecil," tambahnya. Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Mayjen. (Purn.) Soebijakto, bekas Gubernur Lemhanas, yang kini menjadi kepala eksekutif Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI). "Wawasan nasional kita sudah terbentuk dan kelompok intelektual kita sudah sangat integrated, tidak seperti di Rusia," kata Atase Militer RI di Moskow 1965-1969 itu. Karena itu, Soebijakto tak khawatir dengan penularan wabah separatisme ke Indonesia. Yang justru harus diperhatikan adalah laju demokratisasi di Uni Soviet. "Sekarang kita lebih terbuka dan harus terus begitu," katanya. Sebab, jika sampai tersusul, stabilitas nasional akan mendapat tekanan sangat kuat. Demikian pula jika masalah kemelaratan tak dapat diperbaiki. "Soalnya, selama ada kemelaratan pasti stabilitas selalu terancam," kata Soebijakto. Dan pendapatnya ini serupa dengan Menhankam. "Dari aspek Hankam, yang perlu adalah memperkecil kesenjangan antara yang kaya dan miskin, sehingga kebijaksanaan fiskal pun diupayakan untuk sejauh mungkin menutup kesenjangan itu," kata Jenderal Benny. Hanya saja, upaya menyejahterakan bangsa ini, mungkin akan tetap mendapat ancaman. Perkembangan di Eropa Timur, dikhawatirkan Benny, akan mengurangi persediaan bantuan luar negeri bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Demikian pula upaya mewujudkan pasar bersama Eropa. Forum ini dikhawatirkan berdampak negatif terhadap negara berkembang bila mengarah menjadi proteksionistis. Oleh karena itu, Menhankam mengharapkan agar kemandirian ekonomi Indonesia terus ditingkatkan. Selain itu, ia juga mengingatkan agar tidak lupa untuk meningkatkan pemerataan kesempatan usaha agar partisipasi rakyat juga turut terangkat. Dengan demikian, kata bekas Pangkopkamtib ini, Pemerintah hendaknya dapat mengatasi ancaman-ancaman yang diperkirakan akan menonjol, yaitu masalah dalam negeri dalam bentuk SARA atau kriminalitas. Adapun ancaman yang bersifat invasi dari luar, katanya, "Diperkirakan sangat kecil kemungkinannya." Namun, ucapan itu tak berarti menafikan ancaman dari luar. "Saya kira pihak ABRI sedang mengkaji ulang strategi mereka menghadapi komunisme," kata Yuwono. Pasalnya, "Ada kemungkinan komunisme yang akan datang akan menampilkan wajah lain yang tidak lagi seram," tambah guru besar Universitas Indonesia ini. Apalagi, seperti diingatkan Yuwono, wajah komunis yang berubah baru terjadi di Eropa Timur. "Di Cina, yang lebih merupakan ancaman bagi Indonesia, kita masih melihat wajah yang lama," katanya. Bambang Harymurti, Tri Budianto Soekarno, dan Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini