BAHASA daerah, mata pelajaran yang tidak wajib sejak Kurikulum 1975 berlaku, kini dimungkinkan naik pangkat. Hasil Seminar Javanologi, dua hari, akhir bulan lalu di Yogyakarta, memutuskan, akan disusun paket pelajaran pilihan kebudayaan daerah untuk SMP dan SMA. Menurut Sudarsono, Ketua Javanologi, yang segera dipersiapkan yakni paket kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali. Yang lain-lain, kebudayaan Minang misalnya, segera disusulkan. Pihak Javanologi - lembaga yang mengkaji kebudayaan daerah dan bernaung di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K - memang tak menyinggung pelajaran Bahasa Daerah di tingkat SD. Tapi, bila rencana Javanologi itu terlaksana, mau tak mau Bahasa Daerah di SD jadi penting. Sebab, salah satu tujuan pelajaran kebudayaan daerah nanti dirumuskan sebagai: siswa harus mampu dan terampil menggunakan lafal bermacam pola kalimat bahasa daerah yang diajarkan. Artinya, diajarkannya Bahasa Daerah sejak SD akan menguntungkan siswa yang di SMP dan SMA memilih kebudayaan daerah sebagai mata pelajaran pilihan. Tapi apa kabar pelajaran Bahasa Daerah di SD seluruh Nusantara kini?. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, sesuai dengan Kurikulum 1975, memang tak mengharuskan Bahasa Daerah diajarkan. "Boleh ada, boleh tidak," kata Darji Darmodiharjo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, pekan lalu. "Tergantung ada gurunya apa tidak." Maka, tidak seperti pelajaran yang lain, Bahasa Daerah tak punya ketentuan tentang apa saja yang seharusnya diberikan kepada siswa. Ketentuan yang ada hanyalah, Bahasa Daerah merupakan pelengkap pelajaran Bahasa Indonesia "bagi sekolah di daerah yang memerlukan," tulis buku Kurikulum 1975. Pun tidak jelas yang dimaksud dengan Bahasa Daerah itu. Tampaknya, yang dijadikan pegangan adalah bahasa yang dipergunakan sebagian besar masyarakat setempat. Di Bondowoso, Jawa Timur, misalnya, yang diajarkan Bahasa Madura - bahasa sebagian besar masyarakat (asli) - bukan Bahasa Jawa. Tentang waktunya, pelajaran bahasa ini boleh diberikan dua jam pelajaran per minggu, dan itu pun merupakan jam pelajaran tambahan. Ketentuan itu pun ternyata tak mengikat. Di Madura misalnya, di SD Kraton II, Bangkalan, Bahasa Madura cuma diberikan satu jam pelajaran tiap minggu. Maka, Siti Kamariah, 59, guru Bahasa Madura di SD itu mengeluh. "Dulu, tahun 1950-an, mulid sekolah dasar sudah pintar membaca dan menulis dengan bahasa Madura," tuturnya. "Kini, bahasa Madura anak-anak itu rusak." Guru-guru yang menginginkan Bahasa Daerah diajarkan seperti Bahasa Indonesia (yang diberikan delapan jam per minggu), pada umumnya memang kecewa. Kata Sarwoko, Kepala SD Ungaran I, Yogyakarta, "Terus terang, pelajaran Bahasa Jawa di SD hami kurang berhasil." Misalnya, dulu siswa SD sudah pintar menulis dengan huruf Jawa, tapi kini pelajaran menulis huruf Jawa susah di berikan, karena jam pelajaran yang terbatas itu. Itu di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pelajaran Bahasa Jawa menjadi keharusan sejak 1981. "Karena Yogya adalah kota budaya, kami berkewajiban melestarikan budaya Jawa," kata B.P.H. Poeger, Kakanwil P & K Yogyakarta. Tapi tetap, seperti ketentuan dalam Kurikulum 1975, pelajaran Bahasa Jawa di SD di Yogyakarta tak punya pengaruh pada prestasi siswa, misalnya bagi kenaikan kelas. JADI, seberapa perlu sebenarnya Bahasa Daerah diajarkan? "Itu penting, sebagai sarana penyampaian ajaran budi pekerti, adat ketimuran kita," kata Siti Kamariah. Sarwoko sependapat. "Lewat Bahasa Jawa pendidikan moral lebih mudah dan lebih mengena sasaran," katanya. Kebijaksanaan tentang Bahasa Daerah kemudian memang akhirnya di tangan para Kepala Kanwil P & K. Di Sumatera Utara, misalnya, sudah sejak 1975 Bahasa Daerah tak diajarkan. Bukan karena peraturan dari Kanwil, tapi karena makin jarang guru SD yang bisa memberikan pelajaran Bahasa Karo atau Bahasa Nias. Lebih-lebih ketika SD Inpres bermunculan, para guru tidak selalu dari daerah setempat. Walhasil, ada guru asal Tanah Karo yang mengajar di Kabupaten Simalungun, yang tentu saja tak paham benar bahasa Simalungun. Apalagi kalau guru itu asal Jawa. Di Jawa Timur, Bahasa Madura diberikan di SD di Madura (dan kepulauan sekitarnya), Situbondo, dan Bondowoso. Di luar itu Kanwil Jawa Timur menganjurkan diberikan pelajaran Bahasa Jawa. Yang jelas-jelas mencantumkan anggaran pendidikan Bahasa Daerah rupanya hanya Kanwil P & K Jawa Barat, sekitar Rp 200 juta per tahun. Anggaran itu selain untuk pengadaan buku, juga untuk menatar para guru. Ini tentu untuk mengatasi langkanya guru SD yang bisa mengajarkan Bahasa Sunda. Sebab, seperti Mulyana Satiapermana dari SD Merdeka Bandung, dalam pelajaran ini tak sekadar diajarkan berbahasa, tapi juga pelajaran menembang dan tata bahasa Sunda. Tapi, sebenarnya, ada untungnya Bahasa Daerah tidak diwajibkannya dalam kurikulum. Sebab, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, guru sulit dicari. Belum tentu guru di sebuah SD adalah orang daerah setempat. Di tempat lain, di wilayah permukiman baru misalnya di Perumnas Depok, bukan saja gurunya, tapi juga sebagian besar muridnya datang dari luar Depok. Toh karena Depok termasuk wilayah Jawa Barat, pasti SD di situ diajarkan Bahasa Sunda. Masih jadi pertanyaan adakah hasil Seminar Javanologi tentang pelajaran kebudayaan daerah di SMP dan SMA akan punya dampak di SD. "Masih saya pelajari hasil Seminar Javanologi yang lalu," kata Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini