KETIKA Jakarta gelap, karena listrik mati lima jam, 16.30 sampai 21.30, hari Minggu pekan ini, Soebroto berdebar-debar. Kepala SMAN VIII Jakarta itu khawatir, dengan soal-soal ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP) untuk 44 SMA, yang tersimpan di sekolahnya (sebagai pusat rayon 7). Untunglah, esok harinya bahan ujian masih tetap utuh, sehingga Senin pekan ini, ujian nasional mata pelajaran PMP berjalan dengan tertib. Ujian nasional? Sejak tahun ajaran 1980-1981, ujian negara memang sedang dijajaki kemungkinannya untuk dilaksanakan lagi. Mula-mula, cuma PMP yang diujikan secara nasional. Kemudian, ditambah Bahasa Indonesia. Lalu ditambah Geografi dan Biologi. Tahun ini, Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional) untuk SMA ditambah lagi dengan Matematika untuk jurusan IPA dan IPS, dan Sejarah untuk jurusan Bahasa. "Memang ada ide nanti semua diebtanaskan," kata Benny Soeprapto, Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen P & K. Usaha mencoba melaksanakan ide itu, memang tak lepas dari niat untuk memeratakan mutu pendidikan secara nasional. EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) atau ujian sekolah yang dilaksanakan sejak 1972 diduga menjadi salah satu sebab tak terkontrolnya kualitas pendidikan. Akibatnya, tiap-tiap sekolah yang melaksanakan ujian sendiri-sendiri itu memiliki kualitas yang tidak sama. Sebaliknya, kekhawatiran bocornya ujian negara hingga perlu diulang di seluruh Indonesia hingga membuang biaya cukup besar, seperti memang sering terjadi sebelum ujian sekolah diberlakukan, kini telah terpecahkan. Yakni seperti diterangkan Darji Darmodihario, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, pekan lalu, caranya dengan membuat banyak paket soal, hingga tiap sekolah atau rayon (kelompok sekolah) soal ujiannya berbeda. Dengan demikian, kebocoran di satu tempat tak merembet ke tempat lain, pengulangan hanya di tempat yang terbukti bocor. Tapi terwujudnya ujian nasional secara total agaknya masih perlu waktu. Sebab, sampai tahun ini mata pelajaran yang wajib sebagai ujian negara - semua sekolah harus ikut tanpa kecuali - baru dua: PMP dan Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk mata pelajaran Ebtanas yang lain, meskipun jumlahnya semakin bertambah, masih belum wajib, boleh ikut boleh tidak. Sebab, dari pengalaman Ebtanas pertama kali, tahun pelajaran 1980-1981, hingga tahun lalu, "baru bidang studi PMP dan Bahasa Indonesia yang hasilnya cukup baik," kata Benny pula. Mata pelajaran yang lain, "belum bisa diungkapkan secara jelas." Memang, selama ini belum terdengar kericukan karena ada siswa tak lulus karena Ebtanas. Tapi menerjunkan diri dalam ujian nasional itu memang banyak risikonya. Seperti dikatakan Soebroto Kepala SMAN VIII Jakarta itu, soal-soai Ebtanas benar-benar menguji secara menyeluruh. "Yang 20% soal pelajaran kelas I, 30% kelas II, dan sisanya, 50%, kelas III," kata Soebroto. Karena itu, bagi sekolah yang belum menyelesaikan materi kurikulumnya, besar kemungkinan siswa mereka bisa jatuh karena soal-soal itu. Anehnya, beberapa kepala SMA yang dihubungi TEMPO, kebanyakan menyatakan lebih baik ujian sekolah diganti kembali dengan Ebtanas saja. "Embel-embel nasional secara psikologis membuat siswa lebih tekun belajar," kata Morhan Silaban, Kepala SMAN I Medan. Pun Hudahaniem, Kepala SMA Sultan Agung I, Semarang, lebih senang ada ujian nasional. Selama ini, kalau ada siswa tak lulus, pihak gurulah yang kena sasaran, dikira ada apa-apanya. Sebab, guru yang mengajar, guru yang membuat soal, kok sampai siswa tak lulus, tutur Hudaniem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini