SEKITAR 1963, seorang tunanetra di Yogya membawa sebuah buku Braille. "Katanya, ada tulisan Arab-nya," kata saudara kita ini, Supardi Abdul Somad namanya. Itu dituturkan oleh Fuady Aziz, sekretaris Yaketunis, Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam, Yogya. Fuady sendiri lantas melihat, pada tahun berikutnya, dan mempelajari. "Isinya ayat-ayat Quran. Standar penulisannya dari UNESCO, tahun 1950," tuturnya kepada TEMPO. Buku itu cetakan Yordania dari tahun 1951. "Supardi sendiri, yang sudah marhum, menginginkan Quran ini bisa dinikmati mereka yang senasib," kata Fuady, 42, sarjana IAIN Fakultas Adab (Sastra & Budaya) itu. Ternyata, di Yogya banyak yang tertarik. Di antaranya Pak Pardimin, yang kemudian mencetuskan gagasan mendirikan Yaketunis pada tahun 1964. Maka, Quran Braille itu pun diturun, dari juz ke-30. Lantas Yaketunis berhubungan dengan Pakistan - National Federation for the Welfare of the Blind (NFWB), di Karachi. Hasilnya, "kami mendapat kiriman naskah yang ternyata lebih maju dari yang versi Yordania." Naskah Pakistan itu sudah menerjemahkan hampir semua tanda baca pada mushaf orang normal. Berdasarkan perbandingan itu, Yaketunis meneruskan menerbitkan versinya dengan tetap memperhatikan standar UNESCO itu. Terbitan kami sudah sampai ke Malaysia dan lain-lain, tutur Fuady. Tahun-tahun 1978-1983 malahan dua tunanetra Malaysia dikirimkan ke Yogya untuk mempelajari Quran Braille ini. Bersama dengan Departemen Agama, yayasan ini telah mencetak sekitar 1.000 eksemplar sejak 1980 saja. Pada perkembangan selanjutnya, tutur Fuady, Yayasan Wiyata Guna di Bandung juga menerbitkan Quran Braille. "Hanya, versinya agak lain," katanya. Dan versi itu merupakan penerjemahan dari mushaf Utsmani. Itu dituturkan oleh K.H. Kasyful Anwar, 64, ketua tim pengadaan mushaf Quran di situ. Toh ilhamnya juga datang dari Yogya - dengan kata lain, dari Supardi yang buta itu. Ceritanya, ketika diadakan MTQ Tunanetra se-lndonesia di Bandung, 1974, Kiai Anwar melihat Quran Braille terbitan Yogya itu. Dan ulama yang sering menjadi juri MTQ ini, yang pernah enam tahun menjadi bupati Hulu Sunai Selatan, Kalimantan Selatan, tertarik. Apalagi Wiyata Guna di Bandung punya percetakan huruf Braille. Tahun berikutnya mulailah dicetak juz ke-30 - "karena banyak surahnya yang biasa dipakai untuk salat" - sekitar 100 eks. "Dan sejak itulah timbul perbedaan," tutur Pak Kiai. Sebab berbeda dari Bandung, Yogya menggunakan sistem imla-i, tulisan Arab biasa, seperti yang juga dipakai untuk mushaf Bahriyah (Lihat: Quran Indonesia, antara Bombay dan Mesir). Pengalaman Pak Kiai, mulanya kerja itu agak sulit - "terutama untuk meletakkan hamzah". Sampai-sampai ia perlu memesan sebuah buku khusus dari Arab Saudi, yang membicarakan kedudukan huruf yang sebuah itu: kapan sendirian, kapan digabung dengan alif, kapan digandengkan dengan qau. Toh kerja di Bandung itu, juz per juz, berhasil pula menggarap terjemah - yang diletakkan berdampingan. Setiap juz terdiri dari 50-60 lembar, dengan biaya per lembar Rp 3.500. Silakan hitung berapa harga satu mushaf komplet dengan terjemahannya. Mereka berhasil merampungkan juz ke-19. Dan kemudian Muker Alim Ulama Quran di Jakarta mencapai keputusan akhir. Muker itu sendiri sudah tentu mengikutsertakan mereka bahkan merekalah, bersama dengan Yaketunis Yogya, yang menggarap master yang Braille itu Pakem untuk tunanetra ini dibikin dalam tiga rupa - bentuk gambar, ketikan, dan lembaran aluminium - yang bisa dipakai untuk saling mengecek. Versi yang digunakan tentu saja Utsmani, tetapi - dibanding dengan keluaran Bandung - mengalami pengubahan besar khususnya dalam tanda baca. "Pencetakan Quran Braille dalam tiga rupa sekaligus ini merupakan yang pertama di dunia," kata Sawabi Ihsan. Bahkan ipar Kolomnis Mahbub Djunaedi ini yakin, yang kita punyai ini yang terbaik. Pernah, memang, ada Quran Braille yang dihasilkan suatu proyek Arab Saudi - tapi yang ini memang dinilai lebih mudah dipakai. Bahkan, kata Sawabi "saya kira dunia akan memakai hasil kita ini nantinya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini