KULIT Sissoko Mamaduo tampak hitam berkilau diterpa matahari siang di Tanahabang, Jakarta. Seperti tak peduli peluh bercucuran di tubuhnya, lelaki asal Mali itu dengan terburu-buru masuk ke sebuah toko pakaian di Jalan K.S. Tubun Raya, Jakarta Pusat. Selang beberapa saat, saudagar berusia 60 tahun ini keluar lagi, menyibak kerumunan pembeli, lalu bergegas pergi. Ia tidak kelihatan menyembunyikan sesuatu. "Saya bisa membuktikan kalau saya berdagang secara benar," ujar satu dari sekian banyak orang Afrika di Pasar Tanahabang ini ketika ditemui TEMPO pekan lalu.
Orang Afrika, seperti di banyak negara lain, kerap dituding sebagai pembawa masuk narkotik dan sejumlah bahan madat lainnya. Kecurigaan begini bukan tanpa alasan. Juli lalu, misalnya, Chike Joseph, lelaki 23 tahun asal Nigeria, ditangkap polisi di Hotel Fokus, Jakarta Pusat, dengan 75 gram heroin di tangan. Sebelumnya, Desember 2000, Felix Ogube dari Zimbabwe dan seorang temannya dari Nigeria ditembak mati polisi di Tanahabang dan Kemayoran karena diduga keras menjadi bandar narkotik dan obat berbahaya.
Walau di Tanahabang mereka banyak berdagang bahan pakaian dan lainnya, ini tidak mengurangi pengawasan polisi atas warga benua hitam itu.
Menghadapi prasangka semacam itu, Mamaduo tak mau banyak omong. Ia cuma menunjukkan tumpukan karung berisi beraneka macam pakaian, dari kaus oblong, celana, kemeja, sampai pakaian bayi dan anak-anak. Karung-karung pakaian yang disimpan di gudang itu siap dikirim ke negaranya.
Mamaduo tidak sendirian. Cukup banyak pedagang Afrika dari negara seperti Sudan, Gabon, Guinea, Mali, Zaire, Afrika Selatan, dan Nigeria yang mondar-mandir di kawasan Tanahabang untuk mengambil barang. Gudang-gudang di sepanjang Jalan K.S. Tubun Raya selalu dipenuhi barang mereka. Bahkan Hotel Petamburan I di Jakarta Barat bagaikan berubah fungsi. Lantai satu hotel itu kini dibagi dalam sekat-sekat kecil sebagai tempat penyimpanan barang para pedagang Afrika.
Banyak cerita bagaimana mereka menemukan Tanahabang sebagai surga kulakan. Sissoko Mamaduo pun punya kisah. Sebelumnya, lelaki beristri dua ini biasa mengambil barang dari Thailand. Suatu hari pada 1990-an di Bangkok, ia bertemu dengan Nadjib Sidik Surkaty dari Indonesia. Nadjib menawarinya barang-barang dari Indonesia yang lebih murah. Mamaduo tertarik untuk mencobanya. "Mula-mula ia hanya memesan dalam jumlah kecil," ujar Nadjib kepada TEMPO.
Ternyata pakaian dari Tanahabang yang dikirim Mamaduo ke negaranya mendapat sambutan luar biasa. Orang-orang Mali suka karena modelnya up-to-date—tentunya untuk ukuran Afrika. Harganya pun supermurah, jadi pas buat kocek orang Afrika yang berdaya beli rendah. Soal mutu bagi mereka nomor kesekian.
Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi pada 1997, barang-barang dari Pasar Tanahabang semakin murah diekspor karena nilai rupiah anjlok. Maka kian banyak pula orang Afrika yang menyerbu Jakarta. Mereka menginap di rumah penduduk di gang-gang kecil di sekitar Tanahabang. Biasanya mereka berkumpul berdasarkan asal negara. Yang terbanyak berasal dari Mali dan Kongo. Belakangan, mereka tak hanya berkulakan di Tanahabang, tapi juga menyerbu Pasar Cipulir dan Jatinegara, yang juga banyak menjual pakaian murah.
Di Afrika, pakaian murah asal Indonesia laku keras karena produksi tekstil di sana tidak mencukupi kebutuhan penduduknya. Untuk mengimpor barang dari Indonesia, pedagang Afrika biasanya bekerja sama dengan pedagang Indonesia, seperti kisah Mamaduo dan Nadjib tadi.
Bagi Nadjib, berdagang dengan orang Afrika juga menyenangkan. "Saya tinggal menyediakan barang, mereka yang mencari pasar di negaranya," kata pengusaha yang memiliki delapan anak perusahaan ekspor ini. Nadjib mengirim barang ke Afrika setiap bulan. Kalau permintaan sedang naik seperti menjelang Lebaran dan Natal, ia mengirim sampai 15 peti kemas atau sekitar 60 ribu lusin pakaian. Di negeri Mamaduo, barang dari Tanahabang dijual dengan harga dua kali lipat.
Merasakan untung besar mengambil pakaian dari Jakarta, orang-orang Afrika kini mulai berpikir untuk membuat perusahaan asing di Jakarta. Menurut Nadjib, sekarang sudah ada perusahaan ekspor pakaian yang didirikan pedagang Mali di Tanahabang. Belakangan, pedagang asal Kongo juga meminta persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk mendirikan perusahaan ekspor pakaian.
Hanya, kesan buruk sering menghinggapi mereka seiring dengan semakin banyaknya pengedar narkotik asal Afrika yang ditangkap aparat. Menurut Ajun Komisaris Polisi Carlo B. Tewu dari Kepolisian Daerah Metro Jaya, mereka kebanyakan datang dengan memakai kedok visa dagang. Dari penyelidikan polisi, memang banyak orang asal Afrika Barat yang menjadi agen narkotik di Jakarta. Karena itu, "Kami tak berhenti mengawasi mereka," kata Carlo.
Diakui oleh Mamaduo, kelakuan sebagian orang Afrika itu memang merusak citra orang kulit hitam. Padahal tidak sedikit yang benar-benar berdagang dengan lurus. Maka ia mengusulkan agar para pengedar narkotik itu dihukum mati saja. Selain itu, Mamaduo menyarankan agar Indonesia memperketat izin masuk bagi orang Afrika. "Sebaiknya mereka yang ingin berdagang disyaratkan mempunyai sponsor di Indonesia," ujarnya.
Sebenarnya tak sulit membedakan pedagang pakaian dengan orang yang diduga agen narkotik. Kata Nadjib, orang Afrika yang berdagang barang halal umumnya agak pelit. Penampilannya pun sederhana seperti orang tidak punya duit. Tapi surat-surat mereka biasanya lengkap. Selain memiliki izin tinggal, mereka punya rekan bisnis di Indonesia.
Lain halnya orang Afrika yang berbisnis barang haram. Umumnya mereka berpakaian gemerlap dengan perhiasan berkalung emas di leher dan jam tangan bertabur berlian. Tak jarang mereka juga mengenakan gelang dan kacamata mahal. Mereka bisa saja memiliki izin tinggal di sini, tapi belum tentu punya kegiatan bisnis yang jelas. Menurut Nadjib, orang yang bergaya seperti itulah yang patut dicurigai.
Tugas polisilah membendung dampak buruk tersebut. Tak sekadar diawasi, orang Afrika yang benar-benar nakal perlu ditangkap. Mereka yang baik-baik, seperti pedagang dari benua mana pun, perlu disambut karena mereka ikut menggairahkan industri pakaian di negeri ini.
Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini