Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<i>Guanxi</i> di Cina Protes di Jakarta

Taufiq Kiemas memimpin delegasi resmi ke RRT. Ia sukses di Beijing tapi menuai kontroversi di dalam negeri.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONTROVERSI mengejar Taufiq Kiemas hingga ke Negeri Cina. Suami Presiden Megawati yang baru saja didesak mundur dari DPR oleh sejumlah tokoh masyarakat itu kini sedang memanen polemik dari muhibahnya ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT), pekan lalu. Polemik timbul karena Taufiq ke RRT bukan bertamasya atau sekadar ingin mencicipi bebek panggang Peking dalam cuaca dingin akhir Desember. Ia, menurut Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, memimpin misi negara. Dalam rombongan pemerintah itu hadir Menteri Energi Purnomo Yusgiantoro, Menteri Perdagangan Rini Soewandi, Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Soenarno, serta Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Kepemimpinan Taufiq Kiemas dalam delegasi resmi ini dipersoalkan oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat dan organisasi masyarakat seperti Government Watch. Bahkan mereka menganggapnya sebagai penyimpangan ketatanegaraan. Akibatnya, Komisi VIII DPR berencana, pada persidangan pekan kedua Januari ini, memanggil Menteri Purnomo berkaitan dengan kepergiannya bersama Taufiq. Menteri Purnomo boleh jadi malah akan menggunakan acara dengar pendapat itu untuk mempromosikan kesuksesan kunjungan tersebut. Sebab, menurut sumber TEMPO di Hong Kong, Taufiq memang pengusaha yang punya lobi kuat (guanxi) di lingkungan pejabat tinggi di Beijing. Dalam sejumlah kasus menyangkut hubungan antarbangsa, termasuk antara RI dan RRT, peran para pelobi di luar jalur resmi terbukti efektif mencairkan aturan diplomasi yang cenderung kaku. Bahkan, khusus kasus hubungan RI-RRT, jalur tak resmi telah dimanfaatkan sejak saat-saat awal pemerintahan Soeharto. Contohnya, ketika Indonesia, pada akhir 1970-an, membutuhkan beras untuk menopang kekurangan pasokan di dalam negeri, sementara harga di pasar internasional tak terjangkau, alternatif terbaik adalah beras RRT. Mengingat rezim Orde Baru (seolah-olah) masih bermusuhan dengan Beijing, mustahil bagi Soeharto memerintahkan membeli langsung komoditi pangan itu ke sana. Maka, lewat jalur swasta yang punya hubungan baik dengan Bung Karno, kebutuhan beras tersebut akhirnya terpenuhi pasokan dari RRT. Cerita ini dituturkan oleh H.M.B. Nawawi, M.Sc., salah seorang anggota delegasi dari Jakarta yang ketika itu secara sembunyi-sembunyi ditugasi ke Guangzhou. Nawawi, kini 70 tahun lebih, belakangan menjadi Ketua Lembaga Kerja Sama Ekonomi, Sosial, dan Budaya Indonesia-RRT. Pihak swasta dari RRT yang terlibat membenarkan cerita ini ketika dikonfirmasi TEMPO. "Saya punya utang budi ke Indonesia," katanya. Ia menolak namanya disebutkan. Jalur swasta ini juga digunakan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid. Melalui mereka, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab berhasil bertemu dengan Perdana Menteri Zhu Rongji untuk membahas perkembangan hubungan kedua negara pada acara peringatan 50 tahun hubungan RI-RRT, Mei 2000. Pertemuan itu tak terjadwal resmi hingga, pada malam pesta peringatan itu, Alwi Shihab bisa rileks. Ia bahkan sempat berjoget dengan sejawatnya dari jajaran Departemen Luar Ngeri RRT di panggung Hotel Sheraton, Beijing, bersama para entertainer yang dikoordinasikan Tony Suwadhi, bos Restoran Furama, Jakarta. Sebaliknya, pada musim semi tahun itu juga, seorang menteri dari Jakarta yang datang ke Shanghai tanpa koordinasi yang baik dengan KBRI dan tanpa "pengantar" hanya disambut sekadar tak merusak hubungan oleh pejabat setempat. Sang menteri, yang kini tak menjabat lagi, dikabarkan masygul dan pulang dengan tangan hampa. Sementara itu, Taufiq Kiemas, dengan kualitas guanxi-nya, justru berhasil mem-follow-up sejumlah rencana yang dibicarakan Zhu Rongji dengan Megawati ketika berkunjung ke Jakarta. Hasil Taufiq dan para menteri, antara lain, rencana kerja sama studi kelayakan jembatan Jawa-Sumatra, tender memasok LNG dari Papua ke Guangdong, dan pembelian pembangkit listrik made in China. Tapi sukses itu tak meredam kontroversi lantaran Taufiq bukan swasta murni, masih anggota DPR, dan suami presiden. Bahkan muncul kecurigaan ada kepentingan bisnis Taufiq Kiemas dalam berbagai proyek yang dibicarakan itu. Terbukti Ketua DPR Akbar Tandjung berkomentar Taufiq boleh saja memimpin delegasi, "tapi tak boleh terlibat dalam operasional proyek-proyek yang dihasilkan." Larangan itu agaknya sekadar imbauan belaka. Soalnya, aturan protokoler yang ada belum menentukan bagaimana seharusnya pasangan presiden bertindak dalam hubungan antarnegara. Menurut Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, dalam praktek diplomasi di mana pun presiden bisa menunjuk orang yang dipercayainya untuk memimpin misi khusus, dalam arti tugas terbatas. Namun, surat tugas Presiden Megawati kepada Taufiq Kiemas, kalaupun ada, ternyata tak lewat Kemal Munawar, sekretaris Presiden, yang mengaku tidak tahu. Kepada wartawan TEMPO Arif A. Kuswardono, Menteri-Sekretaris Negara Bambang Kesowo juga cuma bilang, "Saya no comment." Maka jangan heran kalau kontroversi pun terus mengejar Taufiq Kiemas. Bahkan hingga ke Negeri Cina. Mohamad Cholid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus