Bakal ada sidang istimewa di Surabaya. Bukan untuk meng-impeach presiden, melainkan Wali Kota Sunarto Sumoprawiro. Pada 7 Januari nanti, DPRD Surabaya akan menggelar rapat paripurna untuk meminta pertanggungjawaban Cak Narto—panggilan akrab sang Wali Kota. Hebatnya, meski nasibnya terancam, hingga saat ini yang bersangkutan belum juga terlihat di Surabaya.
Drama impeachment bermula dari penolakan permohonan perpanjangan izin berobat Cak Nur oleh DPRD Surabaya, pertengahan Desember lalu. Fraksi PDIP, yang merupakan fraksi terbesar, akhirnya mengikuti usul Fraksi Gabungan, yang terdiri dari PAN, PPP, Golkar, dan PBB dan hanya beranggotakan 9 orang, untuk menyelenggarakan rapat paripurna meminta pertanggungjawaban Wali Kota. Cak Narto dikabarkan sakit sejak Oktober lalu, tapi tidak ada kepastian sakit apa dan sampai kapan sehingga menganggu kerja pemerintahan daerah.
Hubungan Cak Narto dengan DPRD Surabaya pun ibarat kucing dan anjing. Narto malah berulah mirip bondo nekat. Ia pergi ke Australia tanpa memberi keterangan ataupun melimpahkan cukup wewenang kepada bawahannya. Padahal, Wakil Wali Kota Bambang D.H. saat itu sedang mengikuti kursus Lemhanas di Jakarta. Sekretaris Kota, M. Yasin, ketika ditanya oleh DPRD mengatakan bahwa Cak Narto sedang mengadakan kunjungan kerja ke beberapa negara untuk studi banding soal otonomi daerah. Sekalian, katanya, numpang periksa kesehatan.
Keterangan Yasin tentu saja ditolak karena sebelumnya tidak ada izin dari Menteri Dalam Negeri. Tapi, beberapa hari kemudian, Sekretaris Kota M. Yasin menunjukkan surat izin dari Menteri Dalam Negeri dan juga dokter dari Australia yang menyebutkan Cak Narto sedang menjalani perawatan di sana. Seorang anak Sunarto menguatkan dengan mengungkapkan bahwa bapaknya menderita penyakit lever dan tengah menjalani diagnosis atas penyakitnya. Bahkan, kabar terakhir, Narto masih menunggu operasi transplantasi lever di Australia.
Akibatnya, masalah menumpuk tanpa bisa terselesaikan dengan baik, mulai soal sampah di Keputih sampai APBD kota. Narto sendiri, entah bagaimana caranya, awalnya masih bisa meneken surat-surat penting dari Australia, dari SK tentang kenaikan tarif taksi sampai surat pengangkatan beberapa pejabat. Rupanya, ia memang tak berniat sedikit pun membagi pekerjaannya.
Cak Narto tak pernah menunjukkan surat rinci yang menjelaskan penyakitnya. Permintaan DPRD atas surat itu pun tak kunjung dipenuhi. Bahkan hingga pimpinan DPRD datang langsung ke Austin Medical and Repatriation Center di Melbourne, awal November lalu, surat itu juga tidak diperoleh. Menurut keterangan yang diperoleh TEMPO, surat itu memang tak bakal bisa diberikan dokter tanpa izin pasien sendiri. Gubernur Imam Utomo, yang konon sudah memiliki medical record Cak Narto dari hasil tim dokter setempat, menolak menembuskannya ke DPRD Surabaya. Ia malah mengirimkannya ke Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
Karena terkesan kucing-kucingan itulah sikap DPRD Surabaya makin bulat untuk menggelar rapat paripurna. "Bukan berarti kalau Cak Narto pulang masalah selesai, karena kami juga melihat perjalanan kepemimpinan Wali Kota ke belakang dinilai banyak bermasalah," ucap Armudji, Ketua FPDIP, kepada wartawan awal Desember lalu. Hanya, suara DPRD kemudian terpecah ketika membahas apakah Narto bisa dilengserkan atau tidak. Soalnya, mereka terbentur pada kriteria untuk melengserkan. Beberapa fraksi terkesan bimbang.
Fraksi PKB, misalnya. Menurut ketuanya, M. Syukri, bila terjadi krisis kepercayaan di tubuh pemerintah daerah, kepala daerah dan wakilnya harus diganti dalam satu paket. "Hanya, kesulitannya, apa kriteria krisis kepercayaan. Itu belum diatur," katanya merujuk Undang-Undang No. 22 Tahun 99 tentang Otonomi Daerah. Begitu pula soal berhalangan tetap karena sakit berat. Jika benar terbukti, memang Sunarto harus diganti dan tugasnya dilanjutkan oleh wakil wali kota. "Kalau disebut sakit, dia itu sakit apa, sih? Mana medical record-nya," ujar Syukri, bergumam.
Fraksi Gabungan melihat peluang lain, yakni kasus korupsi proyek Jolotundo-Pasar Keling, yang melibatkan Sunarto. "Jika itu yang menjadi alasan, Cak Narto harus lengser karena terlibat urusan pidana," ujar Budiharto, seorang anggota Fraksi Gabungan. Kasusnya sendiri kini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena ditemukan adanya mark-up dalam pembebasan tanahnya yang merugikan negara hingga Rp 2 miliar.
Fraksi TNI/Polri lebih gamang lagi. Menurut mereka, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 hanya mengatur pertanggungjawaban wali kota dalam soal APBD. Jika pertanggungjawabannya ditolak, termasuk dua kali revisinya, baru seorang kepala daerah bisa diganti. Itu pun makan waktu empat bulan. Sedangkan soal sakit, "Orang sakit boleh, kan?" kata I Gede Tamba, Ketua Fraksi TNI/Polri. "Lagi pula sakit satu-dua bulan belumlah bisa dikatakan berhalangan tetap," ia melanjutkan.
Kalau demikian, "ludrukan Cak Narto" ini masih susah ditebak akhirnya.
Arif A. Kuswardono, Adi Mawardi, Kukuh S.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini